22 December 2013
18 December 2013
Menteri Minta Sekoci
Saya kadang benar-benar khawatir bahwa tulisan saya akhir-akhir ini benar-benar sampah. Sebagian besar karena saya menulis apa yang saya rasakan, bukan apa yang saya pikirkan. Tapi ... no problem, blog ini memang tempat terapi saya. Dimana saya memuntahkan semua perasaan sehingga otak saya bisa berfikir lebih jernah.
Tadi sore Riri, partner saya di BEM, memancing saya bercerita tentang yang terjadi di bulan Oktober (ng ~). Ceritanya agak complicated, saya nggak yakin kalau saya bisa menceritakannya dengan benar.
"Bulan Oktober itu benar-benar waktu dimana saya kecewa dengan Timpres. Ketika akhirnya Kang Nizar dipecat. Atau ... mungkin memang sepakat keluar, apapun lah, yang jelas nggak berakhir baik. Saya tahu Kang Nizar nggak masalah nggak di BEM lagi, tapi bukan dengan cara seperti ini. Kenapa nggak pancing dia untuk resign sendiri sebelum diberi SP. Dan ... saya sebenarnya nggak ada masalah ketika Nizar dipecat dengan alasan ini itu, tapi Wildan, Agil, Rendi, Teh Ela, memberikan jawaban yang salah fatal ketika saya nanya alasan pemecatan. Oke, mereka benci Nizar, tapi kalau saya jadi mereka saya lebih memilih kata-kata 'Nizar sudah tidak nyaman disini dan kita tidak menahannya untuk pergi' dibandingkan dengan jawaban menjelek-jelekan dan membuka aib Kang Nizar."
Sebenarnya penjelasan saya ke Riri lebih panjang dan emosional, tapi sekarang saya sedang mengantuk dan nggak mood untuk membuka memori.
"Mereka udah nggak bisa banget ngerangkul saya waktu itu. Nggak tahu kenapa tiba-tiba Kang Sayyidi ikut-ikutan memohon supaya saya masih di BEM. Dan saya benar-benar berada di tengah-tengah ketika saya bilang kalau saya kecewa sama Timpres dan di sisi lain Nizar juga bilang 'selamat berlayar dengan nahkoda pilihanmu itu'."
Ketika mengatakan hal itu tiba-tiba dunia saya ketarik kedalam dunia sureal. Di tengah-tengah ketika makan ketoprak otak saya berpindah ke laut lepas, badai menghadang sebuah kapal besar dimana Wildan menjadi nahkodanya. Saya mendobrak tempat kerja Wildan setelah dia menenggelamkan seorang awak kapal, Nizar.
"Kenapa Nizar ditenggelamkan?" Tuntut saya.
"Kapal kita sedang kena badai. Dan para awak kapal setuju jika Nizar ditenggelamkan maka badai itu akan surut sedikit demi sedikit."
Sejak awal menaiki kapal ini saya sudah tahu bahwa Wildan menjalankan kapal dengan caranya sendiri yang membuat saya yang sudah pernah menaiki kapal lain terkadang ambruk, mual, dan oleng sendiri.
"Kamu tidak meminta pendapat saya sebelum Nizar ditenggelamkan."
"Separuh dari awak kapal setuju bahwa selama badai ini berlangsung, Nizar membuat kapal ini semakin oleng dan mengganggu awak kapal yang lain." Wildan berargumen.
"Berapa dari 22 awak kapal yang mengatakan hal itu?" Saya menatapnya tajam.
"Setengahnya." Jawabnya cepat. "Bahkan dia tidak menjaga muatannya dengan baik."
Saya menatap Wildan penuh emosi. "Unbelieveable."
Di tengah badai, saya pun ke luar menuju geladak untuk mencari sekoci. Namun untuk mengambil sekoci itu saya harus melalui Rendi dan Agil yang menjadi penanggung jawab muatan saya.
"Saya minta sekoci saya. Saya akan keluar dari kapal ini."
"Saya tahu ini pasti terjadi." Ucap Agil. "Ketika kami memutuskan untuk menenggelamkan Nizar, kita sudah mengantisipasi kalau kamu akan meminta sekocimu dan pergi dari kapal ini."
"Syukurlah kalau kalian sadar. Kalau kalian punya hak untuk menenggelamkan Nizar, saya punya hak untuk meminta sekoci saya."
Kapal semakin terasa oleng, keseimbangan saya hampir rubuh.
"Kamu perlu mendengarkan penjelasannya lebih dulu." Kali ini Rendi yang bersuara. "Nizar sudah membuat kapal ini oleng."
"Saya sudah cukup banyak mendengar dari Wildan."
"Tapi belum dari saya."
"Dia ..." Saya menunjuk tempat yang baru saya tinggalkan. "Adalah kapten saya dan dia bertanggung jawab, dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan, atas apa yang terjadi di atas kapal ini. Dan Anda tidak bisa serta merta dan secara terus menerus menyalahkan Nizar atas olengnya kapal ini."
Saya mencoba melangkah untuk mengambil sekoci tapi mereka berdua dengan sigap menghalangi jalan.
Sambil menahan emosi saya menghela nafas dan melihat Kang Rendi. "Kapal ini sudah hampir membuat saya ambruk. Selama Wildan masih menjadi kapten kapal ini, saya tidak akan bisa nyaman berada di atasnya. Tolonglah ... saya harus pergi."
"Kamu punya muatan yang harus kamu jaga."
Akhirnya Kang Agil mengatakan hal yang paling tidak bisa saya tinggalkan begitu saja di kapal ini.
"Selama ini kita sama-sama tahu bahwa saya telah menjaga muatan saya dengan cara yang salah. Bahkan kamu hampir mencampurkan muatan saya dengan muatan yang lain. Saya sudah minta pindah geladak dan kalian bilang itu tidak bisa. Saya serahkan muatan saya kepada kalian."
