Saya hanya mau memposting tulisan saya yang saya kirim ke ... apa nama lombanya tadi, yang man jadda wajadda di postingan sebelumnya. Kalau lolos, otomatis saya harus menghapus postingan ini, karena tulisannya akan dimuat. Kalau tidak lolos, saya akan biarkan postingan ini disini. Ini adalah dua tulisan yang saya buat dalam waktu kurang lebih sejam. Cuma satu halaman, kalau lolos seleksi, harus dipanjangin jadi 8-12 halaman kalau nggak salah. Tulisan ini akan saya endapkan dulu. Jiga naon wae :D.
Semoga saya masih ada gairah buat membuka folder novel. Eh, bukan semoga, tapi harus. Ceritanya lagi keras sama diri sendiri. Oh ya, cerita yang kedua berjudul 'Rumah Virtual' belum selesai, karena saya tiba-tiba nangis pas lagi nulis cerita itu ehehee.
------
Tema: Kisah Para Lulusan Pesantren
Mengabaikan
Hipotesa
Selalu
akan ada turbulensi ketika hendak mencapai garis finish. Seperti lari maraton. Tantangan terberat ada di kilometer
menjelang garis finish. Antara
berteriak, “Yeah, akhirnya saya akan sampai.” dengan ekspresi bergairah atau
bergumam pelan, “Yeah, akhirnya saya akan sampai.” dengan nada kepayahan. Ketika
hendak mencapai garis finish, saya
kembali membayangkan apa yang saya tekadkan pada garis start. Mengingat titik-titik kilometer pencapaian dalam perjalanan
ini. Dan saya mengingat guncangan terhebat dalam hidup saya, yaitu ketika
memilih keluar dari pesantren setelah lima tahun tinggal disana.
Lalu
saya sampai pada pertanyaan mendasar dalam hidup. Kenapa? Seperti mencari akar
permasalahan. Kenapa, lalu kenapa, lalu kenapa, lalu kenapa, dan terus begitu
sampai pertanyaan itu menemui kebuntuan. Sehingga saya memaksakan diri untuk
menemukan hipotesis awal.
Kenapa
dulu saya masuk pesantren?
Karena
orangtua saya baru menyadari ketika sampai masa tuanya bahwa manusia memerlukan
ilmu agama untuk menjalani kehidupan.
Kenapa
dulu saya keluar dari pesantren?
Karena
dalam benak saya ilmu pengetahuan adalah matematika, fisika, biologi, kimia,
dsb, bukan nahwu, tafsir, qira’at, ushul fiqih, dsb.
Kenapa
saya masih berhubungan dengan teman-teman di pesantren setelah keluar?
Karena
persahabatan yang tumbuh di asrama berkembang layaknya sebuah keluarga. Tidak ada
kalimat ‘hubungan kita selesai’ dalam sebuah kekeluargaan.
Kenapa
saya enggan mengakui bahwa saya pernah mesantren
ketika kuliah di kampus negeri?
Karena
selalu ada beban dan tanggung jawab yang terlalu berat ketika diri kita sudah
dilabeli sebagai ‘lulusan pesantren’. Ahli agama, diantaranya.
Cerita
ini berlatar belakang renungan saya mengenai destinasi diri yang pernah tinggal
di pesantren lima tahun dari tujuh tahun yang seharusnya dijalani. Memilih untuk
mempelajari ilmu-ilmu umum karena pesantren saya termasuk pesantren tradisional
yang hanya mengajarkan ilmu agama. Kebingungan dengan pelajaran matematika
dasar ketika menjadi murid baru di sekolah umum. Lantas mengejar ketertinggalan
dengan ‘nodong’ ke rumah guru dan kakak kelas untuk minta diajarkan ilmu umum,
khususnya eksak.
Enam
tahun setelah peristiwa keluar dari pesantren, saya merenungi kembali pilihan
itu dan menemukan banyak hikmah dan ‘tangan’ Allah yang bergerak di dalamnya.
Hingga perenungan itu sampai pada kerinduan saya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama
di pesantren dulu. Mungkin lain kali saya tidak memerlukan
pertanyaan-pertanyaan masalah. Mungkin lain kali saya harus mengabaikan
hipotesa-hipotesa yang berkeliaran dalam kepala saya.
Tema: Orangtuaku
Pahlawanku
Rumah
Virtual
Saya perlu memberikan penghargaan
setinggi-tingginya kepada para ilmuwan di bidang teknologi. Karena mereka saya
bisa terkoneksi dengan keluarga saya yang sejak dulu tidak pernah tinggal satu
rumah. Dalam era percepatan komunikasi seperti sekarang, kita berkumpul dalam
satu ‘rumah virtual’ pada sebuah grup aplikasi pesan. Kita tidak mengenal
obrolan di meja makan, sholat bersama, berdiskusi di depan televisi, atau
hal-hal yang biasa dilakukan keluarga, karena kita tidak pernah satu rumah. Namun
kini kita memiliki rumah virtual yang nyaman.
Dalam
obrolan di rumah virtual tersebut saya baru mengetahui bahwa almarhum ayah saya
adalah penikmat musik, jago main catur, dan membuat satu ruangan khusus untuk
buku-bukunya tanpa ada yang boleh diizinkan masuk. Saya tidak tahu apapun
tentang ayah saya karena beliau meninggal di tahun yang sama dengan tahun
kelahiran saya. Sedikit demi sedikit saya menyadari bahwa ayah saya tidak
mewariskan harta banyak tapi dia mewariskan karakternya pada saya. Kecintaannya
pada musik, buku, dan sifat-sifatnya. Saya menyimaknya di rumah virtual.
Di
sela-sela saya kuliah, makan siang, belajar di perpustakaan, saya selalu merasa
berada di sekeliling keluarga saya dan membicarakan kehidupan bersama. Sampai pada
suatu hari salah seorang kakak saya memulai diskusi. “Teteh baru tahu kalau
Mamah kuliah lagi untuk syarat sertifikasi. Katanya sekarang lagi KKN. Kayaknya
beberapa bulan lagi wisuda.”
Lalu
anggota ‘rumah virtual’ yang berjumlah sembilan orang mulai merincikan
satu-satu tentang keadaan ibu saya, ibu kita. Bagaimana dia berjuang ketika
suaminya meninggal, prasangka dalam pembagian warisan, terusir dari rumah,
terpaksa menitipkan anak-anaknya di tempat yang berbeda, berjuang agar
anak-anaknya bisa sekolah, tinggal di rumah yang kecil sendirian, dan bagaimana
dia merahasiakan kesusahannya dari anak-anaknya. Dari saya.
Ketika
masih kecil, saya selalu iseng bertanya kepada ibu saya, “Mah, kenapa sih Mamah
punya anak malah dititip-titipin. Jauh-jauhan lagi.” Ibu saya tidak pernah
menjawab. Sekarang saya baru sadar bahwa itu adalah pertanyaan yang jahat. Seharusnya
tidak memerlukan sebuah grup aplikasi pesan untuk bisa mengetahui pengorbanan
seorang ibu.
0 Comments:
Post a Comment
Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.