25 November 2012

,

Cathar: Born Anew



(Tulisan ini diterbitkan di majalah Fakultas Keperawatan)

Wanna be a nurse. Sometime, I think, it’s a suicidal project. And I do long to die. A death that shall result in rebirth. Born anew. Proyek bunuh diri yang paling bijaksana. Fokus menjadi perawat berarti blur di kepenulisan karena memfokuskan satu hal berarti memburamkan sekeliling. Seperti pepatah Dewi Lestari, “Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan.”

I know, I have more than enough reasons for not having to write. Aku mahasiswa ilmu keperawatan yang sudah divonis untuk membuat nursing care plan setidaknya selama 4 tahun masa kuliah, bonus 1 tahun profesi. It’s desperately needed my attention.

Pada akhirnya kita hanya perlu belajar mendapat dan menjaga, juga melepas dan membebaskan. Karena meski aku harus “membunuh” mimpiku untuk menjadi penulis, aku mungkin akan tetap menulis meski merangkak. Berbagi tentang duniaku, because sharing is caring.

Banyak hal yang tidak bisa dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan. Well, this is my story …

Kamis, 4 Oktober 2012
Tepat sehari setelah menyelesaikan mata kuliah Sistem Sensori dan Persepsi, Bapak masuk UGD because severe abdominal pains. Bukan karena gangguan eliminasi, bukan juga karena mual atau ingin muntah. Diagnosa sementara adalah ‘grastitis kronis’. Bapak dirujuk ke ruang rawat inap lalu menjalani pemeriksaan khusus.

Malamnya Bapak dioperasi karena ditemukan kebocoran di dalam lambung. Mulai dari jam 11 malam sampai jam 2 pagi. Akhirnya terhitung pada tanggal 5 Oktober jam 2 pagi, Bapak sudah berganti status dari pasien rawat inap dengan keluhan ‘gastritis kronis’ menjadi pasien ICU dengan ‘post-operasi perforasi gaster’.

Jumat, 5 Oktober 2012
Hari ini aku bertransformasi menjadi ‘kurir berita’ di tengah dunia komunikasi yang sudah serba digital. Tidak melalui ponsel, tidak melalui internet, tapi adikku harus mendapatkan kabar dari aku. Begitulah titah Ibunda. Why me? Meski berkali-kali menuliskan intervensi ‘berikan informasi kepada keluarga mengenai kondisi pasien untuk mengurangi kecemasan’ tapi aku tidak pernah membayangkan akan mempraktekannya secepat ini. Kepada adik sendiri pula.

Oke, anggaplah ini tengah ujian praktek komunikasi terapeutik.

Sabtu, 6 Oktober 2012
Tengah hari tiba-tiba Bapak menggigil karena hipotermi. Ketika visit, Dokter Iwan bilang dia akan mengkaji sistem sarafnya. Khawatir stroke.

Menjelang sore, Teh Tia membesuk. Dia adalah sarjana farmasi Unpad dan sekarang tengah menjalani masa profesi. Sepanjang sore aku mendapat kuliah gratis dari Teh Tia mengenai farmasi, apoteker, dan obat-obatan yang mungkin juga ada hubungannya dengan kebocoran lambung Bapak.

Minggu, 7 Oktober 2012
Ini adalah sesuatu yang unpredictable. Pertama, untuk mengajak bicara saja aku harus mendekati telinganya dan mengenalkan diri. Kedua, jika benar sarafnya terganggu, besar kemungkinan dia mengalami lost memory. Dan mendadak aku akan menjadi orang asing di sampingnya. Ketiga, ruangan yang berisi setidaknya 6 pasien tidak sadar ini membuat mentalku semakin kacau.

Beberapa saat aku berdiskusi dengan Perawat Dewi mengenai ventilator yang terpasang pada Bapak karena bibirnya sudah lecet dan menghitam. Hingga jam besuk habis, aku pamitan pada Perawat Dewi dan berkata, “Teh Dewi titip Bapak, ya.”