Saya pun berbalik meninggalkan kedua orang itu dan menatap lautan lepas dengan langit yang menghitam sebelum akhirnya Agil kembali bersuara.
"Apa yang harus saya lakukan agar kamu tidak pergi dari kapal ini?"
Saya masih membelakanginya, menatap air laut yang menggoyangkan kapal.
"Saya harus pergi." Tanpa kembali menoleh saya menenggelamkan diri ke laut, menikmati asinnya air yang menyentuh setiap kulit. Berenang bersama makhluk laut seolah saya terlahir kembali dan menjadi seseorang yang lain. Sampai akhirnya saya menemukan pulau kecil tempat Nizar mengucilkan diri setelah ditenggelamkan dari kapal.
"Seharusnya kamu tidak kesini." Nizar bersuara pelan. "Saya membenci apapun tentang Wildan dan kapal itu. Dan kalau kamu kesini atas nama Wildan, itu artinya saya membencimu."
Saya memandangi pulau kecil itu hingga akhirnya menatap Nizar. "Saya baru saja meminta sekoci saya. Itu artinya saya berencana pergi dari kapal."
"Kamu tidak seharusnya melakukan itu. Apalagi hanya karena saya."
"Bukan karena kamu, tapi karena Wildan. Kita sama-sama tahu bahwa saya tidak menyukai perjalanan ini dan ... perjalanan ini sudah mengambil banyak hal dari kita semua. Saya sudah meninggalkan ibu dan adik saya sampai sejauh ini ... dan saya selalu berharap Wildan dan kapal itu cukup pantas untuk menjadi alasan untuk pengorbanan saya dan juga awak yang lain. Kejadian ini hanya pemantik untuk membuat saya sadar bahwa ... keputusan saya menaiki kapal ini tidak berasalan kuat."
"Wildan tidak pernah tahu cara menjalankan kapal." Nizar berkomentar. "Dia tidak tahu bagaimana mengatur awak kapalnya dengan baik. Kalau bukan karena awak kapalnya yang bekerja bagus, dia tidak akan bisa melewati badai itu."
"Tidak sepenuhnya begitu." Ucap saya. "Dia hanya memakai cara yang berbeda. Dan ... sayangnya cara dia menjalankan kapal sering membuat kita oleng. Mungkin yang lain malah nyaman dengan cara Wildan. Kita yang enggak."
"Apa kamu nggak bisa untuk tidak membela Wildan di depan saya?"
Saya menarik nafas udara yang begitu segar, memandang lautan. "Ketika saya masih di dalam kapal. Saya tidak terima bahwa mereka yang paling benar dan kamu adalah orang yang bersalah. Ketika saya turun dari kapal dan mendatangimu, saya tahu bahwa Wildan pun tidak sepenuhnya salah. Hidup bukan tentang protagonis dan antagonis, atau tentang pro dan kontra. Terkadang kapal yang oleng hanya karena kesalahpahaman kita dalam menjalankan kapal."
Nizar tidak bersuara, saya tahu dia tidak akan suka diceramahi dalam keadaan seperti ini.
Akhirnya saya menoleh, menatapnya yang masih geram, ikut memandang lautan. "Apakah kamu bahagia? Apakah kamu tenang sekarang?"
Tidak ada jawaban. Nizar hanya berdiri menatapku dengan ekspresi tidak suka. "Pulanglah ke kapal dan selamat berlayar dengan nahkoda pilihanmu."
Tanpa menunggu respon dari saya, Nizar berlalu memasuki pulau lebih dalam sehingga tak terlihat lagi.
Setelah itu, berhari-hari saya kembali terombang-ambing di lautan. Langit begitu tenang saat itu, meski secara jelas saya tahu bahwa langit di bawah kapal pasti masih mengalami badai. Mungkin saya yang terlalu penakut untuk kembali ke kapal, atau ... saya yang sangat berambisi menghujat Wildan ketika dia sampai di dermaga bersama awaknya. Atau ... Tuhan tengah memberi saya waktu untuk memahami bahwa selalu harus ada keputusan-keputusan sulit yang harus diambil ketika genting dengan konsekuensi yang sangat berat.
Kehilangan dua awak kapal, misalnya.
Setelah berlama-lama menatap langit, saya kembali menatap laut. Kosong. Saya sudah terbiasa dengan kekosongan, tapi ketika menatap ke sekeliling saya sadar bahwa tujuan saya untuk kembali berlayar adalah melihat lautan sambil melakukan sesuatu untuk makhluk laut, awak, para muatan, dan para awak kapal yang lain. Itulah kehidupan, saat kita menjalaninya bertautan dengan yang lain. Entah manfaat atau kerusakan, yang jelas berlayar sendirian bukan pilihan yang baik.
Setelah dua minggu berlayar sendirian, saya kembali ke kapal. Saat itu geladak masih ramai dengan awak kapal yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sepertinya hanya sebagian orang yang menyadari kepergian saya dan ... yang mereka tahu adalah sekoci saya masih tersimpan dengan baik di tempatnya.
Saya langsung memeriksa muatan saya dan beberapa saat kemudian kembali ke ruangan terbuka tempat saya selalu beristirahat. Memandang langit yang masih memberikan badai.
Seseorang berlari-lari di dek, mendapatkan kabar bahwa saya terlihat di kapal. Dengan terengah-engah, dia mendatangi tempat biasa dimana saya beristirahat memandang langit sendirian.
"Syukurlah ..." Ucapnya sambil mengatur nafas. "Aku tahu kamu akan pulang."
Tadi sore Riri, partner saya di BEM, memancing saya bercerita tentang yang terjadi di bulan Oktober (ng ~). Ceritanya agak complicated, saya nggak yakin kalau saya bisa menceritakannya dengan benar.
