09 April 2011

Orientasi Aksi Dodol



       (Tulisan ini diikutkan dalam antologi cerita gokil Sekolah Tinggi Menulis Jogja)

       Sore itu. Ya, waktu itu ingin disebut sore. Tapi mungkin saat tulisan ini kamu baca bukanlah sore, entah setengah sore, menjelang sore, atau malah kamu sendiri ga tahu sore itu apa. Kamu kira sejenis agar atau semacamnya. Tapi yang saya ingin ceritakan disini bukanlah definisi sore dengan kegilaannya. Saya ingin menceritakan sore itu, saat rengkuhan angin menusuk raga dan menjadikanku menggigil menerpa pakaian penghangat (beuh so nyastra).

Kita sedang persiapan buat simulasi aksi besok. Aku diajakin Si Kaka buat ikut teatrikal, tapi aku lompat kesana-kemari. Liat Si Netty lagi ngajarin anak TK nyanyi lah (anak TK?), nggak maksud aku rekan-rekan 2010 lah. Terus gabung sama Anya bikin persembahan sesajen, bukaaaan, persembahan angkatan maksudnya. Kesana kemari kayak ombak banyu, kadang ngisengin Wiwi yang juga bingung mau ngapain. Sampai tik tik tik bunyi hujan di atas pohon, padahal ga bunyi loh. Biarlah toh sastra itu kan memperkosa kata (hii dirajam donk :P).
Kita pulang dengan ngapalin marsnya slank, aku juga baru tahu itu namanya mars slank, ntar ada juga ya merkurius slank atau venus slank?? Tapi sebelum siul-siul pake lagu slank, kita intro pake jualan aqua, ups bukan, maksudnya nyanyi dengan instrumennya iklan aqua. @_@
Mau tahu ga rombakan lagu karya Netty? Mau lah makanya baca tulisan ini juga.
Incredible…. fighting fighting fighting….
Incredible…. fighting fighting fighting…
Incredible… inredible… incredible…
Disini Incredible sepuluh
Salah tempat kalau kau cari musuh
Disini orang-orang penuh kreatifitas
Perkumpulan orang yang cerdas
Disini bukan anak-anak manja
Yang bisanya cuma bercanda aja
Tapi disini orang-orang pintar
Rajin bekerja dan terpelajar

