24 June 2013

,

Sore yang Menyebalkan

Beberapa jam lalu rasanya semua terasa normal. Saya berada di rumah, bercanda dengan adik saya, mem-bully keponakan saya yang enggan ikut Pesantren Kilat karena dia kira akan ada ‘kilat’ disana. Bersama kakak ke-1 dan kakak ke-4 yang sedang hamil, kakak ke-2 yang istrinya juga sedang hamil, lalu telfon-telfonan dengan kakak ke-3 yang tidak bias ikut acara kemarin.

Yeah, ini suatu momen yang mahal bagi saya, bagi kami, bagi ibu saya. Sejak umur 4 tahun saya, kakak ke-3 dan kakak ke-4 sudah pisah dengan ibu, kakak ke-2 saya pisah sejak SMP. Kenapa? Ibu saya sedang tertekan, frustasi, ditinggal mati suami. Terlalu kasar jika dikatakan gangguan psikologi, ditambah gangguan finansial. Masa suram. Hal itu berpengaruh kepada saya, saya tidak pernah sanggup berada pada situasi yang tertekan. Saya terlahir di tahun berkabung bagi ibu saya.

Kami akan berkumpul utuh hanya satu tahun sekali ketika idul fitri. Itu pun hanya 1 atau 2 hari. Setelah keempat kakak saya menikah lalu saya dan adik saya tinggal di kosan dan menjadi aktivis, momen kumpul ini semakin mahal saja. Mahal sekali. Padahal saya tahu, ibu saya membutuhkan kami lebih dari apapun. Tahun 2013 ini tahun berkabung itu terulang kembali dan rasanya dejavu, ibu saya berkabung tanpa anak-anak. Tuhan menjauhkan kami, entah kenapa.

Lalu terjadilah … celotehan ibu saya, meski tidak dikatakan secara serius, malahan sambil bercanda, bahwa dia selalu sedih ketika makan sendiri di rumah. Hal itu malah bisa membuat dia ingin menangis. Saya melirik adik saya, adik saya nyengir, kita sama-sama nyengir padahal dalam hati rasa bersalah kita meunumpuk tinggi. Di kampus, saya pernah belajar mengenai ibu yang sedang dalam masa menopause akan lebih sensitif dan mudah sekali tersinggung. Malahan dalam kasus yang diberikan oleh dosen dikatakan bahwa sang ibu merasa anak-anaknya sudah tidak peduli lagi pada sang ibu karena sudah pisah rumah. Well …?

Saya tidak tahu, benar-benar tidak tahu apa maksud Tuhan, menjadikan saya aktivis di Jatinangor, adik saya di Tarogong, lalu ibu saya tinggal sendiri di Nagreg. Apa salah satu diantara kami harus mengalah? Atau kami harus sama-sama mengorbankan ibu kami? Pengorbanan yang menurut saya sangat mahal.

Saya pun tidak tahu apa yang ada di pikiran rekan-rekan saya yang ada di BEM ketika saya mengeluhkan posisi saya ini. Meninggalkan ibu saya sendiri untuk mengurusi BEM. Saya muak, saya benar-benar muak dengan keputusan saya sendiri. Semua perasaan ini secara holistik hanya saya yang bisa memahami. Saya tidak menyalahkan jika banyak yang tidak paham. Karena itu saya tidak pernah lagi bawa-bawa ibu saya ketika saya merasa ingin resign. Cari-cari alasan lain apapun, karena mereka mmeinta alasan. Alasan untuk bisa mereka sanggah. Dan sanggahan yang paling mengerikan adalah sanggahan pada alasan tentang ibu saya. "Kamu bisa menyeimbangkan antara keluarga dan organisasi." Apa mereka pikir saya robot yang jasad dan pikirannya bisa berpindah dalam sekejap. Karenanya saya benci kalau harus bawa-bawa lagi alasan keluarga ketika saya meminta resign. Karena mereka akan mencoba menyanggahnya, menganggap ini bisa diselesaikan dengan mudah. Perasaan bersalah saya. Dosa terbesar bagi saya.

