09 April 2011

,

Not Hope but Full Believe


(Kalimat ini terinspirasi dari kawan saya Aqo Taramambatu mahasiswa Unsur Cianjur)

Tinggalkanlah gengsi hidup berawal dari mimpi

Tentukan yang tinggi agar semua terjadi

Rasakan semua peduli tuk ironi tragedi

Senang bahagia hingga kelak kau mati

Pernah dengar lirik lagu Bondan & Fade 2 Black diatas? Aku begitu menyukainya sebagai motivasi ringan. Terutama kata-kata ‘tentukan yang tinggi’. Tak ada yang melarang kita untuk bermimpi setinggi-tingginya. Maka ayo, tinggikanlah mimpimu, kawan. Yakinkan dirimu bahwa kamu bisa, jangan pernah berharap tapi percaya karena Allah tidak pernah memberikan kemungkinan melainkan ketentuan. So say now! I’m not hope but full believe.

Jika harus bercerita tentang pengalaman krisis hidup terburuk hingga menimbulkan pembelajaran sebagai hikmah, maka bagi saya yang masih berusia 18 tahun, jawabannya adalah masa-masa perjuangan menggapai Perguruan Tinggi Negeri. Mengapa langkah menuju Perguruan Tinggi Negeri menjadi langkah pengalaman paling krisis bagi saya? Jika ini terdengar simpel, maka saya akan menceritakannya untukmu kawan.

Lulus aliyah dengan predikat lulusan terbaik. Banggakah? Tentu saja aku bangga karena sebenarnya aku bukanlah pemain lama di sekolah itu, aku bersekolah disana hanya dua tahun terakhir dengan kesulitan adaptasi ilmu-ilmu IPA yang tidak dipelajari di sekolahku yang sebelumnya. Tapi perlu aku garis bawahi disini, tantangannya bukan hanya disitu. Sekolahku adalah sebuah aliyah swasta yang hanya terakreditasi B di sebuah pinggiran kampung dengan fasilitas alakadarnya. Dan kelasku hanyalah sebuah ruangan kumuh yang terpaksa disekat dengan triplek karena kami harus berbagi dengan anak-anak kelas yang lain. Oh ya, kelas kami hanya memiliki 16 murid di tahun itu.

Entahlah, apakah aku menjadi juara umum karena memang aku cerdas atau memang karena teman-temanku yang kurang. Namun, yang aku sadari adalah tidak ada kecerdasan yang lahir dari seorang pemalas. Seperti sebuah ungkapan menarik, jenius adalah 1% inspirasi dan 99% keringat. Tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras. Keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan. (Thomas Alva Edison)

Setelah lulus mau apa? Kebanyakan teman-temanku lebih dituntut untuk bekerja membantu keuangan keluarga, tak sedikit pula teman-teman wanitaku yang sudah mengambil ancang-ancang untuk menikah. Dan aku? Berikut rentetan kesimpulan ceramah keluarga.

- Harus kuliah, tidak bisa tidak!

- Pilih tempat kuliah yang ringan biaya, kalau bisa gratis!

- Pilih tempat kuliah yang mengadakan ikatan dinas agar gampang bekerja!

- Pilih jurusan yang memiliki profesi yang menjanjikan!

- Jangan keluar dari Jawa Barat!

- Utamakan Perguruan Tinggi Negeri atau Sekolah Ikatan Dinas!

Hwaa. Gubrak! Bisa teman-teman bayangkan kebengonganku akan permintaan ini, atau usulan, atau tuntutan, atau apalah tepatnya.

Maka, sejak memasuki April 2010, hidupku mulai menggila. Gila dengan semua target dan rencana-rencana yang disusun, gila dengan jadwal belajar yang semakin dikebut, pokoknya gila dengan semuanya. Hingga aku sempat berpikir untuk mengecek kewarasanku kepada seorang psikolog.

Aku mempunyai beberapa sepupu yang juga sedang menjalani masa-masa transisi dari sekolah ke kuliah. Fajri di MAN I Sukabumi, Friska di SMAN I Tangerang, dan Rodiah di SMAN 5 Bandung. Beruntung aku memiliki mereka, hingga dengan keadaanku yang serba pas-pasan ini, aku bisa mencuri ilmu dan motivasi dari mereka.

“Kesal, kenapa harus divonis masuk kedokteran?”

Aku agak kasihan juga menatap Fajri. Dia adalah siswa kelas IPS, dan hanya sekitar 5 bulan menjadi siswa kelas IPA, itu karena ibunya ingin dia jadi dokter nanti.

Hal serupa hampir dialami Friska, saudaraku yang biasa dipanggil Ayank.

“Ayank bingung mau masuk apa? Papa cuma minta ITB, lha terus pilihan keduanya harus apa? Ayank udah gagal masuk kesana kemari. SNMPTN ini kesempatan terakhir.”

Nasib aku dan Ayank hampir sama. Daftar kesana kemari, dan gagal disana-sini. Tentu saja itu membuat kami jadi was-was. Mau dibawa kemana masa depan kami?

Kekhawatiran adalah suatu peristiwa, kebahagiaan adalah suatu pilihan. Jangan hilangkan keduanya. (Mario Teguh)

>> USM STIS

Saat berangkat untuk pendaftaran, aku berangkat bersama Ayah dan Veni (saudaraku yang sudah kuliah di UIN Bandung). Kami kena musibah, uang Ayah dicopet setengah juta. Di saat itu aku berpikir, ‘Harga mati untuk mengejar STIS.’

