09 April 2011

Cinta Kasih Kelapangan Hati



(Tuisan ini Diikutkan dalam Antologi Kasih Bersama Akhi Dirman Al-Amin)
  
Siapa yang berani menyangkal perkataan bahwa ‘tidak ada orang yang rela mati demi kita selain ibu’? Nothing! Saya sebenarnya bukan orang yang melankolis dan mampu mengapresiasi sebuah lagu sendu, termasuk lagu tentang ibu. Namun, pejamkanlah matamu sejenak dan cobalah bersenandung dengan lirih.
Terbayang satu wajah penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah penuh dengan kehangatan
Kau Ibu…
Ah, penuh cinta penuh kasih. Dengan sesak saya ingin mengatakan bahwa saya mencintai dan mengasihinya. Saya mencintai dia yang telah membiarkan saya tumbuh dalam kasih sayang orang lain. Saya mengasihi dia yang membiarkan dirinya sendiri kesepian tanpa celotehan riang buah hati kesayangannya. Itulah cinta kasih.
Apakah kita hanya bisa mencintai dan mengasihi sesuatu yang pernah kita genggam dan kita nyaman dengan hal tersebut? Saya disini mengatakan bahwa saya tidak begitu mengenal ibu saya, dan bahkan sekarang saat saya memasuki dunia kampus saya tidak mengalami home sick seperti yang dialami mahasiswa baru lainnya. Jadi, cinta kasih seperti apa yang tumbuh dalam diri saya? Namun, berbeda saat kami mengalami suatu terapi dari Pak Iyus –ahli keperawatan jiwa–. Ketika itu saya menangis bahkan sebelum musik diperdengarkan, saya menangis sebelum teman-teman yang lain menangis.
Hanya satu yang terbayang saat itu, wajah lelah ibu saya. Ibu yang selalu tersenyum meski saya tahu berbagai hutang sedang memburu dalam hidupnya. Ibu yang selalu tersenyum meski saya tahu beban biaya sedang menghantui setiap tidurnya. Ibu yang selalu tersenyum meski saya tahu kecemasan selalu tertanam untuk setiap anaknya. Saya tidak mengada-ada, ibu saya memang lucu, dia sering tertawa dan setelah tawanya itu sepupu saya akan memberitahu saya bahwa sebenarnya ibu sedang mempunyai masalah.
          Saya ingin menceritakan bagaimana perjuangan ibu hingga tetes keringatnya mampu menjadikan saya seorang wanita yang tangguh. Ibu yang terkadang bersikap konyol ternyata sangat tangguh untuk ukuran ibu biasa. Dia luar biasa, setidaknya bagi saya. Ibu terlahir dalam keluarga sederhana, keluarga sederhana yang sangat menjunjung tinggi kekerabatan, keluarga sederhana yang sangat meninggikan nilai agama. Hingga dia bertemu dengan ayah, seorang keturunan ningrat, darah biru, pewaris pesantren, pemilik sebuah pabrik batako, dan entah apa lagi.
          Hanya beberapa tahun hal tersebut dapat dirasakan. Saat ibu melahirkan saya, pada saat itu pula juga penyakit liver ayah semakin parah. Maka sejak saya dilahirkan, ibu lebih fokus untuk mengurus ayah dengan perawatannya di Rumah Sakit. Dan saya berasumsi mungkin sejak saat itulah saya sudah belajar apa itu cinta kasih kepada Ibu.

