09 May 2012

Layaknya Rowlink Menikmati Perjalanan


Bagaimana seorang Joanne Katheline Rowlink bisa menciptakan Harry Potter?
Bagi mereka yang merasa Harry Potter Freaks pasti sudah hapal dengan jawabannya. Dalam sebuah kereta api dari Manchester menuju London selama 4 jam, dia membayangkan seorang bocah dengan bekas sambaran kilat di dahi berada di sebuah sekolah sihir.

Dan bagaimana saya menciptakan tokoh-tokoh saya?
Dalam perjalanan.

Di akhir April kemarin, saat perjalanan pulang dari kampus, elp yang saya tumpangi berhenti lama di sebrang gang stasiun Cicalengka. Saya sudah biasa mengalami hal ini, jika elp tidak melalui jalan by pass Parakan Muncang, mereka akan mencari penumpang di seberang gang stasiun Cicalengka atau di Warung Peuteuy, pertigaan jalan Cicalengka-Majalaya.

Fakta menyedihkan menggunakan jasa angkutan umum berupa elp adalah kita tidak mempunyai kuasa atas waktu yang kita miliki. Seperti sticker yang pernah saya baca di salah satu elp, ‘Anda butuh waktu. Kami butuh uang’.

Sepuluh menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Sampai hampir satu jam.

Tidak ada penumpang yang bertambah. Penumpang lain yang awalnya hanya mengeluh pelan sudah mulai mengomel ke arah sopir. Apa daya, dalam teori apapun, yang memegang kemudilah yang mempunyai kuasa.

Malam itu saya duduk di tempat favorit saya di dalam elp. Di baris ketiga, sisi sebelah kiri, tepat berhadapan dengan kaca pintu elp. Saya mulai asik dengan dunia saya sendiri. Dalam pikiran saya, kalau bukan hafalan saya yang terngiang, pasti suara musik. Lagu yang saat ini lebih sering saya dengar adalah lagu-lagu Korea (semua stasiun TV pun mendadak sering memutarnya), lagu ‘Mean’ Taylor Swift, ‘Price Tag’ Maddi Jane, ‘Zunea Zunea’ Cleopatra Stratan, dan ‘Love You Like A Love Song’ Selena Gomez. Dalam perjalanan yang dilakukan sendirian, lagu-lagu itu terngiang jelas meski tidak sedang menyalakan musik.

Ada yang lebih mengasikan daripada lamunan audio, yaitu lamunan audiovisual. Saya sering membayangkan bermain piano dengan lagu ‘Satu Rindu’, atau berada di Talkshow dengan pertanyaan, “Kenapa memakai nama Zohrah sebagai nama pena?”. Bayangan yang paling kuat dan kontinyu adalah cerita kehidupan 5 orang bersaudara dengan pemeran sentral anak ke-2 dan ke-3 yang merupakan saudara kembar. Laki-laki dan perempuan. Tapi saya tidak akan menceritakannya sekarang. Lumayan panjang.

Bayangan saya memang seringkali berbentuk cerita. Cerita lain yang sering saya bayangkan dalam perjalanan adalah sebuah sekolah asrama dengan keunggulan ekskulnya, alumninya banyak yang menjadi artis, penulis, atlet, ilmuwan, dan semacamnya (efek mengidolakan sekolah Hogwarts, sekolah Kirin, dan beberapa sekolah hebat dalam cerita). Setiap pagi mereka diberi training motivasi atau kelas kepribadian. Baru setelah itu mengikuti kelas formal dari jam 08.00-16.00, kemudian mereka bisa melakukan kegiatan ekskul mereka, dan terakhir jam 20.00-22.00 adalah jam belajar. Sabtu adalah ‘Hari Ekskul’, setiap ekskul diberi jadwal untuk mengadakan kegiatan yang akan diikuti oleh seluruh siswa. Cukup mudah menemukan konflik dalam cerita sekolah asrama,termasuk mengenai ekskul. Misalnya, ketika seorang siswa beragama katolik ingin memasang lagu-lagu katolik di radio sekolah untuk menggantikan murottal yang sering diputar di pagi hari. Tapi cerita ini benar-benar masih sketsa kasar yang jarang saya buka.