"Bulan Oktober itu benar-benar waktu dimana saya kecewa dengan Timpres. Ketika akhirnya Kang Nizar dipecat. Atau ... mungkin memang sepakat keluar, apapun lah, yang jelas nggak berakhir baik. Saya tahu Kang Nizar nggak masalah nggak di BEM lagi, tapi bukan dengan cara seperti ini. Kenapa nggak pancing dia untuk resign sendiri sebelum diberi SP. Dan ... saya sebenarnya nggak ada masalah ketika Nizar dipecat dengan alasan ini itu, tapi Wildan, Agil, Rendi, Teh Ela, memberikan jawaban yang salah fatal ketika saya nanya alasan pemecatan. Oke, mereka benci Nizar, tapi kalau saya jadi mereka saya lebih memilih kata-kata 'Nizar sudah tidak nyaman disini dan kita tidak menahannya untuk pergi' dibandingkan dengan jawaban menjelek-jelekan dan membuka aib Kang Nizar."
Sebenarnya penjelasan saya ke Riri lebih panjang dan emosional, tapi sekarang saya sedang mengantuk dan nggak mood untuk membuka memori.
"Mereka udah nggak bisa banget ngerangkul saya waktu itu. Nggak tahu kenapa tiba-tiba Kang Sayyidi ikut-ikutan memohon supaya saya masih di BEM. Dan saya benar-benar berada di tengah-tengah ketika saya bilang kalau saya kecewa sama Timpres dan di sisi lain Nizar juga bilang 'selamat berlayar dengan nahkoda pilihanmu itu'."
Ketika mengatakan hal itu tiba-tiba dunia saya ketarik kedalam dunia sureal. Di tengah-tengah ketika makan ketoprak otak saya berpindah ke laut lepas, badai menghadang sebuah kapal besar dimana Wildan menjadi nahkodanya. Saya mendobrak tempat kerja Wildan setelah dia menenggelamkan seorang awak kapal, Nizar.
"Kenapa Nizar ditenggelamkan?" Tuntut saya.
"Kapal kita sedang kena badai. Dan para awak kapal setuju jika Nizar ditenggelamkan maka badai itu akan surut sedikit demi sedikit."
Sejak awal menaiki kapal ini saya sudah tahu bahwa Wildan menjalankan kapal dengan caranya sendiri yang membuat saya yang sudah pernah menaiki kapal lain terkadang ambruk, mual, dan oleng sendiri.
"Kamu tidak meminta pendapat saya sebelum Nizar ditenggelamkan."
"Separuh dari awak kapal setuju bahwa selama badai ini berlangsung, Nizar membuat kapal ini semakin oleng dan mengganggu awak kapal yang lain." Wildan berargumen.
"Berapa dari 22 awak kapal yang mengatakan hal itu?" Saya menatapnya tajam.
"Setengahnya." Jawabnya cepat. "Bahkan dia tidak menjaga muatannya dengan baik."
Saya menatap Wildan penuh emosi. "Unbelieveable."
Di tengah badai, saya pun ke luar menuju geladak untuk mencari sekoci. Namun untuk mengambil sekoci itu saya harus melalui Rendi dan Agil yang menjadi penanggung jawab muatan saya.
"Saya minta sekoci saya. Saya akan keluar dari kapal ini."
"Saya tahu ini pasti terjadi." Ucap Agil. "Ketika kami memutuskan untuk menenggelamkan Nizar, kita sudah mengantisipasi kalau kamu akan meminta sekocimu dan pergi dari kapal ini."
"Syukurlah kalau kalian sadar. Kalau kalian punya hak untuk menenggelamkan Nizar, saya punya hak untuk meminta sekoci saya."
Kapal semakin terasa oleng, keseimbangan saya hampir rubuh.
"Kamu perlu mendengarkan penjelasannya lebih dulu." Kali ini Rendi yang bersuara. "Nizar sudah membuat kapal ini oleng."
"Saya sudah cukup banyak mendengar dari Wildan."
"Tapi belum dari saya."
"Dia ..." Saya menunjuk tempat yang baru saya tinggalkan. "Adalah kapten saya dan dia bertanggung jawab, dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan, atas apa yang terjadi di atas kapal ini. Dan Anda tidak bisa serta merta dan secara terus menerus menyalahkan Nizar atas olengnya kapal ini."
Saya mencoba melangkah untuk mengambil sekoci tapi mereka berdua dengan sigap menghalangi jalan.
Sambil menahan emosi saya menghela nafas dan melihat Kang Rendi. "Kapal ini sudah hampir membuat saya ambruk. Selama Wildan masih menjadi kapten kapal ini, saya tidak akan bisa nyaman berada di atasnya. Tolonglah ... saya harus pergi."
"Kamu punya muatan yang harus kamu jaga."
Akhirnya Kang Agil mengatakan hal yang paling tidak bisa saya tinggalkan begitu saja di kapal ini.
"Selama ini kita sama-sama tahu bahwa saya telah menjaga muatan saya dengan cara yang salah. Bahkan kamu hampir mencampurkan muatan saya dengan muatan yang lain. Saya sudah minta pindah geladak dan kalian bilang itu tidak bisa. Saya serahkan muatan saya kepada kalian."
Saya pun berbalik meninggalkan kedua orang itu dan menatap lautan lepas dengan langit yang menghitam sebelum akhirnya Agil kembali bersuara.
"Apa yang harus saya lakukan agar kamu tidak pergi dari kapal ini?"
Saya masih membelakanginya, menatap air laut yang menggoyangkan kapal.
"Saya harus pergi." Tanpa kembali menoleh saya menenggelamkan diri ke laut, menikmati asinnya air yang menyentuh setiap kulit. Berenang bersama makhluk laut seolah saya terlahir kembali dan menjadi seseorang yang lain. Sampai akhirnya saya menemukan pulau kecil tempat Nizar mengucilkan diri setelah ditenggelamkan dari kapal.
