09 April 2011

Jangan Mau Jadi ‘Mujahid Cicak’


(Tulisan ini dibuat saat mengikuti Kaderisasi Hima/Himi Persis di Riung Bandung)
Sarah Nurul Khotimah Fkep Unpad ‘10

            Persis itu kaku. Begitu opini yang selalu saya dapat dari selentingan obrolan, sahabat, dan masyarakat. Jika benar begitu, sesuai dengan tipe kepribadian Hippocrates-Galenus barangkali aktivis-aktivis Persis dominan dengan empedu hitam sehingga mempunyai tipe kepribadian melankolis. Namun, terlepas dari desas-desus itu saya sendiri selalu memperhatikan beberapa karakteristik yang ada pada teman-teman seperjuangan saya yang juga saya temukan pada diri saya sendiri.
Karakteristik ini saya analogikan dengan cicak yang melekat di dinding dan saya paparkan beberapa kesalahan mujahid cicak. Saya mengatakannya sebagai mujahid,  bukan aktivis, sesuai dengan apa yang disampaiakan dari acara Silakpi mengenai rentang disparitas antara aktivis dan mujahid.
Cicak-cicak di dinding
Diam diam  merayap
Itulah cicak. Hanya terdiam di dinding. Kadang asyik memperhatikan, namun kadang tak acuh melewatkan. Keberadaannya ada tak ada, namun lebih sering tidak disadari kemunculannya. Suaranya jelas terdengar berdecak tapi pergerakannya alot.
Kesalahan mujahid cicak yang pertama. Mereka tergabung dalam komunitas dakwah tapi mereka berdiam diri, seperti cicak yang hanya diam memperhatikan tanpa mau untuk memahami sekitar dan berbaur seperti tipe cicak yang tertempel di dinding tanpa tahu untuk apa dia ada di dinding itu.
Kesalahan mujahid cicak yang kedua. Mereka memiliki intelektualitas yang tinggi dan pemahaman yang kritis tapi tidak pernah mengutarakan pemikiran mereka ketika berada dalam perkumpulan dakwah, seperti cicak yang tidak disadari kehadirannya.  
Kesalahan mujahid  cicak yang ketiga. Mereka pintar berbicara dan berdiplomasi mengurai pemikirannya tapi diam tanpa ada pergerakan, seperti cicak yang selalu saja mengeluarkan suara berdecak tapi menempel saja di dinding tidak bergeser, kalaupun bergeser itu hanya sedikit-sedikit.
Jika kita masih menjadi ‘mujahid cicak’, kita akan tergusur oleh hawa kampus hedonisme yang menyemeraki komunitas-komunitas mahasiswa. Perlu kita ingat, mahasiswa hedonis juga memiliki akal dan perasaan. Artinya ketika kita mampu menyentuh akal dan perasaan mereka, maka dakwah ideologis pun sangat mungkin untuk menjadi mainstream di kalangan seperti ini.
Di tengah kondisi kampus yang sepertinya seragam hedonis pastilah ada kelompok mahasiswa yang kritis dan peduli pada kondisi yang ada.  Maka itulah awal dari pergerakan kita dalam menciptakan strategi dakwah kampus ideal, setidaknya kita anggap ada 3 kelompok mahasiswa:
1. Kelompok kalkulatif: mahasiswa yang kritis, mau berpikir dan peduli pada situasi masyarakat yang ada.
2. Kelompok moral: mahasiswa  yang potensial tetapi kurang kritis dan akan ikut arus yang terkuat di kampus.
3. Kelompok alienatif: massa yang pragmatis tidak peduli dengan kondisi yang ada dan tidak begitu hirau dengan ideologi dan politik.
Dalam kampus hedonis tentunya kelompok yang paling banyak adalah alienatif. Sedangkan kelompok kalkulatif menempati jumlah yang sedikit. Namun saya pribadi menilai diri saya termasuk pada kelompok moral yang terkadang diberi julukan ‘siluman kampus’.
Dalam sebuah pemaparan mengenai manajemen waktu yang disampaikan Bu Sheizi Prista Sari (Mabim Fkep Unpad 2010), beliau menegaskan bahwa kita harus memangkas kesibukan-kesibukan yang memang benar-benar tidak kita perlukan hingga apa yang sudah menjadi tujuan hidup kita tidak terbengkalai begitu saja hingga akhirnya satu yang menjadi puncak dari revitalisasi kehidupan kita di kampus, yaitu komitmen.
Itulah yang harus dipancing dari sasaran dakwah kampus. Jika dirunut, maka akan akan kita temukan langkah pengkaderan yang sudah lazim dilakukan para aktivis dakwah yang memburu benih-beinh kader baru.
1.     Petakan siapa saja mahasiswa yang tergolong kalkulatif.
- Inventaris data nomor HP mahasiswa kemudian SMS-kan kasus problematika umat dan minta tanggapannya.
- Atau dapat juga disebarkan semacam kuesioner terbuka tentang kasus tertentu, jangan lupa berikan kolom nama, fakultas, jurusan, semester, alamat dan no hp/telp.
- Cara yang lain dapat juga dengan penyebaran media propaganda dengan tema-tema problematika umat dan meminta tanggapan.
Respon yang masuk baik lewat SMS, telepon maupun kuesioner diseleksi. Respon yang kritis dan cerdas menunjukkan dia mahasiswa yang kalkulatif. 
2.     Kontak personal yang intensif pada kelompok kalkulatif.
Proses ini harus dilakukan dengan serius karena inilah aktivitas inti yang akan menentukan proses berikutnya. Bila proses ini tidak mampu dilakukan dengan baik maka proses berikutnya akan gagal.
3.     Adakan event training keislaman yang ideologis atau diskusi publik dengan tema problematika umat yang sedang hangat.
Target peserta difokuskan pada mahasiswa kalkulatif. Tentunya peserta umum juga dihadirkan sebagai target tambahan.  Jadikan event tersebut spektakuler, dahsyat, profesional dan berkesan.  Jangan pernah membuat event yang asal-asalan.  Tujuan event ini tidak sebatas opini tetapi harus dipastikan untuk rekruitmen kader.
4.     Pengelolaan kajian intensif mingguan yang profesional.
Tahap ini adalah tindak lanjut dari training atau diskusi publik. Selain kajian rutin, siapkan pula pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka sebagai kader dakwah kampus. Oleh karena itu, pelatihan tingkat dasar, menengah, dan lanjutan seperti yang dilaksanakan Hima dan Himi sangat tepat dilaksanakan.
Semoga pemaparan yang masih dangkal ini mampu menjadi pemecut dakwah, dan menyihir cicak-cicak dakwah agar berpikir, bersuara, dan bergerak.
Adakalanya para penyeru kebenaran harus menjadi kepompong, berkarya dalam diam, bertahan dalam kesempitan. Namun bila saatnya menjadi kupu-kupu, tak ada pilihan kecuali terbang, melantun kebaikan diantara bunga, menabur keindahan pada dunia.
Hidup mahasiswa!
Hidup persatuan islam!
Jatinangor, 11 Februari 2011

3 comments:

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.