09 April 2011

,

Pemakaian Ejaan yang Disempurnakan dalam Sastra Populer Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Berbahasa Penulis Muda




(Tulisan ini dibuat Saat Moka UPI 2010)
Di awal kemunculannya, para penulis muda dianggap sebagai aktor-aktor yang akan merusak bahasa sekaligus budaya bangsa Indonesia. Kenalkah kita dengan idiom "Geto lho..."; "Sumpeh lo?"; atau "So what, gitu lho?!"? Tak mungkin di antara kita tidak mengenalnya. Idiom ini seperti bayangan tubuh, terus mengikuti sampai mana pun kita berjalan.
Lalu darimanakah awal bahasa tersebut bermula?
Salah satu contohnya adalah idiom “Geto lho…”. Dalam kamus bahasa gaul, kata ini berarti "Demikian / Begitu", yang merupakan penekanan dari sebuah penjelasan yang disampaikan oleh sang pembicara. Kata ini cukup terkenal di tahun 2006, karena sering digunakan oleh para penyiar radio (terutama radio anak muda) setiap kali selesai menjelaskan sesuatu. Kata ini makin populer manakala sering digunakan dalam berbagai percakapan yang bernada jenaka di berbagai acara televisi.
Penggunaan idiom ini pun sudah tidak lagi berkutat di dunia lisan, tapi telah menjadi ikon di dunia tulis. Seperti maraknya karya-karya novel yang disebut Teenlit dan Chicklit, di mana penulisnya baru berusia 14-20 tahun yang menjadikan bahasa yang mereka pakai pun adalah bahasa anak-anak remaja.
Menurut Umar Kayam (1981:82) sebutan novel populer atau novel pop. Mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70-an. Sesudah itu novel hiburan tidak peduli mutunya, dan disebut juga novel pop. Kata pop erat diasosiasikan dengan kata populer, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis untuk “selera populer” yang kemudian dikenal sebagai bacaan populer. Dan jadilah istilah “pop” itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra. Sebagai kebalikan sastra populer itu adalah sastra yang “sastra”. “Sastra serius”, literatur. Sastra serius, walau dapat juga berupa inovatif dan eksperimental, tak akan dapat menjelajah sesuatu yang mirip dengan “main-main” (Kayam. 1981: 85-87).
Dalam dunia karya sastra, “Sastra Populer” dan “Sastra Serius” selalu menjadi bahan perbincangan yang ujung-ujungnya mentasbihkan bahwa “sastra serius” secara estetika dan nilai mempunyai tempat lebih tinggi dibanding dengan “sastra populer.”
Hal ini menunjukan, seperti "bacaan liar", sastra populer ditandai pula oleh penggunaan ragam bahasa tertentu yang dianggap tidak standar, yang "menyimpang" dari kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Karena ragam bahasa yang digunakannya itulah, sastra populer dianggap sebagai sastra yang tidak bermutu dan tidak bermasa depan, sedangkan sastra serius sebaliknya.
Sistem fonologis, morfologis, sintaksis, maupun semantik memang "sengaja" ditabrak oleh pengarang demi kaidah estetik. Hal ini tidak jadi masalah. Masalahnya ada nilai estetik dalam novel. Kaidah-kaidah formal dan baku bisa menghilangkan nilai itu.
Namun jangan dulu bicara sistem itu pada karya penulis muda. Karena dalam penulisan yang diapakai oleh anak muda, kesalahan yang sering ditemui adalah mengenai kecermatan membedakan antara bahasa lisan dengan bahasa tulisan. Pengarang bahasa populer kadangkala kurang memahami, seperti penempatan titik dan koma kalimat. Menurutnya, pengabaian terhadap tata bahasa, malah akan menghilangkan unsur-unsur penting dalam novel, tokoh, alur, tema, pencerita, dan latar.
Secara umum, bahasa yang dipakai oleh penulis muda dalam novel populer biasa disebut dengan bahasa gaul. Bahasa gaul itu sendiri adalah dialek nonformal baik berupa slang atau prokem yang digunakan oleh kalangan remaja (khususnya perkotaan), bersifat sementara, hanya berupa variasi bahasa, penggunaannya meliputi: kosakata, ungkapan, intonasi, pelafalan, pola, konteks serta distribusi.
Masih banyak sekali bahasa gaul yang digunakan para remaja dalam percakapan sehari-hari. Penyebabnya adalah kurangnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia baku. Namun, tidak semua remaja menggunakan bahasa gaul ini. Yang menggunakannya pada umumnya adalah remaja yang ingin dianggap beken atau tenar di kalangan teman-temannya. Mereka menganggap berbahasa gaul adalah keren, padahal di mata remaja lain gaya bahasa mereka adalah alay. Alay adalah singkatan dari Anak Layangan, yaitu anak-anak yang dalam berbicara atau menuliskan kata-kata cenderung agak kampungan.
Contoh yang sangat umum diperlihatkan oleh para remaja, entah itu dalam situs jejaring sosial atau dalam pesan singkat adalah tulisan-tulisan seperti "lagi apa?" menjadi "gi pha??" atau kalimat "bosen banget" menjadi “bsen bgd nh "atau "bosen beud nh". Memakai simbol tambahan seperti "p@ k@bar L0e/?" atau "hha.. y nh.. lg bosen-" pada kalimat yang ditulisnya. Menulis dengan huruf besar dan kecil dalam satu kalimat, seperti “SaYaSedAnG TiDAk AdA di RuMah SaaT iNi.” Menulis dengan diselingi angka di dalam kalimat, seperti “54Y4 S4Y4N9 S4m4 K4M03.” Menggunakan tanda baca yang tidak perlu di dalam kalimatnya, contoh “Aq...engga...tauuuu...mauuu..nulizzz...appaaaaaa.......!?!?!” Hingga menggunakan singkatan-singkatan yang berlebihan, contoh Aq gga da wqtu skrg wt ktmu qm, qm jja yg dtnk k t4 q.