"Seharusnya kamu tidak kesini." Nizar bersuara pelan. "Saya membenci apapun tentang Wildan dan kapal itu. Dan kalau kamu kesini atas nama Wildan, itu artinya saya membencimu."
Saya memandangi pulau kecil itu hingga akhirnya menatap Nizar. "Saya baru saja meminta sekoci saya. Itu artinya saya berencana pergi dari kapal."
"Kamu tidak seharusnya melakukan itu. Apalagi hanya karena saya."
"Bukan karena kamu, tapi karena Wildan. Kita sama-sama tahu bahwa saya tidak menyukai perjalanan ini dan ... perjalanan ini sudah mengambil banyak hal dari kita semua. Saya sudah meninggalkan ibu dan adik saya sampai sejauh ini ... dan saya selalu berharap Wildan dan kapal itu cukup pantas untuk menjadi alasan untuk pengorbanan saya dan juga awak yang lain. Kejadian ini hanya pemantik untuk membuat saya sadar bahwa ... keputusan saya menaiki kapal ini tidak berasalan kuat."
"Wildan tidak pernah tahu cara menjalankan kapal." Nizar berkomentar. "Dia tidak tahu bagaimana mengatur awak kapalnya dengan baik. Kalau bukan karena awak kapalnya yang bekerja bagus, dia tidak akan bisa melewati badai itu."
"Tidak sepenuhnya begitu." Ucap saya. "Dia hanya memakai cara yang berbeda. Dan ... sayangnya cara dia menjalankan kapal sering membuat kita oleng. Mungkin yang lain malah nyaman dengan cara Wildan. Kita yang enggak."
"Apa kamu nggak bisa untuk tidak membela Wildan di depan saya?"
Saya menarik nafas udara yang begitu segar, memandang lautan. "Ketika saya masih di dalam kapal. Saya tidak terima bahwa mereka yang paling benar dan kamu adalah orang yang bersalah. Ketika saya turun dari kapal dan mendatangimu, saya tahu bahwa Wildan pun tidak sepenuhnya salah. Hidup bukan tentang protagonis dan antagonis, atau tentang pro dan kontra. Terkadang kapal yang oleng hanya karena kesalahpahaman kita dalam menjalankan kapal."
Nizar tidak bersuara, saya tahu dia tidak akan suka diceramahi dalam keadaan seperti ini.
Akhirnya saya menoleh, menatapnya yang masih geram, ikut memandang lautan. "Apakah kamu bahagia? Apakah kamu tenang sekarang?"
Tidak ada jawaban. Nizar hanya berdiri menatapku dengan ekspresi tidak suka. "Pulanglah ke kapal dan selamat berlayar dengan nahkoda pilihanmu."
Tanpa menunggu respon dari saya, Nizar berlalu memasuki pulau lebih dalam sehingga tak terlihat lagi.
Setelah itu, berhari-hari saya kembali terombang-ambing di lautan. Langit begitu tenang saat itu, meski secara jelas saya tahu bahwa langit di bawah kapal pasti masih mengalami badai. Mungkin saya yang terlalu penakut untuk kembali ke kapal, atau ... saya yang sangat berambisi menghujat Wildan ketika dia sampai di dermaga bersama awaknya. Atau ... Tuhan tengah memberi saya waktu untuk memahami bahwa selalu harus ada keputusan-keputusan sulit yang harus diambil ketika genting dengan konsekuensi yang sangat berat.
Kehilangan dua awak kapal, misalnya.
Setelah berlama-lama menatap langit, saya kembali menatap laut. Kosong. Saya sudah terbiasa dengan kekosongan, tapi ketika menatap ke sekeliling saya sadar bahwa tujuan saya untuk kembali berlayar adalah melihat lautan sambil melakukan sesuatu untuk makhluk laut, awak, para muatan, dan para awak kapal yang lain. Itulah kehidupan, saat kita menjalaninya bertautan dengan yang lain. Entah manfaat atau kerusakan, yang jelas berlayar sendirian bukan pilihan yang baik.
Setelah dua minggu berlayar sendirian, saya kembali ke kapal. Saat itu geladak masih ramai dengan awak kapal yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sepertinya hanya sebagian orang yang menyadari kepergian saya dan ... yang mereka tahu adalah sekoci saya masih tersimpan dengan baik di tempatnya.
Saya langsung memeriksa muatan saya dan beberapa saat kemudian kembali ke ruangan terbuka tempat saya selalu beristirahat. Memandang langit yang masih memberikan badai.
Seseorang berlari-lari di dek, mendapatkan kabar bahwa saya terlihat di kapal. Dengan terengah-engah, dia mendatangi tempat biasa dimana saya beristirahat memandang langit sendirian.
"Syukurlah ..." Ucapnya sambil mengatur nafas. "Aku tahu kamu akan pulang."
05 December 2013
[CCSA] Fresia Hari Kedua
Departemen/UPF Penyakit Dalam
Ruang Fresia Kelas 2 (masih dikenal dengan nama Anyelir)
Kamis, 7 November 2013
14.00-21.00
Saya berangkat jam 1 siang dari Dipati Ukur karena baru saja
mengahadiri wisudanya Kang Ridwan, senior saya di keperawatan. Saya makan siang
bareng Riri, Bela, Teh Ela, Kang Zu, Kang Dadieh, dan satu lagi yang saya lupa
namanya. Sampai di ruang fresia, teman-teman yang dinas pagi masih bertugas dan
terlihat lebih ceria karena tidak ada pembimbing yang datang.
