09 April 2011

Sebilah Pisau Tumpul



(Cerpen ini diikutkan dalam antologi Kolase Season Dua; Dari Balik Jendela)

Malam ini aku sesak
Seperti ribuan jarum yang menusuk batinku terkoyak
Ingin aku kelabui dengan lelap
Agar pagi lekas kembali
Dan dengan rintihan nyeri yang selalu aku lontarkan
Hingga esok hari kembali terkoyak dengan sebilah pisau tumpul
Namaku Reya Sanjiwani. Panggil aku Rere. Delapan belas tahun dari kumpulan umur yang aku temui adalah empat tahun terakhir dengan rutinitas hemodialisis.
***
“Pia pulang?” Tanyaku pada Mbok Nur.
Tanpa peduli apa yang akan aku dengar dari jawabannya, aku melengos menuruni tangga karena aku sudah tahu apa yang akan jadi jawaban Mbok Nur. Pia, kakak perempuanku itu baru saja menyelesaikan studi keperawatannya dan sepertinya hari ini dia pulang dan akan menghuni rumah ini lagi.
Aku masih terdiam pada anak tangga. Galau akan karena kerinduanku pada Pia. Tapi aku sudah berubah. Tidak semudah itu memeluk Pia dan mengatakan, ‘Aku kangen kamu, Kak.’ Setidaknya aku akan menambahkan, ‘Kakak kemana saat aku kesakitan menjalani cuci darah di awal diagnosa penyakit ini. Kakak kemana saat aku kesepian dengan keadaanku yang sudah tak punya teman di kehidupan monotonitas ini. Kakak kemana saat aku diliputi ketegangan setiap akan menjalani cuci darah. Kakak kemana? Kemana Kak? Apa aku harus bertanya lebih banyak dari ini?’
***
          “Re, ada telpon.”
          Aku membekukan gerak jariku di atas keyboard yang tergeletak kaku.
          “Aku ga mau terima telpon.”
          “Tapi ini dari Dilla loh,” Pia menyahut dengan sumringah.
          “Aku kan sudah bilang aku ga mau.”
Aku mematikan komputer tanpa merespon setiap apapun yang Pia ucapkan. Bersiap mengistirahatkan seluruh persendian tubuhku.
“Re, kamu ga kangen sama temen kamu?”
Telingaku peka. Mataku yang sulit terpejam mendukung pancainderaku untuk berinteraksi dengan Pia.
Kamu ga kangen.… …ga kangen…. …ga kangen sama temen kamu…. …sama temen kamu…. …temen kamu….
Aku menyibakkan selimutku hingga berhadapan dengan Pia.
“Apa sih yang kamu pikirin?”
Pia terdiam.
“Kamu pikir Rere mati rasa? Ga suka ada temen yang nelpon kesini. Ga bisa bersikap ramah lagi dan ketus. Kamu kira Rere nyaman dengan anggapan antagonis seperti itu?”
 “Kakak bingung Re, kenapa kamu jadi kayak gini? Kamu berubah, Re.”
“Bukan Rere yang kamu kenal? Bukan Rere manis yang selama ini jadi adik kamu? Dengar ya, kamu dan semua perawat-perawat yang melahap ilmu kesehatan itu bagi Rere hanya opera dengan semua dramatisasi yang kalian rangkai. Menyuruh Rere sabar menghadapi hidup. Meminta Rere untuk tidak terus mengeluh. Kalian pikir sabar itu gampang? Ga usah so malaikat di depan Rere! Kamu ga tahu kan bagaimana rasanya ada di posisi Rere dengan vonis hidup menuju kematian. Hanya tinggal menunggu waktu.”
“Re! Semua orang akan mati. Kamu, Kakak, dan semuanya. Mati itu hukum mutlak. Kenapa ini jadi titik masalah buat kamu, Re?”
“Kematian yang sudah aku ketahui dari sekarang. Kematian yang hanya sedang berhitung mundur, dan stopwatch itu sudah ada di hadapan Rere.”
“Re, ini bukan masalah…”
“Ini masalah buat Rere. Sekarang siapa Rere? Pasien gagal ginjal yang hanya menghabiskan sisa umurnya untuk cuci darah.”
Nafasku terengah. Seharusnya malam ini aku lebih banyak istirahat.
Pia terdiam, matanya sudah menunjukan bahwa dia sedang berjuang sekuat tenaga menahan airmatanya. Entahlah, puluhan pasien mungkin pernah dia temui ketika masa praktek. Apakah dia selalu menghadapi mereka dengan airmata?