Selain alay, pemakaian bahasa seperti itu pun biasa disebut lebay. Lebay merupakan hiperbol dan singkatan dari kata "berlebihan". Kata ini populer di tahun 2006an. Ruben Onsu juga Olga yang mempopulerkan kata ini di berbagai kesempatan di acara-acara televisi yang mereka bawakan, dan biasanya digunakan untuk "mencela" orang yang berpenampilan norak.
Mengacu pada pemakaian bahasa gaul tersebut, di awal kemunculannya, para penulis muda tersebut mendapat kritik tajam dari para ahli bahasa, apalagi kalau bukan masalah bahasa dan isi. Mereka dianggap sebagai aktor-aktor yang akan merusak bahasa sekaligus budaya bangsa itu sendiri. Karena berbahaya sekali jika anak-anak kecil menggunakan gaya bahasa gaul ini. Mereka bisa menuliskan dan mengucapkannya hingga remaja nanti, sehingga mereka tidak mengetahui yang manakah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bisa saja karena mereka terlalu sering menggunakan bahasa remaja hanya karena ingin gaul dan tenar, lalu mereka mengucapkannya di depan guru, menuliskannya pada lembar jawaban ulangan esai, dan menggunakannya ketika berpidato.
Mengapa demikian?
Karena mereka sudah terbiasa dengan bahasa gaul ini, bisa saja mereka lupa dengan bahasa asli bahasa Indonesia yang baik dan benar. Para remaja tidak mengenal karya-karya sastra sastrawan Indonesia, sehingga kosa kata yang mereka  miliki adalah bahasa-bahasa gaul yang sangat mudah untuk ditemui.
Salah satu contohnya adalah penggunaan kata ‘secara’ dalam kutipan dialog berikut ini.
“Gue gak bisa ikut acara lo neh hari ini, secara bokap gue lagi sakit.”
“Ya. Gimana dong? Secara acara ini kan acara kita.”
Kata ‘secara’ sebenarnya adalah bahasa Indonesia, yang bermakna "Adalah". Namun kata ini menjadi populer di tahun 2006-an di kalangan siswa-siswi SMU yang menggunakan kata ini sebagai kata ganti "Karena / Soalnya". Sesekali pula digunakan sebagai sisipan tanpa makna, hanya sebagai penekanan pada kalimat yang mereka katakan.
Senada dengan hal itu, idiom ‘nih yee’ dalam kalimat “Malu, nih yee.” Atau “Sirik, Nih yee.” Sering kita temui dalam perbincangan remaja atau sastra populer. Nih yee, merupakan ungkapan yang dipopulerkan oleh pelawak (alm) Diran di tahun 1985-an, yang kemudian sering digunakan oleh para artis seperti Euis Darliah dan Jaja Miharja. Kata ini sempat populer kembali sekitar 1990-1999. Saat ini masih dipakai, walau tidak seintens dulu.
Merujuk kepada pepatah manusia bisa karena terbiasa. Maka, jika anak-anak remaja itu sudah terbiasa menulis dengan kata-kata yang salah maka selanjutnya akan salah. Hal ini dapat membuat penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak dipakai dan mati. Seharusnya remaja membudidayakan berbahasa yang baik, karena kalau bukan remaja, siapa lagi?
Namun, mungkin karena jam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang kurang, bisa saja mereka menjadi malas berbahasa yang baik. Atau mereka menganggap guru mereka membosankan, jadi mereka merasa pelajaran bahasa Indonesia pun membosankan, dan mereka tidak peduli dengan tata cara bahasa yang baik dan benar.
Maka, apakah kaum remaja tersebut harus mempertahankan penggunaan bahasa baku dalam karya-karya mereka atau bertahan dengan pemakaian bahasa gaul, yang menurut pandangan para sastrawan adalah “bacaan liar”? Sementara di sisi lain, para sastrawan pun memang tidak memakai jalur bahasa yang wajar ketika membuat sebuah karya sastra, khususnya puisi, sehingga mereka pun terkadang dijuluki sebagai ‘Pemerkosa Kata’.
Jika merujuk kepada ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, yang telah diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan putusan presiden No. 57, tahun 1972. Maka ejaan tersebut bisa dipakai sebagai patokan dalam penulisan bahasa dalam sebuah karya sastra, terlepas dari apakah karya tersebuat sebuah sastra serius maupun sastra populer. Maka dari itu, departemen pendidikan dan kebudayaan menyebarkan buku yang berjudul “ Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan" agar para penulis atau pemakai bahasa Indonesia mampu mengapresiasikannya dalam setiap karya mereka.
Huruf-huruf dibawah ini sebelumnya sudah terdapat dalam ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing yang diresmikan pemakai. Seperti huruf F dalam kata maaf, huruf V dalam kata valuta dan universitas, dan huruf Z dalam kata zeni dan lezat.
Huruf-huruf Q dan X yang lazim digunakan dalam ilmu ekstrakta tetap dipakai misalnya: a : b = P : Q, juga pemakaian ‘Sinar X’. Juga seperti penggunaan huruf Dj menjadi J, dan Oe menjadi U.
Penulisan d – sebagai awalan yaitu di – sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya sedangkan d sebagai kata depan ditulis terpisah. Contoh: Ditulis Di kampus, Dibakar Di rumah.
Kata ulang ditulis penuh dengan huruf tidak boleh digunakan angka 2. Contoh: Anak-anak, Berjalan-jalan, Meloncat-loncat.
Akhirnya, terlepas dari selera pembaca secara umum, penulisan sebuah karya para penulis muda hendaklah merujuk kepada sistem ejaan yang telah disempurnakan. Namun, tidak bisa disalahkan jika mereka terbiasa menggunakan bahasa gaul atau idiom-idiom yang sering dialafalkan para remaja, selama karya tersebut tidak melenceng dari ejaan-ejaan bahasa Indonesia yang telah disempurnakan. Agar bahasa Indonesia menjadi bahasa kecintaan kita, agar bahasa Indonesia menjadi jati diri bangsa kita.

