G
Saya suka banget baca novel sekuel, apalagi kalau imajinasi
penulisnya kece semacam Rowlink, Tolkien, Brown, Riordan, Meyer, Lewis,
Collins, Roth, Dashner … Oke, referensi saya memang hanya sebatas novelis
fantasi dan fiksi ilmiah. Siapa suruh mereka keren parah.
Jadi, saat kamu membaca sebuah novel yang menguras
pikiran dan emosimu hingga kamu merasa kenal banget sama tokohnya, maka ke-kepo-anmu
bakalan bikin nagih. Itu yang terjadi pada saya ketika membaca novel sekuel.
Kepo banget apa yang akan terjadi sama kehidupan tokohnya. Jadi bahan kegalauan
sepanjang malam kalau lagi nggak ada yang bisa digalauin. Wew.
Dan dalam realita, yang paling saya kepo-in apa yang
akan terjadi pada sekuel hidupnya adalah … hidup saya sendiri. Yeah, of course. Apa yang akan terjadi pada
Sarah setelah dia memutuskan tidak melanjutkan kuliah profesi? Apa yang dia
temukan di pinggir hutan Kalimantan? Apakah sekembalinya dari Kalimantan berat
badannya bisa naik? Yep, lintasan-lintasan pikiran sesederhana itu.
Saya membagi tema kisah hidup saya dalam sekuel
seperti ini.
Sekuel #1 Sarah lahir dan terdepak dari Tasikmalaya
ke Bandung, lalu Garut, lalu Bandung
Sekuel #2 [SD] Sarah tinggal di Cicalengka dengan
segala kecengengan dan kesembronoannya
Sekuel #3 [SMP] Sarah tinggal di asrama Cibegol dan
lari keliling stadion Si Jalak Harupat kalau lagi galau
Sekuel #4 [SMA] Sarah tinggal di Garut dan jadi
primadona lokal di Aliyah (masa sih? hoax
sih kayaknya)
Sekuel #5 [Kuliah] Sarah jadi mahasiswa dan belajar
politik kampus di waktu senja
Sekuel #6 Sarah berkarir dengan cara bertapa ke
Kalimantan
Sekuel #7 Sarah, finally,
sadar bahwa suatu saat dia akan menikah
Atas nama susah sinyal, saya kurang bisa
mengeksiskan kisah dramatis saya di Kalimantan. Misalnya, ketika saya kecewa
karena Kepala Desa tidak mengizinkan warganya ikut lomba MTQ, ketika goyah naik
perahu yang dikayuh murid-murid, ketika karnaval dan anak-anak menampilkan
kabaret yang saya mimpikan, ketika saya ngebolang sendirian di Jongkong dan
pulang menumpang mobil bak terbuka, ketika belajar pakai motor dan horray… Sarah bisa mengendarai motor di usia
23, atau ketika dalam kegelapan saya bersenandung di sungai sambil buang air
besar. Oke, apalagi kisah yang penting? Sepertinya saya agak korslet untuk
menentukan mana kisah yang penting dan mana kisah yang ‘apaan sih ini’.
Sedihnya, karena Indonesia Mengajar memiliki
peraturan tak tertulis bahwa PM in Service
tidak boleh “jatuh cinta”, maka sekuel ketujuh pun sama-sama tidak terkristalkan
dengan utuh. Apa sih, Sarah, bahasanya?
-.-"
Saya tidak pernah tahu bahwa aturan nggak boleh ‘titiktitik’
itu ada, sampai ketika pelantikan Pak Anies Baswedan akhirnya mengutarakannya.
Duhai, Pak Anies, sepertinya Anda sangat paham bahwa pemuda-pemudi harapan
bangsa yang belum menikah di usia 22-27 ini pada rentan ‘jodoh oriented’. Hikmahnya adalah perpaduan
antara larangan ‘titiktitik’ dan tak adanya sinyal internet di desa itu justru
membantu saya mengenal cinta dengan murni, dalam sunyi, dan waras. Hanya jiwa (soul) kami berdua yang saling
menyampaikan maksud. How can?
Opening
sekuel ketujuh ini memang agak absurd. So
many surprises.
Dulu pikiran saya tentang ini lebih rumit. Bayangkan
birokrasi cinta yang pernah saya singgung di … entah di tulisan yang mana, saya
lupa … bahwa ketika kita dekat dengan seseorang, maka kita akan berusaha
melihatnya secara holistik, siapa dia? Keluarganya? Lingkungannya? Sekolahnya? Hobinya?
Sahabatnya? Medsosnya? Sampai mantannya? Lalu apa mimpinya? Konsepnya akan masa
depan? Capaian dambaannya? Penanda kemajuannya? (Btw, dua terakhir itu cara monev
kami di penempatan. Kali aja ada yang nanya) Dan alur birokrasinya … Semisal … Baru
kenal seminggu, timeline pedekate-nya
kayaknya harus diperpanjang. Ah, menurut pihak ketiga, tingkat kriteria dan
kecocokan kurang signifikan. Hmmm, intensitas perhatiannya fluktuatif,
kemungkinan PHP sangat tinggi. Sepertinya kondisinya kurang relevan, bagaimana kalau kita pending 1x2 tahun.
Dan sebagainya.
Itulah yang dulu sering terjadi hingga saya sukses
menjomblo selama ini. Intinya, terlalu banyak mikir, terlalu banyak opini orang
lain, dan … hidup dalam dunia ide. Yang terakhir ini saya nggak tahu gimana
menjabarkannya.
Jadi … apa yang membuat saya sekarang tersihir untuk
mengatakan, “Okay, I do.”?
Karena dalam tes MBTI, hasilnya adalah saya Idealis
Spontan. Haha.
Atau, karena memang benar bahwa cinta itu
transenden. Mengumpulkan segala hal yang bersifat transendental; power of mind, law of attraction, dunia paralel (ini apaan sih?), dan full of
faith. Yep, I feel that.
Selayaknya mengimani takdir, dan cinta adalah bagian darinya. Kenapa bisa
cinta? Takdir. Apa yang kamu cintai darinya? Takdirnya hidup dengan saya. (tsaaaah... Sound effect yang romantis, please). Kenapa kamu percaya takdir? Karena itu rukun iman keenam.
Yang paling menyenangkan adalah saya menghidupkan
sisi lain dari seorang Sarah. Belum pernah lihat, kan, Sarah yang (berusaha) feminim,
lembut, sabar, dan penurut. Hahaha. Meski kadang hilang kendali, tapi sejauh
ini dengan self evaluation, saya
ngerasa cukup oke :D. (Iya nggak, sih? Nggak, ya? Haha)
Bagaimana prosesnya? Siapa orangnya? Kok bisa?
Saya benar-benar sedang nggak bisa menjabarkannya,
karena pikiran saya sedang berkolase dengan pecahan mozaik berisi program
penggerak Kapuas Hulu, Kapuas Membaca, sosialisasi beasiswa, pengen baca novel,
lokakarya, minicamp, guru figur, pengen nulis novel, porseni, big event, O2SN, pengen baca novel,
SMART Ekselensia, Try Out, UN, pengen nulis novel, ngajar, ngajar, dan ngajar …
Semuanya udah kayak kerlap-kerlip lampu yang padam-mati minta perhatian.
Sementara hasrat saya menulis sudah ngebul di
ubun-ubun, maka saya mencipratnya sedikit disini, sekaligus reminder bahwa
saya sudah (menuju) sekuel ketujuh. Yep, biidznillah. Oke sip.
0 Comments:
Post a Comment
Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.