Keesokan tanggalnya…
“Kalian merasa takut??” Teriak Sinta.
“Tidaaak!!!”
“Kalian akan mundur??” Masih kuat teriak juga tuh anak.
“Tidaaak!!!”
“Kalian akan terus maju untuk RUU Keperawatan??”
“Tidaaak!!!”
Hahaha, kebanyakan semangat teriak ‘tidak’ mereka jadi ga fokus pertanyaan Sinta tuh apa.
Aku nonton mereka dari belakang, aku kan cuma eksis pas teatrikal saja. Jadinya aku hanya memperhatikan sekitar, ngeliatin Soso sama Ais yang sibuk diliput wartawan, Indra sama Gigit dan entah siapa lagi yang sedang nego sama satpam DPR, eh emang dia satpam gitu bukannya itu jubir ya? ah ga tahu lah, terserah dia mau jadi satpam, jubir, atau Cristina Aguilera juga.
Tapi aku ikut-ikutan aja pas mereka nyanyi-nyanyi lagu totalitas perjuangan.
Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpangan jalan
Stop ,stop ,stop! Udah ah, ntar note ini malah penuh sama lirik lagu aja.
Suasana halaman DPR pun makin rusuh, polisi-polisi yang ga jelas dari mana rimbanya mulai mengeluarkan senjata. Pokoknya semuanya rusuh (padahal mau kemana sih rurusuhan? Haa. Itu buru-buru ya). Aksi tarik-tarikan antara pendemo dan polisi pun ga bisa terelakan lagi. Aku hanya punya inisiatif mengamankan anak-anak teatrikal.
Dalam kerumunan pendemo salah satu anak teatrikal, Tsaalits, ditarik paksa oleh salah satu polisi, jadilah kita tarik-tarikan Si Tsaalits kayak anak kampung lagi berebutan sembako, Dinny bajunya sampai robek gara-gara dimangsa sana-sini, Puji terinjak-injak harga dirinya hahaha, nggak denk tapi dia benar-benar keinjak-injak pas aksi itu, Wasilah diserbu beberapa polisi tanpa ada yang berani menolong, beuh Si Alo itu gayanya udah pendemo abis, udah ketangkep juga masih aja teriak-teriak, ckckckck. Lain lagi dengan Djoko, dia kena tangkap salah satu polisi yang aku tahu namanya Kang Imam. Eeh udah ketangkep, Djoko berhasil melepaskan diri, iya lah Kang Imam tuh kan badannya irit. Tapi lucunya Kang Imam ga nyerah ngejar-ngejar cintanya Djoko, haa? Ya bukan gitu lah, Kang Imam itu mau nangkep Djoko buat jadi santapan tikus kantin. Hahaha, bukan gitu juga. Yang jelas Kang Imam sama Djoko malah kejar-kejaran keliling lapangan kayak orang main kucing-kucingan.
Simulasi aksi selesai siang itu, lanjut dengan aksi evaluasi. All is well, all is well. Bisikku so tenang.
Kita dijemur di lapangan kayak ikan asin mau digoreng. Mana akang teteh pada pake jaket warna merah semua, suasana jadi semakin terasa panas siang itu.
Siiiiiing. Lama sekali hanya untuk sekedar baris berbaris.
“Kamu putri! Rapatkan tumitnya,” Kang Decky berkata tegas.
“Rapatkan tumitnya!” Ulangnya.
“Saya bilang rapatkan tumitnya!”
Oh, aku baru ngeh ternyata dia sedang bicara pada saya toh. Nah loh, nama saya kan bukan Putri. Tapi tak apalah daripada dipangil Putra, kan ga banget.
“Kamu ini tidak bisa baris berbaris ya?” Dia menghampiriku.
Aduh, aku bukannya ga bisa baris berbaris tapi masalahnya aku ga tahu tumit tuh yang mana. Lha?
Evaluasi berlangsung dramatis. Ketujuh peserta Mabim yang tidak memenuhi syarat kelulusan diminta membawa tas mereka dan pulang ke WC masing-masing yang ada kosan atau rumah merekanya. Dari ketujuh peserta tersebut kebetulan ada Si Alo, yang kalau lagi materi Mabim kerjaannya ngantuk mulu. Benar-benar turunan Bibinya hahaha.
Maka saat mereka akan meninggalkan lapangan kami mengacungkan tangan untuk pembelaan.
“Telaaat. Kemana aja kalian dari tadi? Sekarang baru mau membela,” Ujar salah seorang evaluator wanita.
“Tunggu, tahan. Ketujuh peserta jangan dulu meninggalkan lapangan,” Teriak Eval yang lain, yang kalau dari suaranya kayaknya dia seorang pria. Aku ga tahu, abis dia teriak-teriak dari belakang.
“Siapa yang mau memberikan pembelaan untuk temannya yang di depan??!”
Aku mengangkat tangan barengan dengan beberapa teman lain.
“Tidak kamu!” Tunjuk seorang Eval ke arahku.
Jiah, selalu saja begini kalau lagi evaluasi. Ketiga kalinya pas angkat tangan dijawab dengan ‘Tidak kamu’. Padahal asli selama evaluasi aku ga pernah bersuara, kecuali pas materi aja kok. (Sori Alo, aku ga bisa mengajukan pembelaan untukmu T_T)