Ketika pergantian shift, saya dan Indah ikut operan di wing
dua. Ada 6 pasien hari itu, satu pasien dipindahkan ke HCCU. Ada juga pasien
yang pulang dan pasien baru yang datang kemarin malam. Selesai operan, kita
berdua langsung bertugas untuk mengecek TTV. Kita bagi dua, jadi masing-masing menegcek
3 pasien tapi kita datang ke pasien barengan. Jadi ketika Indah ngecek TTV,
saya ngajak ngobrol pasien dan keluarga sambil mencatat hasilnya. Sebaliknya,
kalau saya yang sedang ngecek TTV, Indah yang mencatat dan berkomunikasi dengan
pasien dan keluarga.
Setelah memindahkan dokumentasi TTV, jam 4 sore waktunya memberi obat. Ketika
memberi obat kita didampingi perawat penanggung jawab. Namanya Teh Dian,
cantik, baik, ceria, komunikatif, dan perawat banget. Lagi hamil mau 8 bulan.
Saya sempat ngoplos obat dua kali, mematahkan ampul kecil
dan ampul yang agak besar. Sempat ada aquabides yang tumpah karena saya terlalu
kencang menarik spuit. Dan itu bikin suasana di ruangan jadi agak tegang. Tapi
ketika memberikan obat melalui selang infus Alhamdulillah lancar, cuma harus
dibiasakan ngoplos obat aja. Ada pasien yang diambil darah dan saya masih ngeri
melihatnya, bukan darahnya yang bikin ngeri tapi suntikannya. Padahal saya
biasa pakai jarum sehari-hari untuk pakai kerudung dan udah bisa menyuntikan
jarum ke IV lewat selang. Tapi tetap saja membayangkan jarum memasuki pembuluh
darah atau kulit atau otot itu masih terasa ngilu.
Setelah selesai memberi obat, ada pasien yang harus kita
bawa ke ruang hemodialisa untuk cuci darah dan ada sampel darah yang harus
diantarkan ke lab. Kita langsung bersemangat untuk mengantarkan kesana karena
keluar ruangan ketika dinas itu rasanya legaaaaaaaaaaaaa banget. Pressure-nya
itu kerasa berkurang.
Memasuki jam lima sore, makanan diantarkan oleh petugas dan
ada satu pasien yang harus diberi insulin dulu sebelum makan. Indah semangat
ingin mencoba memberikan suntik insulin, saya masih ngeri meskipun jarumnya
cuma seuprit. Dan Alhamdulillah, Indah akhirnya berhasil mencoba suntik
insulin. Kayaknya besok saya mau coba deh, Insya Allah.
Jam 6 sore kita istirahat. Semuanya sepakat untuk pergi
keluar. Total yang dinas sore ada 6 orang. Djoko dan Puspa di wing 1, saya dan
Indah di wing 2, Ais dan Syifa di wing 3. Kita kembali ke ruangan jam 7 malam,
saya dan Indah hanya tahu agenda kita selanjutnya adalah mengambil sampel darah
salah satu pasien dan menjemput pasien di ruang hemodialisa. Tapi ketika sampai
di ruangan, ternyata ada pasien dying. Kita langsung ke kamar pasien.
Nafas pasien hanya ada sedikit-sedikit, jadi kita memompakan
oksigen ke pasien. Ada dua perawat yang harus di dekat pasien, yang satu
memegang cup di mulut pasien supaya tidak ada udara yang terbuang keluar, yang
satu lagi memompa udara setiap pasien membuka mulutnya. Karena bantuan pompa
nafas itu pasien masih bisa bertahan, nadinya masih ada meskipun tidak teraba
ketika hendak ditensi.
Memompa dan memegang cup itu pegalnya luar biasa. Selama dua
jam kita berenam ganti-gantian. Saya sempat gantian sampai lima kali dan
bolak-balik ke base camp untuk minum dan meregangkan badan. Sekitar 20-an
keluarga ada di ruangan ketika itu, ada yang menangis, membaca tahlil, membaca
al-quran, dan kita tidak boleh terganggu dengan suara-suara itu.
Saya tetap bolak-balik ke kamar itu, sementara Indah
bolak-balik ke kamar lain karena ada yang harus diambil darah, diganti infus,
dan sebagainya. Mahasiswa lain, yang tidak ada tindakan di wing-nya membantu
kita untuk memompa oksigen.
Menjelang jam 9 malam, perawat penanggung jawab dan dokter
sudah menyampaikan kepada keluarga bahwa nafasnya sudah tidak ada, tapi nadinya masih ada karena bantuan oksigen
yang sedang dipompa oleh mahasiswa, pasiennya sudah tidak bisa diapa-apakan
lagi. Saya tahu maksud dokter adalah sekarang keputusan ada pada keluarga,
meskipun kami sudah pegal-pegal pun kita tetap menunggu keputusan keluarga apa
akan dipertahankan atau bagaimana.
Akhirnya ketika perawat dan dokter sudah keluar, salah satu
keluarga yang berada di dekat pasien meminta kami untuk mencoba menghentikan
pompa. Saat itu yang berada di dekat pasien adalah Indah dan Ais, saya dan
Puspa stand by di belakang mereka. Dan ketika pompa dihentikan, nadi pasien
menghilang sedikit demi sedikit dan saya langsung memanggil dokter dan perawat
penanggung jawab.
Keluarga sudah mengikhlaskan, dokter sudah memutuskan,
perawat sudah berjuang sampai akhir. Allah sudah berkehendak. Malam itu untuk
pertama kalinya saya berhadapan dengan pasien dying, merangkul istri pasien
yang terisak.
Pulangnya saya dijemput A Heri, kakak kedua yang istrinya
sedang hamil 37 minggu. Selama perjalanan bahkan setelah sampai rumah, saya
masih merenungi proses tadi. Pengalaman spiritual semoga meningkatkan keimanan
kita akan hari akhir. Amin.
