11 March 2014

,

Apakah ini Menginspirasi

Saya hanya mau memposting tulisan saya yang saya kirim ke ... apa nama lombanya tadi, yang man jadda wajadda di postingan sebelumnya. Kalau lolos, otomatis saya harus menghapus postingan ini, karena tulisannya akan dimuat. Kalau tidak lolos, saya akan biarkan postingan ini disini. Ini adalah dua tulisan yang saya buat dalam waktu kurang lebih sejam. Cuma satu halaman, kalau lolos seleksi, harus dipanjangin jadi 8-12 halaman kalau nggak salah. Tulisan ini akan saya endapkan dulu. Jiga naon wae :D.

Semoga saya masih ada gairah buat membuka folder novel. Eh, bukan semoga, tapi harus. Ceritanya lagi keras sama diri sendiri. Oh ya, cerita yang kedua berjudul 'Rumah Virtual' belum selesai, karena saya tiba-tiba nangis pas lagi nulis cerita itu ehehee.

------

Tema: Kisah Para Lulusan Pesantren

Mengabaikan Hipotesa
Selalu akan ada turbulensi ketika hendak mencapai garis finish. Seperti lari maraton. Tantangan terberat ada di kilometer menjelang garis finish. Antara berteriak, “Yeah, akhirnya saya akan sampai.” dengan ekspresi bergairah atau bergumam pelan, “Yeah, akhirnya saya akan sampai.” dengan nada kepayahan. Ketika hendak mencapai garis finish, saya kembali membayangkan apa yang saya tekadkan pada garis start. Mengingat titik-titik kilometer pencapaian dalam perjalanan ini. Dan saya mengingat guncangan terhebat dalam hidup saya, yaitu ketika memilih keluar dari pesantren setelah lima tahun tinggal disana.
Lalu saya sampai pada pertanyaan mendasar dalam hidup. Kenapa? Seperti mencari akar permasalahan. Kenapa, lalu kenapa, lalu kenapa, lalu kenapa, dan terus begitu sampai pertanyaan itu menemui kebuntuan. Sehingga saya memaksakan diri untuk menemukan hipotesis awal.
Kenapa dulu saya masuk pesantren?
Karena orangtua saya baru menyadari ketika sampai masa tuanya bahwa manusia memerlukan ilmu agama untuk menjalani kehidupan.
Kenapa dulu saya keluar dari pesantren?
Karena dalam benak saya ilmu pengetahuan adalah matematika, fisika, biologi, kimia, dsb, bukan nahwu, tafsir, qira’at, ushul fiqih, dsb.
Kenapa saya masih berhubungan dengan teman-teman di pesantren setelah keluar?
Karena persahabatan yang tumbuh di asrama berkembang layaknya sebuah keluarga. Tidak ada kalimat ‘hubungan kita selesai’ dalam sebuah kekeluargaan.
Kenapa saya enggan mengakui bahwa saya pernah mesantren ketika kuliah di kampus negeri?
Karena selalu ada beban dan tanggung jawab yang terlalu berat ketika diri kita sudah dilabeli sebagai ‘lulusan pesantren’. Ahli agama, diantaranya.
Cerita ini berlatar belakang renungan saya mengenai destinasi diri yang pernah tinggal di pesantren lima tahun dari tujuh tahun yang seharusnya dijalani. Memilih untuk mempelajari ilmu-ilmu umum karena pesantren saya termasuk pesantren tradisional yang hanya mengajarkan ilmu agama. Kebingungan dengan pelajaran matematika dasar ketika menjadi murid baru di sekolah umum. Lantas mengejar ketertinggalan dengan ‘nodong’ ke rumah guru dan kakak kelas untuk minta diajarkan ilmu umum, khususnya eksak.
Enam tahun setelah peristiwa keluar dari pesantren, saya merenungi kembali pilihan itu dan menemukan banyak hikmah dan ‘tangan’ Allah yang bergerak di dalamnya. Hingga perenungan itu sampai pada kerinduan saya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama di pesantren dulu. Mungkin lain kali saya tidak memerlukan pertanyaan-pertanyaan masalah. Mungkin lain kali saya harus mengabaikan hipotesa-hipotesa yang berkeliaran dalam kepala saya.

Tema: Orangtuaku Pahlawanku
Rumah Virtual
            Saya perlu memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para ilmuwan di bidang teknologi. Karena mereka saya bisa terkoneksi dengan keluarga saya yang sejak dulu tidak pernah tinggal satu rumah. Dalam era percepatan komunikasi seperti sekarang, kita berkumpul dalam satu ‘rumah virtual’ pada sebuah grup aplikasi pesan. Kita tidak mengenal obrolan di meja makan, sholat bersama, berdiskusi di depan televisi, atau hal-hal yang biasa dilakukan keluarga, karena kita tidak pernah satu rumah. Namun kini kita memiliki rumah virtual yang nyaman.
Dalam obrolan di rumah virtual tersebut saya baru mengetahui bahwa almarhum ayah saya adalah penikmat musik, jago main catur, dan membuat satu ruangan khusus untuk buku-bukunya tanpa ada yang boleh diizinkan masuk. Saya tidak tahu apapun tentang ayah saya karena beliau meninggal di tahun yang sama dengan tahun kelahiran saya. Sedikit demi sedikit saya menyadari bahwa ayah saya tidak mewariskan harta banyak tapi dia mewariskan karakternya pada saya. Kecintaannya pada musik, buku, dan sifat-sifatnya. Saya menyimaknya di rumah virtual.
Di sela-sela saya kuliah, makan siang, belajar di perpustakaan, saya selalu merasa berada di sekeliling keluarga saya dan membicarakan kehidupan bersama. Sampai pada suatu hari salah seorang kakak saya memulai diskusi. “Teteh baru tahu kalau Mamah kuliah lagi untuk syarat sertifikasi. Katanya sekarang lagi KKN. Kayaknya beberapa bulan lagi wisuda.”
Lalu anggota ‘rumah virtual’ yang berjumlah sembilan orang mulai merincikan satu-satu tentang keadaan ibu saya, ibu kita. Bagaimana dia berjuang ketika suaminya meninggal, prasangka dalam pembagian warisan, terusir dari rumah, terpaksa menitipkan anak-anaknya di tempat yang berbeda, berjuang agar anak-anaknya bisa sekolah, tinggal di rumah yang kecil sendirian, dan bagaimana dia merahasiakan kesusahannya dari anak-anaknya. Dari saya.
Ketika masih kecil, saya selalu iseng bertanya kepada ibu saya, “Mah, kenapa sih Mamah punya anak malah dititip-titipin. Jauh-jauhan lagi.” Ibu saya tidak pernah menjawab. Sekarang saya baru sadar bahwa itu adalah pertanyaan yang jahat. Seharusnya tidak memerlukan sebuah grup aplikasi pesan untuk bisa mengetahui pengorbanan seorang ibu.

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.