..April 1992..
          “Namanya Nurul Khotimah. Cahaya terakhir.”
          “Kenapa terakhir? Bagaimana kalau dia nanti punya adik?” Ibu menanggapi usulan ayah.
          “Ah, pokoknya buat saya ini anak saya yang terakhir. Kalau dia punya adik lagi, ya ga akan saya akui,” Guraunya.
          Itukah simbolis bahwa ayah memilih kalimat ‘terakhir’ atau ‘penutup’ sebagai episode perpisahan? Awalnya bibi saya mengusulkan nama Nurul A’idah, karena saya dilahirkan di Bulan Syawal, tapi entahlah ayah tetap menginginkan nama Khotimah.
          “Farah, aku ingin namanya ditambah dengan Farah,” Ujar Ayah lagi, “Agar dia menjadi wanita yang selalu merasa bahagia.”
          “Ah, jangan,” Sahut Ibu, “Kita kan orang sunda, kalau nanti ada yang mengolok-olok namanya menjadi ‘parah’ bagaimana? Yang lain saja.”
          “Tapi aku ingin anak kita menjadi wanita yang bahagia nanti, apapun yang terjadi dalam hidupnya dia akan tetap memberikan kebahagiaan.”
          “Kenapa tidak Sarah saja, artinya kan lapang dada.”
          “Baiklah, Sarah saja. Jadi dia bisa menjadi wanita tangguh dengan kelapangan hatinya.”
          Kelapangan hati cahaya terakhir, jika boleh saya simpulkan. Dan kelapangan pertama yang harus saya aplikasikan adalah menjadi yatim saat masih berusia 8 bulan.

..Desember 1992..
          Ayah meninggal. Ibu bersedih. Dan saya? Entah apa yang terjadi pada saya waktu itu, ada yang mengatakan bahwa saya kekurangan gizi, ada yang mengatakan bahwa sejak umur 1 tahun saya sudah dipaksa untuk tidak menyusu kepada ibu. Yang saya tahu pengasuhan saya tidak begitu baik karena elegi kepergian ayah begitu menyakitkan bagi psikis ibu.
          Dengan kelapangan hati saya mengerti.

..1994..
          Ibu menikah lagi. Tapi itu bukanlah jalan keluar maupun pencerah untuk keluarga kecil ini. Saya, ibu, dan keempat kakak saya yang juga masih kecil-kecil masih hidup dalam kebingungan. Saya tidak ingat apapun dengan usia sekecil itu. Kalian bisa membayangkan, pada umur itu adalah masa-masa seorang anak bermanja ria, senang bermain dengan keriangan, dan masa-masa pertumbuhan otak. Ah, namun keadaan psikis ibu saya masih labil. Saat itu, kakak tertua saya yang sudah beranjak SMP melakukan aksi penolakan terhadap pernikahan baru Ibu.
          “Pokoknya tidak mau. Lebih baik saya bekerja di pabrik sekalian untuk menghidupi Ibu dan adik-adik, daripada Ibu mengkhianati Ayah.”
          Ini bukan sinetron kawan. Kakak saya benar-benar menceritakan demikian. Parahnya, bukan hanya kakak saya saja yang mengintervensi, tapi anak perempuan dari ayah baru saya juga melakukan aksi yang sama untuk menolak pernikahan itu.
          Maka, dengan kelapangan hati saya mengerti jika masa kecil saya tidak seriang yang lain.

..1996..
          Saya punya adik dari ayah tiri saya. Dan dengan permasalahan yang ada, entah itu karena keuangan juga pengasuhan yang layak. Kami -anak-anak ibu-, disebar.
          Kakak pertama saya dikirim ke sebuah pesantren di Garut.
          Kakak kedua saya tinggal bersama bibi –adik ayah– di Cimahi.
          Kakak ketiga saya tinggal bersama bibi –adik ibu– di Bogor.
          Kakak keempat saya tinggal bersama bibi –adik ibu– di Sukabumi.
          Dan saya sendiri tinggal bersama uwa –kakak ibu– di Bandung.
          Saat ibu melahirkan adik saya, saya sudah tinggal di Bandung. Saya tidak tahu kronologis persalinannya seperti apa, bahkan ketika saya datang ke rumah ibu bersama uwa untuk menengoknya, saya berada disana seolah-olah saya adalah tamu yang sedang menengok seorang saudara yang baru melahirkan.
          Inilah yang saya maksud dengan kerinduan itu, kawan. Saat kita ditakdirkan tinggal jauh dengan orang terkasih bahkan sejak saat kita tak bisa mengeja. Maka apa yang akan kita rindukan? Tak ada kenangan yang tersimpan, tak ada momen-momen berharga yang menjadi ingatan, tak ada ikatan batin yang sering digambarkan begitu dramatis.
          Ah, dengan kelapangan hati masihkah saya bisa mengerti?

