26 February 2014

Ketika Saya Bilang 'Nggak Mau Kerja'

Siang tadi, ketika saya sedang jenuh dengan basa-basi matkul Civic (sorry to say that), Teh Erna posting sebuah cerita di whatsapp. Isinya tentang perdebatan antara wanita karir dengan wanita rumah tangga. Come on, semua punya jalan perjuangannya masing-masing sebagai ibu, dan ibu, siapapun dia, tetap menyimpan syurga di telapak kakinya. Begitu kesimpulannya.

Saya yakin seorang ibu juga bekerja untuk kesejahteraan anaknya.

Saya jadi teringat perdebatan yang akhir-akhir ini sering muncul di sekitar saya. Masalah karir. Ners enggak? Kalau nggak Ners sayang loh, ngapain kuliah 4 tahun tapi nggak jadi perawat. Ilmunya sayang. S.Kep kalau mau jadi PNS harus Ners dulu tahu.

Lalu ketika saya nyeletuk kalau saya nggak kepikiran untuk kerja maka ocehan lain bermunculan. Kamu hidup mau mengandalkan suami? Jadi sarjana pengangguran? Wanita itu harus maju, jangan tergantung sama penghasilan laki-laki. And the zeng and the zong ...

Berisik. Saya yang gampang terpengaruh oleh orang lain sudah toleransi dengan orang-orang yang berisik. Akhirnya hidup saya nggak terarah. Udah mah ayah saya meninggal sejak saya masih bayi. Ibu saya stres. Orang-orang pada berisik kalau saya harus begini, saya harus begitu, jadilah hidup saya terombang-ambing nggak jelas. Yeah, saya tahu maksudnya perhatian, tapi jadinya saya jadi orang yang nggak konsisten.

Tapi nggak apa-apa. Ada Allah.

Jika berbicara mengenai karir. Goal saya cuma satu. Jadi penulis. Dan sekolah menjadi penulis hanya memiliki satu tugas belajar, yaitu MEMBACA. Bukan hanya membaca buku tapi juga 'membaca kehidupan'.

Jika berbicara mengenai manfaat. Saya punya dua proyek tahun ini. Membantu Mamah mengelola madrasah di Nagreg dan membantu Teh Erna membangun Taman Bacaan di Cicalengka.

Lalu diwisuda Agustus 2014. Amin.

Kurang sibuk apa saya? Eh, jangan sombong.

Berbicara mengenai berpenghasilan sebelum kuliah. Setelah dipikir-pikir, saya juga tengah proses melakukannya. Bukan ikut Pimnas, Mawapres, atau ajang bergengsi lainnya. Saya terlalu Kuper untuk itu. Tapi freelance untuk keluarga. Keren kan, saya bekerja untuk keluarga.

Sebagai contoh, dulu saya sudah biasa diminta tolong menjemput Faiq (anak sepupu), dari pesantren di Garut seminggu sekali. Ongkosnya bolak-balik hanya 15.000 tapi saya dikasih uang 50.000. Jadi dalam sebulan saya bisa dapat uang 140.000. Sayangnya Faiq sudah berhenti mesantren.

Saya juga sering dititipi anak-anak (ada 3 anak sekarang, dulu 5) di Cicalengka kalau saya sedang pulang. Biasanya saya pulang ke Cicalengka satu minggu sekali. Setiap ke Cicalengka saya dikash 50.000 sama Teh Erna dan 50.000 oleh Teh Teni. Kalau Wa Euis lagi ada uang dia suka ikut ngasih. Sebulan saya bisa dapat 400.000. Tapi dengan catatan itu juga kalau saya sedang pulang ke Cicalengka. Selama nge-BEM dan sekarang skripsi jadwal pulang saya random.

Kemarin ketika Uwa saya sakit, saya bolak-balik ke Borromeus. Murni karena saya tahu kalau orang yang menjaga keluarganya di Rumah Sakit beresiko stres, kelelahan, panik, dll, saya yang dari tsanawiyyah (SMP) sudah terbiasa jadi penunggu keluarga yang sedang sakit dan alhamdulillah jarang (hampir enggak) stres, kelelahan, dan panik (karena udah agak tahu ilmunya)  dengan sukahati menjadi penunggu Wa Acep. Jadinya adalah setiap ada yang menengok Wa Acep dan kenal saya, selain mereka memberi uang ke istrinya Wa Acep, mereka juga memberi saya uang. Alasannya untuk saya jajan bakso di Borromeus, ongkos bolak-balik ke Jatinangor, dll. Akhirnya Wa Acep sembuh dan saya bisa mengumpulkan uang 300.000 selama menunggu Wa Acep sakit.

Saya juga termasuk anggota keluarga yang sering bersilaturahmi kesana-kemari. Niatnya main doang. Tapi biasanya pulangnya dompet saya tebel. Yang paling asik ketika liburan sama adik saya kemarin, saya yang awalnya khawatir uang saya habis karena memenuhi kehidupan saya dan adik saya selama liburan malah ternyata enggak mengeluarkan uang sepeser pun karena semuanya ditanggung keluarga yang kami kunjungi. Akhirnya saya bisa pakai uang saya buat main ke Baduy. Yeay. Lalu skripsi saya terlantar. Heah.

