15 January 2016

Sekuel Keenam (dan Ketujuh)

G

Saya suka banget baca novel sekuel, apalagi kalau imajinasi penulisnya kece semacam Rowlink, Tolkien, Brown, Riordan, Meyer, Lewis, Collins, Roth, Dashner … Oke, referensi saya memang hanya sebatas novelis fantasi dan fiksi ilmiah. Siapa suruh mereka keren parah.

 
Jadi, saat kamu membaca sebuah novel yang menguras pikiran dan emosimu hingga kamu merasa kenal banget sama tokohnya, maka ke-kepo-anmu bakalan bikin nagih. Itu yang terjadi pada saya ketika membaca novel sekuel. Kepo banget apa yang akan terjadi sama kehidupan tokohnya. Jadi bahan kegalauan sepanjang malam kalau lagi nggak ada yang bisa digalauin. Wew.

Dan dalam realita, yang paling saya kepo-in apa yang akan terjadi pada sekuel hidupnya adalah … hidup saya sendiri. Yeah, of course. Apa yang akan terjadi pada Sarah setelah dia memutuskan tidak melanjutkan kuliah profesi? Apa yang dia temukan di pinggir hutan Kalimantan? Apakah sekembalinya dari Kalimantan berat badannya bisa naik? Yep, lintasan-lintasan pikiran sesederhana itu.

Saya membagi tema kisah hidup saya dalam sekuel seperti ini.
Sekuel #1 Sarah lahir dan terdepak dari Tasikmalaya ke Bandung, lalu Garut, lalu Bandung
Sekuel #2 [SD] Sarah tinggal di Cicalengka dengan segala kecengengan dan kesembronoannya
Sekuel #3 [SMP] Sarah tinggal di asrama Cibegol dan lari keliling stadion Si Jalak Harupat kalau lagi galau
Sekuel #4 [SMA] Sarah tinggal di Garut dan jadi primadona lokal di Aliyah (masa sih? hoax sih kayaknya)
Sekuel #5 [Kuliah] Sarah jadi mahasiswa dan belajar politik kampus di waktu senja
Sekuel #6 Sarah berkarir dengan cara bertapa ke Kalimantan
Sekuel #7 Sarah, finally, sadar bahwa suatu saat dia akan menikah

Atas nama susah sinyal, saya kurang bisa mengeksiskan kisah dramatis saya di Kalimantan. Misalnya, ketika saya kecewa karena Kepala Desa tidak mengizinkan warganya ikut lomba MTQ, ketika goyah naik perahu yang dikayuh murid-murid, ketika karnaval dan anak-anak menampilkan kabaret yang saya mimpikan, ketika saya ngebolang sendirian di Jongkong dan pulang menumpang mobil bak terbuka, ketika belajar pakai motor dan horray… Sarah bisa mengendarai motor di usia 23, atau ketika dalam kegelapan saya bersenandung di sungai sambil buang air besar. Oke, apalagi kisah yang penting? Sepertinya saya agak korslet untuk menentukan mana kisah yang penting dan mana kisah yang ‘apaan sih ini’.

Sedihnya, karena Indonesia Mengajar memiliki peraturan tak tertulis bahwa PM in Service tidak boleh “jatuh cinta”, maka sekuel ketujuh pun sama-sama tidak terkristalkan dengan utuh. Apa sih, Sarah, bahasanya? -.-"

Saya tidak pernah tahu bahwa aturan nggak boleh ‘titiktitik’ itu ada, sampai ketika pelantikan Pak Anies Baswedan akhirnya mengutarakannya. Duhai, Pak Anies, sepertinya Anda sangat paham bahwa pemuda-pemudi harapan bangsa yang belum menikah di usia 22-27 ini pada rentan ‘jodoh oriented’. Hikmahnya adalah perpaduan antara larangan ‘titiktitik’ dan tak adanya sinyal internet di desa itu justru membantu saya mengenal cinta dengan murni, dalam sunyi, dan waras. Hanya jiwa (soul) kami berdua yang saling menyampaikan maksud. How can?

Opening sekuel ketujuh ini memang agak absurd. So many surprises.

Dulu pikiran saya tentang ini lebih rumit. Bayangkan birokrasi cinta yang pernah saya singgung di … entah di tulisan yang mana, saya lupa … bahwa ketika kita dekat dengan seseorang, maka kita akan berusaha melihatnya secara holistik, siapa dia? Keluarganya? Lingkungannya? Sekolahnya? Hobinya? Sahabatnya? Medsosnya? Sampai mantannya? Lalu apa mimpinya? Konsepnya akan masa depan? Capaian dambaannya? Penanda kemajuannya? (Btw, dua terakhir itu cara monev kami di penempatan. Kali aja ada yang nanya) Dan alur birokrasinya … Semisal … Baru kenal seminggu, timeline pedekate-nya kayaknya harus diperpanjang. Ah, menurut pihak ketiga, tingkat kriteria dan kecocokan kurang signifikan. Hmmm, intensitas perhatiannya fluktuatif, kemungkinan PHP sangat tinggi. Sepertinya kondisinya kurang relevan, bagaimana kalau kita pending 1x2 tahun.

Dan sebagainya.

Itulah yang dulu sering terjadi hingga saya sukses menjomblo selama ini. Intinya, terlalu banyak mikir, terlalu banyak opini orang lain, dan … hidup dalam dunia ide. Yang terakhir ini saya nggak tahu gimana menjabarkannya.

Jadi … apa yang membuat saya sekarang tersihir untuk mengatakan, “Okay, I do.”?

Karena dalam tes MBTI, hasilnya adalah saya Idealis Spontan. Haha.

Atau, karena memang benar bahwa cinta itu transenden. Mengumpulkan segala hal yang bersifat transendental; power of mind, law of attraction, dunia paralel (ini apaan sih?), dan full of faith. Yep, I feel that. Selayaknya mengimani takdir, dan cinta adalah bagian darinya. Kenapa bisa cinta? Takdir. Apa yang kamu cintai darinya? Takdirnya hidup dengan saya. (tsaaaah... Sound effect yang romantis, please). Kenapa kamu percaya takdir? Karena itu rukun iman keenam.

Yang paling menyenangkan adalah saya menghidupkan sisi lain dari seorang Sarah. Belum pernah lihat, kan, Sarah yang (berusaha) feminim, lembut, sabar, dan penurut. Hahaha. Meski kadang hilang kendali, tapi sejauh ini dengan self evaluation, saya ngerasa cukup oke :D. (Iya nggak, sih? Nggak, ya? Haha)

Bagaimana prosesnya? Siapa orangnya? Kok bisa?

Saya benar-benar sedang nggak bisa menjabarkannya, karena pikiran saya sedang berkolase dengan pecahan mozaik berisi program penggerak Kapuas Hulu, Kapuas Membaca, sosialisasi beasiswa, pengen baca novel, lokakarya, minicamp, guru figur, pengen nulis novel, porseni, big event, O2SN, pengen baca novel, SMART Ekselensia, Try Out, UN, pengen nulis novel, ngajar, ngajar, dan ngajar … Semuanya udah kayak kerlap-kerlip lampu yang padam-mati minta perhatian.

Sementara hasrat saya menulis sudah ngebul di ubun-ubun, maka saya mencipratnya sedikit disini, sekaligus reminder bahwa saya sudah (menuju) sekuel ketujuh. Yep, biidznillah. Oke sip.

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.