[CCSA] Fresia Hari Pertama
Ruang Fresia UPF Penyakit Dalam Kelas 2
Day 1
Rabu, 6 November 2013
07.00-14.00 WIB
Hari pertama dinas, saya berangkat dari Cimahi diantar oleh
A Heri, kakak kedua. Agak nggak tenang sih soalnya kita berangkat jam 6 pagi,
tapi ternyata perjalanan Cimahi-RSHS dengan keselowan A Heri menjalankan motor
hanya menghabiskan waktu sekitar 30 menit.
Jam setengah tujuh saya sudah di Gedung Pendidikan RSHS,
menunggu Puspa sampai jam 06.45 dan kita agak kesulitan menemukan ruang fresia.
Berbekal tanya satpam, saya dan Puspa bisa sampai ruang fresia tepat waktu.
Bu Tati, pembimbing klinik (PK/CI) sekaligus kepala perawat
di ruang fresia belum datang, jadi kami hanya bekerja biasa mengikuti ronde
keperawatan, bed making, dan memberikan obat. Bed making-nya agak keteteran
karena dilakukan dengan sangat cepat, saya sempat mencoba memberi obat dengan
mematahkan ampul dan memasukan obatnya melalui selang infus. Lumayan.
Setelah Bu Tati datang kita diorientasi ruangan terlebih
dahulu, membagi wing dan shift. Saya mendapat pasien di kamar nomor 5-9, setiap
kamar ada dua bed tapi hari itu bed yang terisi hanya 7 bed. Saya bertugas
bareng Indah, Nurul, dan Kang Ridho. Kebayang kalau tidak ada mahasiswa
praktek, satu perawat harus mengurusi sepuluh pasien. Huwah.
Ketika kita masih orientasi ruangan, Bu Bela yang menjadi
pembimbing akademik di ruang fresia, datang dan mendampingi kami untuk menemui
pasien. Ada pasien yang memakai CTT dan WSD, ada yang nunggu kemoterapi, ada
yang baru dikemo pertama kali dan sudah tiga minggu ada disana, ada yang
bercerita kalau dia termotivasi dengan sinetron Surat Kecil Untuk Tuhan (SKUT),
macam-macam. Setelah semua bed dikunjungi kami langsung dituntut untuk
melakukan pengkajian dan periksa TTV (tanda-tanda vital). Karena tidak ada yang
berani melakukannya pertama kali, saya akhirnya mengangkat tangan dan bersedia
jadi orang pertama yang melakukan pengkajian ke pasien. Tumbal.
Komunikasi saya tidak terlalu jelek, tapi saya masih tidak
terbiasa mendengarkan nadi pakai stetoskop. Kalau mengukur TD, saya biasanya
pakai nadi yang di pergelangan tangan, sebenarnya nggak salah tapi lebih bagus
di lipatan siku yang kita pasang spigno supaya memastikan spigno itu berjalan
dengan baik. Saya juga belum bisa mendengarkan suara nafas pasien dengan benar dan
failed ketika menghitung suara bising usus. Stetoskop pun bolak-balik dipakai
karena selalu ada yang kelupaan diperiksa. Ketika mengecek refleks tendon pakai
hammer pun saya sempat kesulitan karena tidak menemukan tempat yang pas. Dan
kesalahan lain adalah kebiasaan saya mengusap wajah sendiri ketika mengobrol
itu tidak boleh dilakukan ketika pengkajian karena itu sama saja memindahkan
bakteri yang ada di kulit kita ke kulit pasien. Duhh.
Secara keseluruhan lumayan lah untuk pengkajian pertama
kali.
Karena ruangan yang saya tempati adalah ruangan penyakit
dalam, maka kebanyakan pasien disana adalah pasien kanker. Macam-macam
sebenarnya, Ca Colon, Ca Paru, GGK, DM, MM. pasien yang saya kaji mengalami MM
(Multiple Myeloma). Sepulangnya dari RSHS saya langsung mencari Askep MM.
Selesai dinas saya langsung menuju perpustakaan di Gedung
Pendidikan karena harus menyelesaikan proposal skripsi pada bulan ini. Secara
kebetulan saya bertemu dengan A Indra, kakak ipar yang rumahnya saya tinggali
selama saya di Cicalengka. Dia sedang kuliah S2 di Kedokteran dan sedang
mengerjakan tesisnya.
Selesai di perpustakaan jam 4 karena perpus mau tutup. Saya
langsung pergi ke Dago, kunjungan ke D3 FISIP dan pulang diantar oleh Riri, junior
saya yang kuliah di FEB, sambil membicarakan langit hitam yang hanya
menghadirkan bulan dan satu bintang.
[CCSA] Angkat Janji dan Orientasi
Gedung Pendidikan RSHS
Jumat, 1 November 2013
07.00-14.00
Perjalanan …
Pagi itu saya janjian dengan Wasilah, Ketua BEM Fkep Unpad
2013, untuk pergi angkat janji CCSA jam tujuh pagi di Eyckman. Wasil berangkat
dari rumahnya di Rancaekek, saya berangkat dari kosan di Jatinangor. Jam lima
pagi saya sudah selesai mandi dan langsung pergi ke Cileunyi, menunggu Wasil.
Jam setengah enam Wasil ngasih tahu kalau dia sedang janjian dulu dengan
temannya Sinta untuk membawakan name tag Sinta dan Tsaalits yang tertinggal di
Rancaekek sementara mereka berdua sendiri sudah di Bandung. Akhirnya saya
menunggu Wasil dan itu berasa lamaaaaaaa banget.
Entah apa yang terjadi, mereka salah janjian tempat atau bagaimana,
intinya mereka baru bertemu jam enam pagi dan saya baru bertemu Wasil jam 06.10
WIB.
06.15: Tegang, tentu saja. Senior kita teh Suci, telat
angkat janji 20 menit karena sakit lalu dia tidak boleh ikut CCSA tahun kemarin
dan harus mengulang tahun ini. Dosen CCSA, Bu Bella pun sudah mewanti-wanti
kita agar jangan terlambat angkat janji apapun alasannya. Dan membayangkan
jalanan Bandung yang macet di pagi hari itu …. Hahh.