Setelah berlama-lama dengan evaluasi, sampai kakiku terasa kebas melayang gara-gara pegal, akhirnya mereka dinyatakan lulus bersyarat dengan tektekbengek tugas tambahan.
Jadilah acara selanjutnya dilanjutkan dengan salam-salaman kayak abis lebaran di lapangan ied.
Tapi aksi evaluasi belum beres.
Jreng, jreng, jreng.
Paketu dan Cabe baru datang dari latihan basket. Haaa? Siapa tuh? Itu tuh Firman sama Isara yang juga ga memenuhi persyaratan Kelulusan Mabim.
Sore itu sebelum acara persembahan angkatan, mereka berdua dievaluasi. Hanya berdua.
“Perangkat kelas, semua maju ke depan!” Teriak evaluator, “Kalian rundingkan apakah kedua peserta ini pantas lulus atau tidak?”
Aku masih diam menatap Isara yang mukanya sudah memerah. Tegang sepertinya di depan sana. Ih, bukan sepertinya lagi kali ah.
Netty mulai menangis, “Saya tidak mau kalau Isara tidak diluluskan,” Isaknya.
“Tidak menangis!” Sembur Evaluator.
Dinny mengangkat tangannya.
“Gini ya temen-temen, sebelumnya kita mau nanya pendapat teman-teman, apakah Isara sama Firman ini mau diluluskan atau tidak??”
Dinny mundur satu langkah menjauhi kedua peserta itu, memberikan isyarat dengan melambaikan tangannya supaya kami menjawab tidak.
“Tidak…” Bisik kami pelan.
“Apa??!” Sontak Eval berteriak.
“Tidaaakkk,” Teriak kami.
Isara mulai menangis, air matanya terjatuh sangat menyakitkan. Heu.
Beberapa mulai mengangkat tangan, mengajukan pembelaan untuk Isara. Sepertinya mereka tidak mengerti isyarat Dinny waktu itu. Hei, kawan-kawan! Ini hanya sandiwara aksi evaluasi dari kita untuk Isara dan Firman. Maka aku mengangkat tanganku.
“Iya, Sarah,” Dinny mempersilahkan.
“Saya sangat menghargai Firman sebagai Ketua angkatan yang selalu membela kita, saya juga tidak menampik hal itu. Tapi mengingat kegiatan Mabim ini adalah untuk keperluan personal, jadi resiko yang kita ambil adalah tugas individu dan kesalahan individu. Jadi….” Aku menggantung kata-kataku, tidak berani menatap Isara maupun Firman, “Jadi, saya meminta agar mereka tidak diluluskan.”
Hwaaaa. Nekat aku mendukung skenario Dinny. Aku ga berani liat lagi ke depan waktu itu. Kebayang Isara dengan raut muka marah dan menyemburkan api di aula itu. Lha, emangnya dia naga di film Sun Go Kong gitu, orang cantik gitu (heu ngerayu ceritanya).
Perangkat kelas kembali berembuk. Entah mereka sedang kasak-kusuk apa, mungkin sedang mendiskusikan mending makan siang sama batagor kuah atau mie ayam . lha?
Dan setelah itu, Netty kembali beraksi.
“Maaf ya, sebelumnya,” Air mata Netty kembali berlomba menghampiri pipi, “Maaf banget buat Isara sama Firman….”
Isara udah nangis beneran. Eh perasaan dari sebelumnya juga udah nangis kok.
“Kalian…” Netty melanjutkan, “Kami sepakati tidak lulus Mabim.”
Beuh, wajah Isara parah saat itu.
“Tapi bohoooong,” Teriak Netty.
Hwahahaha. Suasana aula pun mencair. Kita semua peluk-pelukan sama Isara, yang meluk Firman ada ga ya? Haa. Aku juga berinisiatif untuk minta maaf. Toh aku yang jadi pemeran antagonis disini. Tapi sebelum mau meluk Isara aku linglung sendiri. Muhrim bukan ya kita? Hahahaha ^_^v.
Begitulah yang ingin aku ceritakan dari simulasi aksi dan aksi evaluasi hari itu, yang berakhir dengan sandal jepit aku disembunyikan Isara di atas pintu L.
Terima kasih untuk pergerakan yang begitu memukau, hingga catatan ini bisa hadir.
Untuk akang teteh eval yang ga bisa aku sebutkan namanya, karena setiap kali kalian bicara aku ga berani liat kalian, jadi aku ga tahu suara merdu siapa yang sedang bicara.
Mohon maaf apabila ada kesamaan nama dan cerita, karena ini memang sengaja diambil dari kisah nyata. Semoga bisa diambil hikmah di balik kran wastafel, kalau si hikmah itu sudah diambil mungkin tidak akan jadi penyumbat wastafel yang airnya sering tergenang itu ?_?.

Salam,
Sastra Keperawatan
_Sarah El Zohrah_

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.