Kami berangkat berempat dari rumah Kak Tresna. Aku, Friska, Veni, dan Yenni bersama Kak Apep dan Kak Tresna menuju Tennis Indoor Senayan. Bisa kalian bayangkan, saya yang datang dari kampung akan bersaing dengan ribuan (kalau tidak salah pesertanya ada 17.000 lebih sekian) orang yang berkumpul di tempat ini, entah dengan atau tanpa persiapan. Namun ketegangan mereka terpancar jelas.

Ah, penyiksaan mental yang sungguh dramatis bagiku.

>> USM STAN

Bertepatan dengan pengumuman USM STIS pagi harinya.

“Aku ga akan liat pengumuman STIS dulu ah, biar bisa fokus buat USM STAN.”

Aku mendengar gumaman Veni. Yang mengikuti UMS STAN memang hanya aku dan Veni di SMPN I Cimahi. Tapi dengan keteguhan hati aku menatap daftar pengumuman nama-nama yang lolos USM STIS pagi harinya.

Cimahi… Cimahi…

Dengan seksama aku membaca satu persatu nama yang tertera. Tidak ada namaku.

Kaget? Tentu. Hanya mengobati diri dengan sengatan motivasi, menutup mata mengingat mantra hidup terbaik.

Orang yang berhenti mencoba selepas kegagalan pertama sebenarnya tidak berlaku adil terhadap diri mereka sendiri. Mereka seolah-olah menganggap bahwa kehidupan ini hanya terdiri dari satu peristiwa. Jika tidak tercapai, habis!

Jadi sudahlah, aku tak akan menceritakan kronologis semua rangkaian kegagalan dalam langkah ini. Tapi, untuk mengingatkan kalian bahwa tidak ada orang sukses yang melangkah tanpa sandungan, aku paparkan poin-poin kegagalan dalam hidupku ini.

Lembar Kegagalan

2002 : Gagal Lomba Mata Pelajaran Bidang Matematika

Agustus 2008 : Gagal Lomba Menulis Cerita Keagamaan Depag

15 Agustus 2008 : Gagal Lomba Pidato HUT Bhayangkara

15 Agustus 2009 : Gagal Lomba Pidato HUT Bhayangkara

Maret 2010 : Gagal PMDK UPI Bandung

20 Juni 2010 : Gagal USM STIS Jakarta

26 Juni 2010 : Gagal Sipenmaru Poltekes Bandung

3 Agustus 2010 : Gagal USM STAN Jakarta

4 Oktober 2010 : Gagal Lomba Menulis Flash Fiction

28 Oktober 2010 : Gagal Lomba Menulis Surat dari Calon Ibumu

18 November 2010 : Gagal Lomba Menulis Cerpen Perawat Se-Jabar

Ibarat pegas. Pegas yang tertekan mempunyai potensi gerak, maka manusia yang tertekan mempunyai potensi untuk memperbaiki diri.

Ya, tak ada masalah dengan kegagalan. Toh dalam suatu kompetisi tidak akan ada yang menang jika tidak ada yang gagal, dan terkadang kita harus memberikan hadiah untuk saudara kompetitor kita yang lain dengan kegagalan itu.

Saat aku gagal, aku marah, aku kecewa, aku menyesal kenapa aku tidak berdiam diri saja dan tak perlu menjemput kegagalan. Apa coba? Berkompetisi hanya untuk gagal? Tapi itu hanya sepersekian detik seperti percikan kembang api yang menyala terang kemudian meredup. Setelah kegagalan itu, aku tersenyum, jika tidak gagal maka kisah kesuksesan seperti apa yang akan aku bagikan.

Saat gagal, apakah aku masih memakai motto not hope but full believe? Tentu saja ya, aku percaya pada ketentuan Allah yang terbaik, sekalipun aku gagal maka aku percaya itulah rencana yang terbaik, aku tak perlu berharap ini mimpi, berharap waktu kan kembali, berharap pengumumannya salah, berharap ini, berharap itu. Tapi aku percaya, apapun itu Allah masih mengijinkanku untuk berlari mengejar mimpi.

Jadi, please… Jangan pernah berpikir untuk berhenti saat kalian gagal, kawan! Kebanyakan dari kegagalan dalam kehidupan adalah karena manusia tidak sadar bahwa mereka nyaris sukses sewaktu putus asa. Bagaimana kalau akhir upaya kita, bagi Tuhan adalah awal dari perjalanan kita?

Kini saat saya gagal dengan pendaftaran-pendaftaran sekolah ikatan dinas, maka tumpuan saya ada pada SNMPTN. Dan kepercayaanku akan kasih sayang Allah adalah adegan 17 Juli 2010.

Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Oke, baiklah. Aku mengatur nafasku. Aku yang dari aliyah swasta di pinggiran kampung dengan kelas bertriplek kini memasuki Unpad yang sedang menuju World Class University. Perhatikanlah, Abraham Lincoln pun sukses bukan karena dia terlahir dari sebuah pondok sederhana melainkan karena dia berhasil keluar dari pondok tersebut dengan elegan.

So, say now! I’M NOT HOPE BUT FULL BElIEVE…

Ruang Tutor 10, 3 Desember 2010

2 comments:

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.