06.20: Pagi itu Wasil ngebut sengebut-ngebutnya, saya baru
sadar kalau ternyata Wasil bisa juga ngebut seperti itu karena selama ini
biasanya dia menjalankan motor dengan santai. Saya yang pagi itu perutnya baru
terisi susu ultra langsung dungdeng dan serasa mau terbang.
06.30: Jam setengah tujuh kita masih di Ujung Berung dan itu
pun dengan jalanan yang tersendat-sendat. Saya langsung menghubungi Nabila dan
Asri untuk mengkonfirmasi kalau kita masih di perjalanan. Horor.
06.40: Bangga juga sama Wasil, diantara pressure
khawatir kesiangan dan sedang membonceng saya, dia masih bisa ngebut dengan sadar.
Berkali-kali Wasil mengatakan kalau memang rezekinya CCSA tahun ini, insya
Allah bisa sampai tepat waktu. Dan berkali-kali saya memberi sugesti kepada
diri sendiri ‘tenang, ada Allah. tenang saja.’
Sehari sebelumnya saya baru mengantarkan jenazah teman saya
ke Subang, beliau meninggal ketika naik motor di Panyileukan, lalu pagi itu
saya malah langsung kebut-ngebutan. Terbayang hal-hal terburuk yang mungkin
bisa terjadi, salah satunya ditilang polisi dan perjalanan semakin lama. Kita
nggak ada waktu buat ditilang polisi, salah belok, jatuh dari motor, kesenggol,
ngedengerin omelan tukang angkot, habis bensin, apapun. Tapi pagi itu perasaan
saya penuh dengan rasa percaya bahwa kita akan selamat dan tepat waktu sampai
di Eyckman.
Jam 06.50: Akhirnya saya melihat jalan layang. Sebelumnya
kita sempat tersendat lamaaaa dengan motor yang membanjiri jalanan, entah jalan
apa namanya. Ketika itu penunjuk waktu diantara arloji Wasil, ponsel Wasil, dan
ponsel saya berbeda. Ada yang menunjukan jam 7 tepat, jam 7 lebih, ada yang jam
7 kurang 2 menit. Saya langsung menghubungi Hanna dan menanyakan keadaan
disana, dia bilang Bu Bela belum datang dan anak-anak masih foto-foto.
Syukurlah.
Jam 06.55: Perjalanan lancar selancar-lancarnya. Kita
memasuki Jl. Prof. Eyckman yang saat itu sedang diperbaiki sehingga kecepatan
Wasil yang masih ekstra membuat kita terguncang-guncang dengan keras. Dinny
menelepon tepat saat kita mau masuk gerbang Gedung Pendidikan, ketika Wasil
menanyakan siapa yang menelepon hampiiiir saja kita menabrak trotoar sampai
Wasil harus spontan membelokan motornya dan saya oleng karena fokus ke telepon.
Tapi kita sampai di parkiran dengan selamat, bertemu dengan Tian yang pagi itu
juga hampir kesiangan.
06.58: Kita tertawa puas di parkiran. Menertawakan perjalanan
pagi itu. Berlari-lari menuju lantai 6 dan bergabung dengan teman-teman
lainnya. Sebagian dari mereka yang tahu kalau kita hampir kesiangan memeluk
saya dan bersyukur saya sudah datang tepat sebelum kita diminta masuk ruangan.
Bahkan Sinta sampai minta maaf karena merasa bersalah.
Tenang, ada Allah.
Angkat Janji …
MC :
Chika 2011
Pembaca Ayat Suci Al Quran :
M. Zaenudin Wasilah
Pembaca Janji :
Agustian Barkah Juanda
Wakil Penanda Tangan :
Dina Sonya dan Aditya Bayu Kusuma
Sambutan :
Kusman Ibrahim, Ph.D dan Direktur RSHS Bagian SDM
Pembaca Doa :
Rossi Akbar
Ada sepuluh janji yang kita ucapkan, diantaranya akan
menghormati pembimbing, CI, perawat ruangan, pasien, dll, akan menjaga
kerahasiaan pasien, akan menyelesaikan pendidikan dengan sebaik-baiknya, akan
taat peraturan instansi tempat praktek, dan sebagainya. Pak direktur, yang juga
dokter spesialis ortopedik, menyampaikan tentang pentingnya pendidikan tinggi
dalam profesi keperawatan, bahkan menjadi seorang spesialis keperawatan. Beliau
juga menjelaskan mengenai RSHS secara umum dan meminta maaf karena direktur
utama berhalangan untuk hadir. Angkat janji tersebut selesai sekitar jam 10 dan
ditutup dengan lagu Oleh-oleh Bandung oleh PSM Fkep Unpad.
Selesai angkat janji saya baru sadar bahwa ada satu orang di
angkatan kita yang tidak hadir hari itu, Brigita Puspa Juwita, katanya dia
tidak diizinkan mengikuti CCSA karena dia tidak mengikuti ujian pra-CCSA, padahal
dia tidak ikut ujian karena sedang sakit dan sudah memberikan surat sakit tapi
dia tetap harus mengulang tahun depan. Horor ya.
Orientasi …
Ada tiga materi yang disampaikan hari itu, tentang Standar
Akreditasi Internasional, Profil RSHS, dan Universal Precaution. Kita diajarkan
cara komunikasi efektif ke pasien, cuci tangan yang sudah berubah jadi 6
langkah, penyakit-penyakit yang bisa menularkan infeksi, sejarah RSHS yang dulu
bernama Rumah Sakit Rancabadak dan informasi bahwa RSHS adalah pusat rujukan
se-Jawa Barat dan yang bisa dirujuk kesana pun hanya yang tingkat keparahannya
sudah di grade 3-5. Dari 3000 perawat yang tersedia, RSHS rata-rata menerima
pasien 25.000 orang per hari. Huoooooohhh.