Senin, 8 Oktober 2012
Hari pertama mengikuti mata kuliah neurobehaviour. Pandanganku tertuju pada Bu Anas, namun pikiranku sepenuhnya ada di Rumah Sakit. Sorenya, bertepatan dengan datangnya rombongan Brilliant angkatan 2010 untuk menjenguk Bapak, seorang pasien ICU meninggal. Orang-orang bilang ini adalah pasien ICU ke-4 yang meninggal sejak kemarin sore. Seketika ruangan itu berubah menjadi hembusan putus asa dan kepedihan akan sesuatu yang bernama kehilangan.

Rabu, 10 Oktober 2012
Hari ini Bapak dijaga oleh Perawat Tulus. Darinya aku tahu bahwa nutrisi Bapak melalui NGT diberikan satu hari 8 kali dan setiap pemberian berisi 25 cc cairan.
Jam 10 malam, Dokter Bambang (Sp. Bd) visit. Perawat Dewi yang jaga. Ketika aku dipanggil ke ICU, Bapak sedang diuap. Dokter Bambang memberitahukan bahwa albumin Bapak masih perlu ditambah dan ureumnya tinggi.

Anyway, pekan ini aku mendapat tugas untuk menjelaskan mengenai meningitis di mata kuliah neurobehavior.

Kamis, 11 Oktober 2012
Jam 8 pagi, Dokter Iwan (Sp. PD) visit. Membahas mengenai oksigenasi Bapak karena saturasinya masih rendah dan respirastion rate-nya tinggi.

Tepat ketika azan magrib, pikiranku blank. Besok adalah jadwal diskusi hasil pemahaman mengenai meningitis dan saya harus pergi sampai sejauh 2 km untuk mencari warnet, rental komputer, apapun yang bisa membuat saya mendapatkan hard copy meningitis. And finally … Selamat! Anda mendapatkan makalah meningitis pada jam 10 malam dan akan mendiskusikannya jam 10 pagi besok.

Jumat, 12 Oktober 2012
Good day. Diskusi tidak terlalu buruk dan Bapak dipindahkan ke ruang rawat inap. Namun ada yang ganjil memperhatikan monitor yang terhubung pada vital sign Bapak. Respiration rate Bapak masih terlalu tinggi, pernah sampai 40. Blood pressure tidak stabil, lebih sering hipertensi. Saturation O2 sering di bawah 90. Pulse selalu tinggi, kisaran 120.

Ketika Dokter Bambang visit, sekian detik di awal melihat Bapak dia hanya megerutkan kening seperti berfikir keras lalu geleng-geleng kepala. Kemudian Dokter Bambang memeriksa daerah bekas operasi Bapak dan melakukan perkusi pada area tersebut. Aku hanya diam, tidak bersuara, membaca semuanya dari ekpresi Dokter Bambang dan dialognya dengan Perawat Restu yang sangat pelan dan hati-hati.

Sabtu, 13 Oktober 2012
It’s a blank day, by the way. Karena aku membawa file meningitis tapi tidak menyentuhnya sama sekali. Belum ada flip chart ataupun power point yang sudah aku buat untuk presentasi. Aku hanya duduk di samping Bapak, memegang tangannya, berzikir, baca qur’an, asma’ul husna, kadang menyanyikan lagu. Hanya itu.

Pagi sekali, ahli gizi visit. Bertanya mengenai … you-know-what, segala hal pengkajian mengenai asupan makanan. Siangnya, giliran Dokter Iwan visit, sepertinya Dokter Iwan sudah mengecek laporan dari perawat mengenai kondisi Bapak karena ketika dia memasuki ruangan, hanya satu yang dia bahas. Saran untuk mengembalikan Bapak ke ICU …

Seperti ada suatu ketenangan yang dirampas paksa dari kami. Kebahagiaan sesaat yang meletup seperti kembang api lalu padam seketika menyisakan langit malam yang gelap. Bapak harus kembali ke ICU. Aku menenangkan diri, meyakini bahwa hidup berjalan sesuai kontrak yang ditetapkan Tuhan. Apa pun yang terjadi bukanlah keberuntungan atau kesialan, melainkan eksekusi kontrak belaka. Lalu aku melihat Mamah keluar ruangan menuju beranda, menangis sambil menutup seluruh wajahnya. This time to practice, Nurse.

