18 December 2013

Menteri Minta Sekoci

Saya kadang benar-benar khawatir bahwa tulisan saya akhir-akhir ini benar-benar sampah. Sebagian besar karena saya menulis apa yang saya rasakan, bukan apa yang saya pikirkan. Tapi ... no problem, blog ini memang tempat terapi saya. Dimana saya memuntahkan semua perasaan sehingga otak saya bisa berfikir lebih jernah.

Tadi sore Riri, partner saya di BEM, memancing saya bercerita tentang yang terjadi di bulan Oktober (ng ~). Ceritanya agak complicated, saya nggak yakin kalau saya bisa menceritakannya dengan benar.

"Bulan Oktober itu benar-benar waktu dimana saya kecewa dengan Timpres. Ketika akhirnya Kang Nizar dipecat. Atau ... mungkin memang sepakat keluar, apapun lah, yang jelas nggak berakhir baik. Saya tahu Kang Nizar nggak masalah nggak di BEM lagi, tapi bukan dengan cara seperti ini. Kenapa nggak pancing dia untuk resign sendiri sebelum diberi SP. Dan ... saya sebenarnya nggak ada masalah ketika Nizar dipecat dengan alasan ini itu, tapi Wildan, Agil, Rendi, Teh Ela, memberikan jawaban yang salah fatal ketika saya nanya alasan pemecatan. Oke, mereka benci Nizar, tapi kalau saya jadi mereka saya lebih memilih kata-kata 'Nizar sudah tidak nyaman disini dan kita tidak menahannya untuk pergi' dibandingkan dengan jawaban menjelek-jelekan dan membuka aib Kang Nizar."

Sebenarnya penjelasan saya ke Riri lebih panjang dan emosional, tapi sekarang saya sedang mengantuk dan nggak mood untuk membuka memori.

"Mereka udah nggak bisa banget ngerangkul saya waktu itu. Nggak tahu kenapa tiba-tiba Kang Sayyidi ikut-ikutan memohon supaya saya masih di BEM. Dan saya benar-benar berada di tengah-tengah ketika saya bilang kalau saya kecewa sama Timpres dan di sisi lain Nizar juga bilang 'selamat berlayar dengan nahkoda pilihanmu itu'."

Ketika mengatakan hal itu tiba-tiba dunia saya ketarik kedalam dunia sureal. Di tengah-tengah ketika makan ketoprak otak saya berpindah ke laut lepas, badai menghadang sebuah kapal besar dimana Wildan menjadi nahkodanya. Saya mendobrak tempat kerja Wildan setelah dia menenggelamkan seorang awak kapal, Nizar.

"Kenapa Nizar ditenggelamkan?" Tuntut saya.

"Kapal kita sedang kena badai. Dan para awak kapal setuju jika Nizar ditenggelamkan maka badai itu akan surut sedikit demi sedikit."

Sejak awal menaiki kapal ini saya sudah tahu bahwa Wildan menjalankan kapal dengan caranya sendiri yang membuat saya yang sudah pernah menaiki kapal lain terkadang ambruk, mual, dan oleng sendiri.

"Kamu tidak meminta pendapat saya sebelum Nizar ditenggelamkan."

"Separuh dari awak kapal setuju bahwa selama badai ini berlangsung, Nizar membuat kapal ini semakin oleng dan mengganggu awak kapal yang lain." Wildan berargumen.

"Berapa dari 22 awak kapal yang mengatakan hal itu?" Saya menatapnya tajam.

"Setengahnya." Jawabnya cepat. "Bahkan dia tidak menjaga muatannya dengan baik."

Saya menatap Wildan penuh emosi. "Unbelieveable."

Di tengah badai, saya pun ke luar menuju geladak untuk mencari sekoci. Namun untuk mengambil sekoci itu saya harus melalui Rendi dan Agil yang menjadi penanggung jawab muatan saya.

"Saya minta sekoci saya. Saya akan keluar dari kapal ini."

"Saya tahu ini pasti terjadi." Ucap Agil. "Ketika kami memutuskan untuk menenggelamkan Nizar, kita sudah mengantisipasi kalau kamu akan meminta sekocimu dan pergi dari kapal ini."

"Syukurlah kalau kalian sadar. Kalau kalian punya hak untuk menenggelamkan Nizar, saya punya hak untuk meminta sekoci saya."

Kapal semakin terasa oleng, keseimbangan saya hampir rubuh.

"Kamu perlu mendengarkan penjelasannya lebih dulu." Kali ini Rendi yang bersuara. "Nizar sudah membuat kapal ini oleng."

"Saya sudah cukup banyak mendengar dari Wildan."

"Tapi belum dari saya."

"Dia ..." Saya menunjuk tempat yang baru saya tinggalkan. "Adalah kapten saya dan dia bertanggung jawab, dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan, atas apa yang terjadi di atas kapal ini. Dan Anda tidak bisa serta merta dan secara terus menerus menyalahkan Nizar atas olengnya kapal ini."

Saya mencoba melangkah untuk mengambil sekoci tapi mereka berdua dengan sigap menghalangi jalan.

Sambil menahan emosi saya menghela nafas dan melihat Kang Rendi. "Kapal ini sudah hampir membuat saya ambruk. Selama Wildan masih menjadi kapten kapal ini, saya tidak akan bisa nyaman berada di atasnya. Tolonglah ... saya harus pergi."

"Kamu punya muatan yang harus kamu jaga."

Akhirnya Kang Agil mengatakan hal yang paling tidak bisa saya tinggalkan begitu saja di kapal ini.