“Kakak salah Re. Maaf, Kakak ga tahu.”
Aku memejamkan mataku sesaat, merasakan aroma sakit yang timbul seketika di dalam tubuhku, “Aku punya dunia sendiri sekarang. Anggap saja dunia kita berbeda. Jadi tolong biarkan aku nyaman dengan keadaan seperti ini.”
Nafasku semakin terengah. Aku merasakan sedikit hentakkan pada jantungku.
“Aku baik-baik sa… ja….”
Setelah itu aku tidak ingat apapun lagi.
***
“Ada kebocoran dalam jantungnya…. Akibat fungsi ginjal….. dari psikisnya…. Untuk sementara…. Lebih baik operasi….”
Samar-samar aku mendengar obrolan dokter. Aku merasa kepalaku berat sekali. Tubuhku terasa kebal melayang, tapi aku melihat beberapa selang melilit di sekujur tubuhku. Entah itu infus atau apa. Ah, aku di Rumah Sakit.
Suara Ayah. Suara Pia. Dan suara ibu.
Apa sekarang aku akan meninggal. Bukankah seseorang yang memiliki penyakit gagal ginjal tak pernah lama bertahan. Empat tahun aku bertahan untuk tetap hidup, aku sudah lelah. Apakah lebih baik aku meninggalkan ayah, ibu, dan Pia. Apakah….
“Maaf keluarga Mbak Reya.”
Ayah dan Ibu mengikuti wanita berbaju putih itu. Mungkin perawat.
“Kamu jaga Rere ya, Pi.”
Pia mengangguk, duduk di samping ranjangku.
“Re, Kakak tahu kamu sudah siuman.”
Aku masih memejamkan mataku. Aku lelah. Aku lelah sekali dengan semuanya.
“Aku…. Lelah… Aku lelah.”
“Kau tahu arti dari Sanjiwani? Namamu itu.”
Aku terdiam.
“Sanjiwani adalah air kehidupan. Jadi percayalah, kamu akan tetap hidup.”
Pia terisak meski pelan. Namun justru suara isakannya yang ditahan semakin terdengar menyakitkan bagiku. Bisakah dia berhenti menangisiku.
Deg… deg… deg…
Suara jantungku terdengar lebih jelas dari biasanya. Jantung ini masih waspada menunggu terjatuh dalam lekukan akhir yang akan memaksanya untuk berhenti.
“Aku…” Airmataku mengalir, “Takut…. Apakah mati terasa menyakitkan?”
Pia menggenggam tanganku lebih erat.
Beberapa orang dewasa berpakaian putih masuk ke ruanganku. Berbicara basa-basi sekedarnya dengan Pia. Diikuti oleh ayah dan ibu. Mengecek ini itu di dalam tubuhku. Aku hanya menatap kosong tanpa respon. Aku tak menangkap apa yang mereka ucapkan. Aku tak memedulikan saat bangsalku dipindahkan. Di otakku sedang menari-nari aroma kematian. Tubuhku lemas. Aku tahu aku akan dioperasi. Aku tahu.
Hingga aku tak sadarkan diri seutuhnya.
***
Bau khas Rumah Sakit yang sama.
Pola ruangan putih-putih yang masih sama.
Tapi ada bisikan-bisikan lain yang terdengar. Bisikan-bisikan kabur di subuh ini. Ya, mungkin ini subuh. Aku hanya menebak. Apa aku masih hidup? Siapa yang tengah berbisik-bisik? Malaikat pencabut nyawakah?
“Rere… Alhamdulillah!”
“Dilla?” Suaraku lemah sekali.
Dilla menyentuh bahu Pia yang tertidur di sofa, “Kak, ini Rere sudah sadar.”
“Berapa lama aku disini?” Tanyaku dengan suara tercekat.
Dilla memandang arlojinya sementara Pia sibuk entah melakukan apa, memanggil perawat atau apa aku tak tahu.
“Sejak keluar dari ruang operasi kamu sudah tertidur selama 9 jam.”
Ah, aku pasti terlihat bodoh tertidur selama berjam-jam. Aku memejamkan mataku. Semakin aku berlama-lama memandang dunia maka aku akan semakin merasa takut untuk meninggalkannya lebih cepat.