1 comment:

  1. luar biasa. esaimu amat menarik dan membetot siapa saja yang membacanya.

    memang, akhir-akhir ini banyak bertebaran novel-novel populer, antologi, bahkan artikel blog yang dibukukan (sekalipun berantakan) di indonesia. tak bisa dimungkiri, hal itu teramat mengancam kelestarian bahasa indonesia.

    "kami memang menarget pasar remaja. maka dari itu, kami menggunakan bahasa selang supaya kalimat-kalimat yang kami tulis lebih mengena di hati para pembaca yang memang sebagian besar adalah remaja yang notabene lebih akrab dengan bahasa selang," begitu alasan-alasan yang kerap terlontar dari lisan para penulis novel pop, teenlit, atau penulis blog yang dibukukan itu.

    padahal, bukan seperti itu cara menarik pasar remaja.

    bukankah harry potter bertokohkan para remaja? bukankah harry potter tetap digandrungi jutaan remaja di seluruh dunia? bukan remaja saja, orang dewasa pun!

    padahal harry potter menggunakan bahasa baku, bukan bahasa selang.

    maka dari itu, persoalannya bukanlah pada segmen pembaca. namun kepiawaian para penulis pop, teenlit atau entah apa itu untuk menumpah-ruahkan isi kepalanya untuk kemudian dianggit menjadi kalimat-kalimat sederhana yang tak kehilangan esensi serta tetap memperhatikan kaidah EYD.

    lantaran, pembaca zaman sekarang lebih pandai daripada penulisnya.

    salam kenal dari Kota Hujan...
    @cepyhr

    ReplyDelete

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.