12 September 2011

, ,

Tentang Keluarga Besar Sudibja


Sebenarnya posting tulisan ini masih sambil mesem2 campur haru gitu. Bagaimana tidak? Saya menemukan grup Keluarga Besar Sudibja di facebook. Memangnya siapa beliau?


Ceritanya begini, dulu saya merasa terasingkan sekolah di Persis. Saya tidak tahu kenapa saya disekolahkan di Persis? Saya kira saya akan sekolah di SMPN 1 Cicalengka seperti Teh Erna atau di SMPN 1 Kersamanah seperti Teh Ami. Tapi ternyata saya ditunjuk oleh Tante yang mengasuh saya untuk jadi anak pondokan. Saya manut-manut saja karena tidak berani menentang waktu itu. Ibu saya mengakui bahwa dia sangat menyukai Persis karena dulu hanya Persis-lah yang terang-terangan mewajibkan perempuan memakai kerudung. Kecintaan ibu saya terhadap Persis membuatnya jatuh cinta pada seorang ulama, namun yang dia nikahi adalah ulama NU. Ayah saya yang merupakan Kiyai NU tersebut meninggal saat saya masih berusia 8 bulan. Mungkin jika ayah saya masih hidup, saya akan menjadi seorang aktivis NU dan tidak mengenal Persis sepenuhnya.

Selama sekolah di Persis saya sangat iri dengan teman-teman yang semua keluarganya dari Persis atau simpatisan Persis. Karena pesantren saya di Persis Cibegol sangat kental dengan ke-persis-annya, semuanya jadi saling kenal saudara masing-masing, atau ayah mereka, atau ibu mereka, apalagi mereka yang sangat dihormati oleh ustad-ustad karena status mereka sebagai anak si ini atau anak si itu.

Saya memang mengaji di Persis dari kecil, itu karena saya diasuh oleh Tante saya yang simpatisan Persis. Almarhum ayah saya yang merupakan kiyai NU membuat keluarga dari pihak ayah terheran-heran kenapa saya bisa sekolah di Persis semnatara alamarhum ayah saya Kiyai NU. Semua anak ayah tidak ada yang berhubungan dengan Persis, kakak pertama saya NU karena sempat dididik oleh almarhum ayah, smentara dua diantara kakak saya adalah aktivis tarbiyah (PKS) karena diasuh oleh Bibi saya yang menikahi Ustad Tajudin Noor (anggota DPR-D dari PKS), hanya saya satu-satunya yang Persis. Itu membuat saya merasa beda sendiri dan jarang bersama-sama jika ada kegiatan.

Dalam keluarga besar saya hanya ada dua keluarga yang Persis, yaitu keluarga Tante yang mengasuh saya dan keluarga Bibi saya di Sukabumi yang pernah sekolah di Persis Bentar. Anak-anak beliau semuanya sekarang disekolahkan di Persis Rancabango. Tante saya yang simpatisan Persis hanya menyekolahkan anaknya yang bungsu di Persis Cibegol bersama saya.

Lulus Tsanawiyah (SMP), saya sudah bosan tinggal di Persis Cibegol. Saya ingin meninggalkan semuanya, tapi karena sistem pendidikan yang rumit maka saya hanya bisa bersekolah di sekolah swasta atau yang sama-sama Persis, karena itulah saya sekolah ke Persis Rancabango. Namun ternyata itu bukan langkah yang tepat, saya semakin merasakan kekentalan Persis di Rancabango yang dulu ingin saya buang dari Cibegol, apalagi ternyata mayoritas mereka semua mengenali orang-orang di Persis Cibegol, ternyata persaudaraan di Persis itu sangat kental. Hal tersebut membuat saya tidak bisa melupakan Cibegol dan batal pindah dari Cibegol.

Pada saat kelas 1 Muallimin (SMA), saya diminta mengajar di mesjid yang didirikan almarhum kakek saya yang terletak di Jalan Cagak selama Ramadhan. Ketika berada di mesjid, saya kaget karena ternyata pada mimbar mesjid terpasang lambang Persis. Saya menanyakannya pada Tante saya dan dia menjelaskan bahwa kakek saya memang orang Persis, beliau adalah alumni Persis Pajagalan.

Betapa bangganya saya saat mengetahui bahwa kakek saya dulu adalah seorang santri Persis, hal tersebut membuat saya semangat kembali menjadi aktivis Persis karena ternyata saya memiliki darah keturunan Persis. Saya selalu tergelitik untuk menanyakan pada orang-orang yang berada di Persis Cibegol, apakah mungkin mereka kenal dengan kakek saya yang pernah sekolah di Persis Pajagalan atau mungkin kepada Bibi saya yang pernah sekolah di Persis Bentar. Tapi hal itu tidak pernah saya lakukan karena saya akan terlihat bodoh jika ternyata mereka tidak mengenal mereka sama sekali.