***
Sebilah pisau tumpul
Tak mampu menyayat jasad
Selalu mampu menjejakkan luka
Sebilah pisau tumpul
Muncul tak timbul menghindari asahan
Sebilah pisau tumpul
Enyahlah! Aku lelah bermain denganmu
***
“Euforia… Euforia… Gebyar Bahasa dan Sastra…. Euforia…”
Seperti kelelawar yang dipaksa berjemur di siang hari. Aku kikuk berada di tengah keramaian. Satu bulan setelah operasi itu, Pia lebih intens merawatku meski banyak tawaran kerja berdatangan. Entah sampai kapan, mungkin sampai kematian menjemput rohku.
Aku memasuki aula mengikuti Dilla. Sementara Dilla sibuk membaca ulang SMS-SMS dari Pia. Mewanti-wanti inilah, itulah, apalah yang aku sendiri tidak memedulikannya.
Seni tari…. Seni suara…. Seni peran…. Semuanya dikemas sangat menjiwai. Mereka seolah bebas menjadi diri mereka sendiri. Sesekali aku tersenyum melihat aksi yang konyol. Oh, bukan, bukan konyol tapi mereka mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Kiranya mereka tak berkenalan dengan etika, tak dipenjara oleh norma, hanya memiliki jiwa yang bebas mengusir beban. Bagiku semuanya begitu indah.
Ada satu sesi yang menarik saat MC memanggil nama ‘Kang Edo’. Tata lampu dimatikan diganti dengan lampu panggung yang redup. Sound music terdengar lembut, bahkan menyayat hati. Kemudian muncul sosok pemuda yang seluruh tubuhnya dibalut oleh perban. Kami hanya bisa melihat sebelah matanya dan mulutnya yang sengaja dipermak lebam. Tangan kirinya ditopang tergantung hingga dia hanya bisa menggerakan sebelah tangannya. Perban di tubuhnya pun tak sempurna, sobek disana-sini dan banyak bercak warna merah. Dia berjalan terseok-seok. Kami bergidik melihatnya.
Diiringi musik yang begitu mendayu, pemuda yang kami tahu bernama Kang Edo berhenti berjalan menggusur kakinya. Dia mendadak tersungkur, menundukan kepalanya.
“Aaaargh!” Suara seraknya menakutkan seperti orang sekarat, “Air… Aa.. Aiir.”
Aku terhenyak seolah dipaksa mengingat saat-saat kehausan padahal takaran cairan yang harus masuk ke tubuhku selalu diatur oleh Pia sedemikian rupa.
“Aaaiiiirr,” Kang Edo berteriak.
Aku mendekap mulutku namun tetap menatapnya.
Edo mengangkat wajahnya, lampu tersorot tunggal ke tengah. Aku mendengar nafas Kang Edo tersengal, namun nafasku tak kalah tersengalnya. Tatapannya, tatapan orang sekarat. Musik menguasai aula itu diiringi puisi yang terdengar menakutkan bagiku.
Jauh disana sirine ambulans menjadi tabuhan ketegangan bagi keluarga pasien.
“Mati…. Mati…. Kematian hanyalah proses menjembatani waktu. KEMATIAN!” Suara Kang Edo menggelegar menusuk gendang telingaku.
Disana para perawat berlari mendorong pasien yang sedang sekarat.
“Hanyalah…. Perjamuan menelanjangi keberanian….”
Disana ruang operasi siap bekerja. Lampu operasi berukuran besar menyala seketika. Terlihat wajah cemas dokter dan perawat sambil memantapkan diri memegang alat operasi.
“Sumbu pemisah untuk orang terkasihmu. Duaarr! Siap meletus memecahkan harap.”
Disana…. Ayah dan Ibunya dirajai oleh kecemasan yang membuat semuanya terasa seribu kali lebih mengerikan di luar ruang operasi.
“Kematian….” Kang Edo memelankan suaranya, “Adalah cermin kehidupan yang siap untuk kau telan.”
Blep… blep… blep… tiiiiittt….
Dalam samar-samar kegelapan aula aku keluar meninggalkan pertunjukan. Aku mengatur nafasku perlahan. Kenapa aroma kematian seolah mengikutiku kemanapun aku pergi. Apa ini pertanda kematian yang ingin segera memelukku.
“Eugh….” Aku memegang dadaku. Di depan pintu aula aku terdiam.
 “Re…” Dilla sudah ada di belakangku. Wajahnya pucat. Dilla seperti ingin menangis atau entah apa yang dia rasakan. Mungkin terpengaruh oleh teatrikal Kang Edo.
“Re…” Dia menyentuhku, melihat wajahku yang tak kalah pucatnya.
“Kamu sakit, Re?”