Minggu, 14 Oktober 2012
Pagi ini Bapak nge-drop, sistol-nya mencapai 50 mm/hg. Blank. Seharian aku berada di Rumah Sakit meski tidak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu jam besuk atau menantikan visit dokter.

Malamnya Ruang Tunggu takzim oleh doa yang dilakukan berjama’ah oleh keluarga kami. Do’a untuk segala hal yang terbaik bagi Bapak. Apapun itu. Dan dalam segala ketidakpastian ini aku mendapatkan perasaan yang menusuk perutku saat menyadari sesuatu.
Yep! I still haven’t open MENINGITIS FILE anything yet! It’s another blank day, everybody!

Senin, 15 Oktober 2012
Demi apa … setelah semalam bersusah payah membuat patofisiologi pada flip chart, hari ini aku membuat power point jam 5 pagi sementara presentasi akan dilakukan jam 8 pagi. Ternyata memang hanya pressure deadline yang akan membuat aku bangkit kembali ke meningitis. No reason to delay it AGAIN.

My brain is extra burning today. Felt a slight headache. Sesampainya di Rumah Sakit aku langsung mengistirahatkan diri di kantin and I just want to have the best lunch ever. Kisaran jam empat sore sampai setengah lima sore aku berada di kantin. Tidak ada yang aneh. Sangat menenangkan. Sungguh, aku merasa semuanya terasa tenang. Hari yang paling tenang. Jika ada yang bertanya apakah aku memiliki firasat tentang kepergian Bapak, tidak sama sekali. Aku hanya merasa tenang.

Bapak sudah meninggal ketika aku sampai di ICU. Aku menangis, tentu saja. Hanya sekita 3-5 menit melepaskan emosi. Dan aku percaya bahwa Allah sangat menyayangiku. Bapak meninggal sekitar jam 16.15. Saat itu Allah menahanku di kantin untuk beristirahat, memenuhi asupan gizi, dan memikirkan semuanya dengan clear. Jika tidak, mungkin aku akan menyebut hari itu sebagai hari yang paling melelahkan, bukan menenangkan.

Harapan tidak memiliki tangan, tetapi akan selalu ada jika kita menginginkan. Ketika badai datang dalam kehidupan kita, harapan-harapan itu tidak akan hancur. Mereka hanya menunggu uluran kita, kekuatan hati kita, dan titik-titik yang digarisi perjalanan untuk kembali membentuk rasi impian kita. Ini mungkin salah satu titik yang menguatkanku menjadi seorang perawat. Bukan tentang kematian Bapak, tapi perjalanan 12 hari selama di Rumah Sakit. Duabelas hari yang begitu ajaib. Mampu menamparku sepenuhnya untuk menyadari kemuliaan yang dikerjakan oleh tenaga kesehatan. Nurse, especially.

Ada salah satu adegan dalam film “Earth” di mana seekor kijang berlari sekuat tenaganya hingga pada satu titik dia begitu berpasrah saat digigit oleh harimau, menghadapi kematiannya dalam damai. Adegan yang tadinya begitu mencekam akhirnya bisa berubah indah saat kita mampu mengapresiasi kepasrahan sang kijang terhadap kekuatan yang lebih besar darinya. Persis bagaikan kijang yang berlari, manusia dengan segala macam cara juga menghindari kematian. Orang yang sudah tidak berfungsi pun masih ditopang dengan segalam macam mesin agar bisa hidup. Namun, sebagaimana kijang yang akhirnya berlutut pasrah, sekeras-kerasnya kita menolak kematian, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput. Dan pada titik itu segala perjuangan berhenti.

This is not the end. But I hope you get something out of this journey so far. I’m just thankful for reading. All of you.
@zohrahs

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.