Setelah istirahat untuk sholat zuhur dan sholat jumat untuk
laki-laki, kita diajak berkeliling ruangan. Hanya sedikit ruangan yang kami
kunjungi karena keadaan RSHS yang penuh orang berlalu lalang dan RSHS yang
luuaaaaaass banget. Saya pernah bermalam di RSHS ketika sepupu saya, Teh Yomi,
dirawat di ruang HCU Kemuning karena komplikasi persalinan. Pertama kali ke
RSHS pun ketika SMP, menengok senior yang kecelakaan motor dan diamputasi. Dan
saya sering sekali tersesat di RSHS.
Orientasi selesai sekitar jam 2, lalu kita foto angkatan dan
haha hihi dulu. Tegang sekaligus excited menjalani mata kuliah ini.
Sepulangnya dari RSHS, saya langsung menuju Jl.
Singaperbangsa untuk mengikuti kunjungan ke D3 MIPA dan pulangnya dijemput oleh
Dhya, sahabat saya yang tinggal di Katapang. Menikmati perjalanan dan
kehidupan.
Video Project [Protagonis Award]
Padahal kerjaan masih banyak. Revisi skripsi belum dikerjain, LPJ belum kelar dan molor seminggu lebih. perencanaan pengkajian komunitas belum diapa-apain. Terus tiba-tiba diminta Kang Zu buat bikin video perpisahan gitu. Nggak ada ide sama sekali konsepnya gimana. Akhirnya saya cuma nanya tentang Protagnis Award.
And then ... saya ketawa-ketawa sendiri dengan hasilnya. Gara-gara ternyata ada beberapa orang yang memberi saya label tergalau. Nggak masalah sih, seniman kalau nggak galau susah menciptakan karya seni yang bisa langsung nyentuh hati orang. Hahaha.
Asumsi saya mungkin karena saya suka ngomong 'nikah' secara gamblang. Dari dulu juga saya sudah begitu. Sejak saya berumur 16 tahun malah, saya selalu bilang ke teman-teman asrama saya kalau saya akan nikah cepat. Itu semacam doa sebenarnya. Lalu misalkan pas akhir BEM 2011, ketika saya ditanya tahun depan saya akan di BEM lagi atau enggak, saya malah bilang enggak ah, saya mau nikah aja. Saya pun ngakak.
Ada apa dengan ngomongin 'nikah'?
Kemungkinan kedua mungkin karena saya sering GR. Yo'i banget, saya emang GR-an, tapi nggak gampangan. Nggak mempan dimodusin, dikodein, diceng-cengin, dan semacamnya. Saya sudah kenyang cuma dijadikan bahan dagelan :D.
Kemarin itu saya pulang dari sekre sekitar jam setengah sembilan. Saya agak risih, bukan karena pulang malam, tapi karena ada Kang Rendi. Haha. Kalau malam-malam lagi ada Kang Rendi bawaannya pengen cepet-cepet pulang soalnya dia islami banget. Saya berasa lagi ketemu sama Ustad saya di pesantren kalau lagi ketemu dia. Makanya saya nulis dia tersoleh, terlepas dari definisi soleh itu apa.
Ini dia project video saya, dimulai jam 9 malam dan akhirnya selesai sekitar jam 12 malam.
And then ... saya ketawa-ketawa sendiri dengan hasilnya. Gara-gara ternyata ada beberapa orang yang memberi saya label tergalau. Nggak masalah sih, seniman kalau nggak galau susah menciptakan karya seni yang bisa langsung nyentuh hati orang. Hahaha.
Asumsi saya mungkin karena saya suka ngomong 'nikah' secara gamblang. Dari dulu juga saya sudah begitu. Sejak saya berumur 16 tahun malah, saya selalu bilang ke teman-teman asrama saya kalau saya akan nikah cepat. Itu semacam doa sebenarnya. Lalu misalkan pas akhir BEM 2011, ketika saya ditanya tahun depan saya akan di BEM lagi atau enggak, saya malah bilang enggak ah, saya mau nikah aja. Saya pun ngakak.
Ada apa dengan ngomongin 'nikah'?
Kemungkinan kedua mungkin karena saya sering GR. Yo'i banget, saya emang GR-an, tapi nggak gampangan. Nggak mempan dimodusin, dikodein, diceng-cengin, dan semacamnya. Saya sudah kenyang cuma dijadikan bahan dagelan :D.
Kemarin itu saya pulang dari sekre sekitar jam setengah sembilan. Saya agak risih, bukan karena pulang malam, tapi karena ada Kang Rendi. Haha. Kalau malam-malam lagi ada Kang Rendi bawaannya pengen cepet-cepet pulang soalnya dia islami banget. Saya berasa lagi ketemu sama Ustad saya di pesantren kalau lagi ketemu dia. Makanya saya nulis dia tersoleh, terlepas dari definisi soleh itu apa.
Ini dia project video saya, dimulai jam 9 malam dan akhirnya selesai sekitar jam 12 malam.
Yeah, saya kalau lagi mood emang kadang lupa waktu dan harus selesai saat itu juga. Kalau dibesokin mungkin malah nggak kegarap. Mungkin ada yang heran kenapa di awal ada video Kang Agil lagi ketawa. Menurut saya sih itu ekspresi yang lucu, karena seorang Hilman Agil Satria agak jarang nangkring si sekre kalau memang nggak ada rapat, agenda, dan semacamnya. Terus malam itu dia ada di sekre dan tertular gila dengan teman-temannya.
Mungkin saya akan merindukan mereka. Mungkin juga enggak. Haha. Tapi tawa dan canda yang terdokumentasikan ini akan menjadi tand abahwa kita pernah saling bertaut. Ahay.