Aku menggeleng lemah, “Aku hanya ingin pulang.”
“A… Aku… Aku,” Dilla benar-benar kacau tak mengatakan apapun.
“Kita pulang aja ya,” Aku mendahului Dilla pergi. Perasaanku tak jelas sekarang.
***
Udara yang tak lelah menghinggapiku. Lahapan pemandangan yang selalu aku nikmati setiap saat. Aku berulang kali menghembuskan nafasku menikmati setiap oksigen yang mampu kuhirup. Melihat apapun yang bisa kulihat sebelum mataku tertutup hingga tak diijinkan terbuka kembali. Kendaraan yang aku tumpangi melaju dengan damai.
 “Re…”
“Apa?”
Dilla terlihat kaku untuk berbicara, aku bingung dengan tingkahnya.
“Aku tahu ga mudah menjadi kamu. Bertahan dengan penyakit yang bersarang di tubuh untuk selamanya,” Dilla terlihat sanksi untuk melanjutkan.
“Memangnya kenapa?”
“Dan aku… aku juga tahu ga mudah pengorbanan Kak Pia buat kamu, Re.”
Aku memutar otakku mencari tahu kemana arah obrolan Dilla.
“Saat kamu divonis gagal ginjal, Kak Pia berambisi untuk jadi perawat. Pengorbanannya hingga sekarang menjadi seorang perawat bukanlah pengorbanan biasa.  Satu-satunya orang yang ingin dia rawat adalah kamu. Bukan semata-mata karena dia ingin berprofesi menjadi perawat.”
“Kamu lagi ngomongin apa sih, Dil?”
Kendaraan yang aku tumpangi berhenti. Aku melihat sekeliling, tak sadar sudah sampai di depan gang rumahku. Aku turun dengan tergesa diikuti Dilla.
“Re, dengerin aku dulu,” Dilla menarik keras lenganku.
“Apa? Aku dari tadi juga dengerin kamu kan. Kamu ini kenapa sih?”
“Apa masih ada kesalahan Kak Pia yang belum kamu maafkan?”
Aku tercengang. Pemilihan diksi yang salah bagi Dilla, tak perlu penjelasan lebih lanjut untuk memahami kemana arah pertanyaan Dilla. Aku menghentakkan tanganku melepas pegangan Dilla hingga kemudian berlari ke rumah.
Banyak kendaraan di halaman rumah. Orang-orang berlalu-lalang di hadapanku. Mereka menatapku dengan berbagai ekspresi, aku tak peduli, aku tak mendengar apa yang mereka katakan, entah menyapa, entah bertanya, entah memberi tahu, hingga langkahku sampai di dalam rumah.
Kak Pia dibiarkan tertidur disana. Dengan kain putih yang menutupi tubuhnya, itukah kain kafan? Dadaku sesak. Sesak sekali. Kak Pia terlihat cantik, aku merasa melihatnya tersenyum.
Kakak, tetaplah tersenyum. Kakak, tetaplah merawatku dengan ulet dan sabar. Kakak, aku ingin memelukmu dengan kerinduan selama bertahun-tahun ini. Kakak… kain kafan perlahan ditutupkan oleh ibu. Aku hanya sempat berbisik pelan.
“Kak…. Pia…”
“Rere,” Ibu menyadari kehadiranku. Sementara aku tergeletak pingsan.
***
Aku berharap ini halusinasi. Aku mengerjapkan mataku. Kamarku sepi, mungkin mereka pergi memakamkan Kak Pia. Aku menangis tersedu-sedu mengingat Kak Pia.
Tumor otak, harus operasi. Jika gagal semoga masih bisa transplantasi ginjal.
Wacana yang samar-samar aku dengar dalam kebisingan.
Lalu untuk apa semua keluhan-keluhan yang aku lontarkan sementara Kak Pia selalu memberikan motivasi. Untuk apa semua sikap skeptis dalam diriku sementara Kak Pia selalu memberikan perhatian yang lebih. Jika ternyata dalam diri kami sama-sama tertanam sebilah pisau tumpul yang mengenalkan kematian. Ah, tumor otak.
***
Sebilah pisau tumpul telah berhasil menyayat orang terkasih.
          Sebilah pisau tumpul mengantarkanku pada arus kemuliaan
          Tersenyumlah untuk jiwamu yang setia mengerang
          Jika hanya itu yang bisa diperbuat saat kesakitan mencakar jasadmu

Gazebo Keperawatan Unpad, 21 November 2010

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.