Lalu komentar, "Perasaan pulang mulu deh." yang buat saya merupakan komentar paling sadis tahun ini. Apa yang harus saya lakukan? Tidak peduli dengan keadaan ibu saya. Hey, ibu saya pernah sakit satu minggu dan dia tidak memberitahukannya kepada anak-anaknya. Saya sering pulang hanya untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Saya sering pulang magrib ke rumah dan subuhnya ke Jatinangor lagi hanya untuk melihat ibu saya sehat dan harus ke Jatinangor lagi karena ada agenda BEM. Helo ... apa saya harus sebutkan satu persatu kerugian apa saja yang dialami ibu saya ketika anak-anaknya tidak ada, apa harus saya ceritakan air mata apa saja yang saya lihat dengan mata saya sendiri pasca dia menjanda.

Jika keluarga saya utuh, kedua orang tua saya baik-baik saja, bahagia sentosa, saya tidak akan pulang sesering itu. Saya juga capek bolak-balik Garut Jatinangor. Kalau boleh memilih saya juga ingin istirahat di kosan, main dengan teman-teman, main kemana pun saya mau, tanpa harus dihantui bagaimana ibu saya di rumah. Berharap ada seseorang yang menjaganya, yang rela melakukan apapun untuk ibu saya, yang menganugrahkan hidupnya hanya untuk menjaga ibu saya. Dan nyatanya adalah, kami, anak-anaknya yang harus menjaganya. Bukan yang lain. Dan demi apapun saya benci kosan saya, saya benci tinggal di kamar kosan sendirian dan tidak tahu ibu saya sedang apa.

Dan saya sudah menahan amarah saya jika ada yang mengomentari bahwa saya terlalu sering pulang. Oke, sekarang saya menumpahkannya. Karena saya muak.

Ketika mendengar kata resign … orang akan mengira saya punya masalah, dengan orang, dengan situasi, dengan kondisi, apapun. Lalu mereka dengan susah payah akan menghalau masalah itu, memberikan penguatan bahwa saya tidak seharusnya resign. Seolah paham.
Saya tidak pernah bisa memahami-Nya. Tuhan … takdir-Nya. Jika semua masalah bisa selesai dengan hanya saya curhat kepada Tuhan, pasti semuanya tidak akan serumit ini.

Ini pertaruhan yang mahal. Lalu ketika saya sudah bertaruh, apa yang saya dapatkan? Tekanan. Ini hadiah karena saya sudah memilih berorganisasi daripada menemani masa tua ibu saya sendirian. Ini penghargaan untuk saya yang lebih memilih membantu Waferisme daripada keluarga sendiri. Saya ngerasa digampar sekeras-kerasnya.

Saya ada masalah dengan orang-orang di BEM? Ya, saya benci mereka yang tidak bisa profesional menjalankan tugasnya, saya benci melihat saya yang terlalu profesional di BEM. Saya tidak mau BEM yang begini-begini saja. Setelah saya mempertaruhkan ibu saya untuk aktf disini, inikah yang saya terima?

Jika saya memilih bertahan. Bertahan karena tertekan mendengar semua sanggahan mereka ketika saya mengeluhkan tuntutan saya untuk resign. Saya bertahan demi mereka. Mereka yang tidak akan pernah bisa menggantikan posisi keluarga. Sampai kapan pun. Lalu selesai.

Kita sama-sama tahu tidak ada alasan saya masih harus bertahan disini kecuali masalah moral.
Saya hanya perlu lima bulan untuk menyelesaikan ini semua.
Saya hanya perlu lima bulan untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Saya, passion saya, keluarga saya, beasiswa, saya pertaruhkan dalam perjudian yang paling memuakan.
Saya harus mempertanyakan ini pada-Nya. Saya tahu hanya dia yang punya alasan kenapa saya ada di sini. Bukan manusia-manusia itu. Bukan pula organisasi ini.
Bukan pula saya.

(Ditulis ketika saya sore-sore dari rumah berangkat untuk mengikuti rapat KKP. Saya SMS ada rapat apa, dibalas, tapi ketika saya meminta izin untuk tidak hadir melalui SMS tidak direspon, karena merasa berkewajiban datang saya meninggalkan keluarga saya dan datang ke Jatinangor. Sesampainya di Sekre, perasaan yang muncul hanya tertekan. Semoga saya tidak gila)
Continue reading Sore yang Menyebalkan