Namun ternyata saya harus berhenti tinggal di pesantren setelah kelas 2 Muallimin karena sering sakit-sakitan. Ketika hendak keluar dari Persis Cibegol, saya sudah berniat untuk melupakan tentang Persis, namun ternyata Ustad Hamdan yang merupakan Ustad yang paling memperhatikan saya memberikan petuah terakhir yang serius yakni saya harus tetap di jam’iyyah, dalam arti dimana pun saya berada saya harus ada di jalan Persis. Mengingat saya memang aktif di Ummahatul Ghad, maka sudah pasti saya akan terus berorganisasi setelah keluar dari Persis Cibegol.

Saat keluar dari Persis Cibegol, ibu saya ikut menginap di asrama dan beliau yang mengurus surat kepindahan saya kepada Ustad Hamdan. Ketika saya mendengar dialog antara ibu saya dan Ustad Hamdan, saya tercengang karena ternyata ibu saya mengatakan bahwa dia mengenali tokoh Persis yang juga berkontribusi dalam kemajuan Persis. Namanya Ustad I. Sudibja dan ibu saya memanggilnya Aki Dibja. Saya mendengarkan saat ibu saya menjelaskan bahwa kakek saya dulu dimasukan ke Persis Pajagalan oleh Aki Dibja. Beliau merupakan saudara kandung dari kakeknya kakek saya, itu yang saya tangkap. Ketika mendengar penuturan ibu saya, Ustad Hamdan memperlihatkan wajah kaget, dia mengaku bahwa Ustad Sudibja adalah panutannya dan dia tidak menyangka kalau ternyata saya, murid yang sangat dekat dengannya, masih keturunan Ustad Sudibja, meskipun itu sangat jauh dan sangat lama sekali.

Mendengar hal tersebut, reaksi saya pun sama kagetnya. Ketika orang-orang dikenal di Persis karena dia merupakan keturunan Persis, maka saya besar di Persis tanpa tahu kenapa saya harus bersekolah di Persis. Kini, nama Ustad Sudibja selalu ada dalam benak saya, ada rasa bangga yang menyeruak saat ada pertemuan Persis dan nama Ustad Sudibja masuk dalam daftar. Mungkin dulu beliau tidak pernah berpikir saat mengajak kakek saya untuk sekolah di Persis Pajagalan, kelak cucu dari orang yang beliau ajak akan menjadi seorang aktivis Persis yang sangat mencintai Persis.

Ya, dulu saya tidak tahu kenapa setelah keluar dari Persis Cibegol saya masih setia pada Persis. Itu saya tunjukan dengan menjadi anggota cabang Pemudi Persis dalam usia 16 tahun dan ketika usia 17 tahun saya ditunjuk menjadi Bidgar Dakwah. Ketika ada kegiatan Kaderisasi Anggota Baru Hima Himi (Kabah), saya ditanya kenapa saya berada di jalan ini. Ketika itu saya mengaku bahwa saya memang tersesat, saya merasa tersesat karena saya yang menyukai pelajaran IPA terutama fisika dipaksa masuk pesantren yang sama sekali tidak mendalami ilmu alam. Namun saya merasa tersesat di tempat yang tepat dan saya sudah jatuh cinta pada jalan ini, sehingga sebesar apapun perasaan saya terhadap Persis, saya akan selalu merindukannya.

Kini, setelah saya mengundurkan diri dari keanggotaan cabang Pemudi Persis, saya menjadi aktivis Himi Persis PK Unpad, di kampus tempat saya kuliah. Peran Ustad Sudibja yang membuat saya kembali bersemangat di Persis membuat saya mencari semua data tentang beliau, hal tersebut akhirnya sampai pada sebuah group facebook berjudul “Keluarga Besar Sudibja”. Saya yang terpecah dari keluarga menangis saat melihat foto yang terpampang menampilkan kekompakan keluarga Sudibja, banyak anggota keluarga yang memakai embel-embel Sudibja di belakangnya, status pendidikan mereka pun sangat tinggi dan membanggakan. Mereka kebanyakan sekolah di SMAN favorit dan PTN favorit, hal tersebut membuat saya mengingat perjuangan saya masuk Unpad karena sistem pendidikan di swasta yang kurang bagus dan dana yang dicukup-cukupkan. Namun, mengetahui bahwa saya bisa mengenal keturunan dari Ustad Sudibja membuat saya kembali mengetahui bahwa Ustad Sudibja merupakan sosok panutan di keluarganya. Meskipun tidak terlalu dikenal di kalangan Persis, namun bagi saya beliaulah yang membuat saya ada di Persis.

Inilah saya bersama skenario Allah...

Kamar Mahasiswa, 12 September 2011

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.