..Februari 2008..
Dua belas tahun hidup terpisah dengan ibu, akhirnya saya memutuskan untuk tinggal bersama ibu. Ketika itu saya kelas 2 SMA. Beradaptasi dengan keadaan rumah yang asing dan mulai belajar untuk mengenal ibu. Sering kami berbeda persepsi dan bantah-bantahan. Pada sisi psikologis, memang ibu tidak mengenal saya, dan saya pun tidak mengenalnya. Sempat terlintas dalam benak saya bahwa lebih baik saya tidak tinggal dengannya dan membiarkan keterasingan ini, terlebih untuk menghindari percekcokan karena perbedaan persepsi yang sering terjadi. Setidaknya saya tak perlu memupuk dosa karena hal ini.
Hingga akhirnya memasuki dunia perkuliahan, saya kembali ke Bandung sekaligus bergabung kembali dengan keluarga uwa. Sering ibu mengatakan, “Kalian tidak boleh melupakan orang-orang yang sudah mengasuh kalian dari kecil. Kalau tidak ada mereka ibu juga ga tahu nasib kalian akan bagaimana.”

..2010..
          Kini, dengan kelapangan hati, saya sangat menyadari pengorbanan ibu. Saya sudah dewasa sekarang, sudah bukan waktunya lagi memandang masalah secara sepihak. Kejamkah pengorbanan ibu menitipkan anak-anaknya supaya dapat dibesarkan secara layak?
Kawan, kali ini saya benar-benar mengerti kalimat ibu, “Kalau bisa Ibu juga sebenarnya mau mengurus kalian dengan tangan Ibu sendiri. Sayangnya Ibu tidak bisa.” Itu bukan hanya sekedar basa-basi, kawan. Kepedihan seorang ibu yang terpaksa tinggal jauh dengan anak-anaknya, benar-benar terpaksa. Saya masih ingat ketika kakak ketiga saya mengutarakan protesnya karena harus tinggal di Bogor sejak TK hingga sekarang dia bekerja disana, Ibu hanya diam. Saya tahu, hatinya menjerit, batinnya menangis, dan entah perasaan terluka apa lagi yang mampu mewakili perasaannya saat itu. Percayalah, jika anak merasa sakit, maka ibu beribu lipat lebih sakit.
Saya pernah membaca tulisan ibu yang sederhana namun berarti banyak bagi saya. Ya Allah subhanallah. Lindungi aku. Kuatkan aku. Selamatkan dunia akhirat. Sekarang umurku, badanku, dan jiwaku merasa lelah, lemas, dan lunglai. Jauh dibanding umurku masih 20-an, padahal bebanku masih panjang dan berat memikulnya. Ya Allah lancarkan dan mudahkan urusan anak dan cucu hamba ya Allah. Selamatkan selamanya. Aku mohon kepada-Mu ya Allah.
Kawan, kini cobalah tatap ibumu dan lihatlah kedalaman hatinya yang sungguh mulia.
          Ah, Ibu…
          Dengan kelapangan hati saya mencintaimu. Dengan kelapangan hati saya mengasihimu.
          Hujan kau ingatkan aku pada satu rindu
          Di masa yang lalu saat mimpi masih indah bersamamu
          Kau Ibu… Kau Ibu…

Biodata Penulis
Sarah El Zohrah, lahir di Tasikmalaya, 17 April 1992. Gadis yang berdomisili di Garut ini sekarang adalah mahasiswa angkatan 2010 di Fakultas Keperawatan Unpad Kampus Jatinangor. Mengikuti kelas Mentoring Kepenulisan Kelas Esai FLP Bandung dan Kelas Menulis Cerpen Online Writing Revolution. Motto hidupnya adalah ‘not hope but full believe’, karena Allah tidak pernah memberikan sebuah kemungkinan melainkan sebuah ketentuan. Kontak dapat melalui email sarah_roel17@yahoo.com, fanpage Sarah El Zohrah, dan twitter @zohrahs.

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.