Begitulah. Uang saya nggak banyak dan saya termasuk orang yang cuek sama manajamen keuangan. Tapi saya punya celengan dan dibobol kalau saya lagi wajib menetap di Nangor berminggu-minggu. Ibu saya ngasih jatah 150.000 untuk satu minggu. Awalnya 100.000 seminggu, tapi setelah saya audiensi jatah uang saya jadi naik. Ehehee. Tapi pemasukan saya memang bukan hanya dari ibu. Itu tadi, saya freelance ke keluarga yang lain. Modalnya silaturahmi, care, dan mau dimintain bantuan. Awalnya saya nggak orientasi ke uang kok, murni karena saya nggak bisa menolak permintaan orang lain. Apalagi keluarga. Alhamdulillah rejeki mah ada aja.

Berbicara mengenai silaturahmi keluarga. Pernah ada salah seorang keluarga (dekat secara nasab tapi tidak terlalu dekat secara emosional) yang pas saya main ke rumahnya ketika saya masih tsanawiyyah dia mengeluarkan uang 50.000 dan dia bilang, "Ini untuk sedekah anak yatim." dan memberikan uang itu ke saya.

Saya tidak pernah bersedih hati  mengakui kalau saya yatim tapi entah kenapa saya nggak suka digituin sama keluarga sendiri sambil dikasih uang. Kayak kaum dhuafa di depan keluarga sendiri -_-. Akhirnya saya nggak pernah datang lagi ke rumahnya.

Balik lagi ke freelance untuk keluarga. Kali ini sedikit profesional. Dua bulan yang lalu saya bantu A Indra input data buat KPAD dan saya dikasih honor satu juta. Minggu ini saya bantu input data lagi buat tesisnya A Indra dan dikasih honor 500.000. Nah, itu kerja kan? Bukti kalau saya juga peduli dengan isi dompet saya. Ketika saya mengatakan saya tidak mau bekerja bukan berarti saya mengatakan saya nggak butuh penghasilan. Saya hanya tidak mau pekerjaan yang mengikat. Untuk sementara ini sih pikiran saya begitu. Jangan kaget aja kalau 3 tahun lagi menemukan saya bekerja full jadi perawat di Rumah Sakit.

ini gambar saya lagi ngerjain transkrip buat tesis.
iseng aja di-posting biar ada gambarnya. ehehee.


Dan ketika saya mengatakan saya tidak mau bekerja, bukan berarti saya ingin jadi pengangguran. Sudah sering saya katakan kalau saya sangat penasaran ingin membuat novel. Ketika saya bekerja, otak saya kehabisan porsi untuk berimajinasi dan mengetiknya. Sebagai contoh, selama semester satu saya produktif menulis cerpen, prosa, dan puisi. Setelah saya nge-BEM selama tiga tahun, cuma rilis kegiatan BEM yang ada di otak saya. Novel pun terselesaikan selama saya KKN dan saya menyatakan cuti dari BEM. Nah, itu ... jadi jangan berpikiran saya nggak punya gairah hidup. Menjadi penulis novel itu hampir sama seperti wirausaha. Lebih fokus tanpa bekerja terikat dengan orang lain.

Dan ketika saya mengatakan saya tidak mau bekerja tapi mau jadi ibu dan istri yang baik, it's just like ... lo bilang kalo lo mau ke sekolah untuk belajar. Right? Sampai di sekolah, berapa persen kamu belajar? Bahkan guru menerangkan adakalanya kita tidur atau melamun, sisanya makan, main, jailin temen, ngegosip. Katakan kita 10 jam di sekolah, apakah kita selama 10 jam belajar? Enggak lah, tapi kamu tetap mengatakan kalau kamu ke sekolah untuk belajar.

Itu maksudku. Ketika saya mengatakan cita-cita saya adalah menjadi ibu dan istri yang baik. Itu hanya poin utama tujuan dari masa depan saya untuk jalan ibadah yang ingin saya tempuh. Di sela-sela itu saya bisa terlihat sedang menjadi seorang penulis, seorang perawat, seorang guru. Apapun itu. Okay, clear?

Lagipula saya tidak Asbun ketika saya berbicara mengenai orientasi keluarga. Saya menyaksikan sendiri perjalanan dan perbandingan antara kakak-kakak dan sepupu-sepupu saya dalam berumah tangga dan saya belajar banyak dari mereka.

Oh iya, tambahan. Ketika saya terlihat sebagai perawat atau bekerja untuk orang lain berarti saya sedang mengumpulkan uang sebelum saya bisa menerbitkan novel. Saya sering berfikir bahwa uang saya akan berputar. Saya bekerja sebagai perawat, uangnya saya pakai untuk menerbitkan novel, lalu setelah buku-buku saya terjual, uangnya saya pakai untuk kuliah S2 psikologi sains, setelah dapat gelar magister saya bekerja di bagian manajerial Rumah Sakit atau dosen di psikologi/keperawatan, bikin buku teori tentang spiritual (keukeuh), lalu uangnya saya pakai untuk bikin usaha penerbitan novel, bikin perpustakaan, atau apapun yang berhubungan dengan buku, lalu saya hidup sejahtera, menginspirasi, meninggal, ketemu malaikat, ditanya di kubur, ditimbang, dikirim ke padang mahsyar, melewati jembatan sirothol mustaqim, masuk surga, ketemu Allah >.<. Simpel, ya. Tapi masih bisa berubah. Misalkan diajak jihad ke Palestina buat jadi tenaga medis. Bukan nggak mungkin loh. Meninggal langsung syahid tapi belum menikah. Cita-cita banget itu.

Well, semua orang punya orientasi masing-masing, yang mungkin ketika dipaksakan ke dalam kehidupan orang lain itu nggak akan bisa dan nggak akan nyambung. Tapi semoga di setiap pilihan kita ada Allah yang memberi petunjuk. Aamiin.

1 comment:

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.