"Selama ini kita sama-sama tahu bahwa saya telah menjaga muatan saya dengan cara yang salah. Bahkan kamu hampir mencampurkan muatan saya dengan muatan yang lain. Saya sudah minta pindah geladak dan kalian bilang itu tidak bisa. Saya serahkan muatan saya kepada kalian."

Saya pun berbalik meninggalkan kedua orang itu dan menatap lautan lepas dengan langit yang menghitam sebelum akhirnya Agil kembali bersuara.

"Apa yang harus saya lakukan agar kamu tidak pergi dari kapal ini?"

Saya masih membelakanginya, menatap air laut yang menggoyangkan kapal.

"Saya harus pergi." Tanpa kembali menoleh saya menenggelamkan diri ke laut, menikmati asinnya air yang menyentuh setiap kulit. Berenang bersama makhluk laut seolah saya terlahir kembali dan menjadi seseorang yang lain. Sampai akhirnya saya menemukan pulau kecil tempat Nizar mengucilkan diri setelah ditenggelamkan dari kapal.

"Seharusnya kamu tidak kesini." Nizar bersuara pelan. "Saya membenci apapun tentang Wildan dan kapal itu. Dan kalau kamu kesini atas nama Wildan, itu artinya saya membencimu."

Saya memandangi pulau kecil itu hingga akhirnya menatap Nizar. "Saya baru saja meminta sekoci saya. Itu artinya saya berencana pergi dari kapal."

"Kamu tidak seharusnya melakukan itu. Apalagi hanya karena saya."

"Bukan karena kamu, tapi karena Wildan. Kita sama-sama tahu bahwa saya tidak menyukai perjalanan ini dan ... perjalanan ini sudah mengambil banyak hal dari kita semua. Saya sudah meninggalkan ibu dan adik saya sampai sejauh ini ... dan saya selalu berharap Wildan dan kapal itu cukup pantas untuk menjadi alasan untuk pengorbanan saya dan juga awak yang lain. Kejadian ini hanya pemantik untuk membuat saya sadar bahwa ... keputusan saya menaiki kapal ini tidak berasalan kuat."

"Wildan tidak pernah tahu cara menjalankan kapal." Nizar berkomentar. "Dia tidak tahu bagaimana mengatur awak kapalnya dengan baik. Kalau bukan karena awak kapalnya yang bekerja bagus, dia tidak akan bisa melewati badai itu."

"Tidak sepenuhnya begitu." Ucap saya. "Dia hanya memakai cara yang berbeda. Dan ... sayangnya cara dia menjalankan kapal sering membuat kita oleng. Mungkin yang lain malah nyaman dengan cara Wildan. Kita yang enggak."

"Apa kamu nggak bisa untuk tidak membela Wildan di depan saya?"

Saya menarik nafas udara yang begitu segar, memandang lautan. "Ketika saya masih di dalam kapal. Saya tidak terima bahwa mereka yang paling benar dan kamu adalah orang yang bersalah. Ketika saya turun dari kapal dan mendatangimu, saya tahu bahwa Wildan pun tidak sepenuhnya salah. Hidup bukan tentang protagonis dan antagonis, atau tentang pro dan kontra. Terkadang kapal yang oleng hanya karena kesalahpahaman kita dalam menjalankan kapal."

Nizar tidak bersuara, saya tahu dia tidak akan suka diceramahi dalam keadaan seperti ini.

Akhirnya saya menoleh, menatapnya yang masih geram, ikut memandang lautan. "Apakah kamu bahagia? Apakah kamu tenang sekarang?"

Tidak ada jawaban. Nizar hanya berdiri menatapku dengan ekspresi tidak suka. "Pulanglah ke kapal dan selamat berlayar dengan nahkoda pilihanmu."

Tanpa menunggu respon dari saya, Nizar berlalu memasuki pulau lebih dalam sehingga tak terlihat lagi.

Setelah itu, berhari-hari saya kembali terombang-ambing di lautan. Langit begitu tenang saat itu, meski secara jelas saya tahu bahwa langit di bawah kapal pasti masih mengalami badai. Mungkin saya yang terlalu penakut untuk kembali ke kapal, atau ... saya yang sangat berambisi menghujat Wildan ketika dia sampai di dermaga bersama awaknya. Atau ... Tuhan tengah memberi saya waktu untuk memahami bahwa selalu harus ada keputusan-keputusan sulit yang harus diambil ketika genting dengan konsekuensi yang sangat berat.

Kehilangan dua awak kapal, misalnya.

Setelah berlama-lama menatap langit, saya kembali menatap laut. Kosong. Saya sudah terbiasa dengan kekosongan, tapi ketika menatap ke sekeliling saya sadar bahwa tujuan saya untuk kembali berlayar adalah melihat lautan sambil melakukan sesuatu untuk makhluk laut, awak, para muatan, dan para awak kapal yang lain. Itulah kehidupan, saat kita menjalaninya bertautan dengan yang lain. Entah manfaat atau kerusakan, yang jelas berlayar sendirian bukan pilihan yang baik.

Setelah dua minggu berlayar sendirian, saya kembali ke kapal. Saat itu geladak masih ramai dengan awak kapal yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sepertinya hanya sebagian orang yang menyadari kepergian saya dan ... yang mereka tahu adalah sekoci saya masih tersimpan dengan baik di tempatnya.

Saya langsung memeriksa muatan saya dan beberapa saat kemudian kembali ke ruangan terbuka tempat saya selalu beristirahat. Memandang langit yang masih memberikan badai.

Seseorang berlari-lari di dek, mendapatkan kabar bahwa saya terlihat di kapal. Dengan terengah-engah, dia mendatangi tempat biasa dimana saya beristirahat memandang langit sendirian.

"Syukurlah ..." Ucapnya sambil mengatur nafas. "Aku tahu kamu akan pulang."

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.