Namun malam itu bukan bayangan-bayangan itu yang muncul tapi sama-sama cerita kabur yang muncul tiba-tiba. Saya tengah memikirkan sesuatu tentang Jogja dan kamera. Mungkin saya pernah melihatnya di video klip Citra Scholastika dan saya memang membayangkan seorang wanita yang berjalan-jalan di Jogja dengan membawa kamera, namun ditambah topi, tas ransel, dan jaket tanpa lengan. Mirip backpacker. Bukan, saya buka sedang membayangkan seorang backpacker wanita tapi seorang jurnalis wanita. Dia memegang recorder berbentuk remot. Tepatnya bukan memegang, dia menyambungkannya dengan sebuah kalung HP dan mengalungkan recorder itu di lehernya sendiri.

Bayangan saya langsung menyusun sebuah cerita mengenai seorang mahasiswa Fikom jurusan jurnal yang sudah tahun ke-7 berada di kampus. Itu artinya dia sudah harus lulus tahun itu juga jika tidak ingin didepak secara paksa. Saat menulis cerita ini saya belum mengklarifikasi kepada teman-teman saya di Jurnal, apakah ada yang mungkin bertahan sampai tahun ke-7.

Yang aneh dan entah kenapa muncul di benak saya adalah, dia mahasiswi Jurnal namun dia tidak pandai membuat sebuah tulisan yang sesuai dengan kaidah sebuah Jurnal. Dia selalu buntu menemukan kata yang pas untuk dibentuk menjadi kalimat yang sesuai dengan gagasannya, juga menghimpun kalimat-kalimat itu sehingga menjadi informasi yang utuh dan sistematis.

Ini seperti sebuah kutukan. Dia tidak pandai menulis.

Ayahnya seorang jurnalis yang mati saat bertugas dan dia menjadi mahasiswa Jurnal karena alasan itu. Klasik. Bukan karena dia suka menulis, suka dunia jurnal, atau mau bekerja menjadi jurnalis. Bahkan pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling membosankan baginya. Alasan dia menjadi mahasiswa Jurnal murni hanya karena dia merasa mungkin ayahnya mau dia menjadi jurnalis juga. Ibunya yang sangat tahu bagaimana kerasnya kehidupan seorang jurnalis mengijinkannya dengan terpaksa.

Saat Osjur (Ospek Jurusan), banyak sekali tugas liputan. Awalnya perkelompok dan dia selalu mengambil aman dengan memilih menjadi fotografer atau copy writer. Akhirnya saat tugas menjadi perindividu dia baru sadar bahwa dia tidak bisa menulis, hingga di malam terakhir Osjur tulisannya dinyatakan sebagai tulisan yang paling banyak di-edit dan menjadi tulisan pertama yang dibakar. Dia trauma dengan pelecehan tulisannya ketika malam terakhir Osjur dan menjadi sangat tidak suka menulis.

Salah seorang senior yang sudah menjadi alumni dan menyaksikan malam penutupan Osjur mengajaknya bicara. Awalnya hanya mengecek apakah dia menyimpan dendam dengan kejadian di malam terakhir Osjur, namun akhirnya dia menceritakan kesulitannya dalam menulis. Tanpa diduga, terjadi kesepakatan antara mereka berdua, si Senior akan membantunya dalam menulis namun dia harus bekerja paruh waktu di penerbitan tempat dia bekerja. Sang Senior tidak murni mengerjakan tugas tulisannya, namun membantu mengubah gagasannya menjadi sebuah tulisan. Awalnya Senior meminta dia mengutarakan apa yang ingin dia tulis secara langsung atau melalui telepon, namun terkadang mereka sulit bertemu dan akhirnya dia diminta untuk merekam gagasannya dalam sebuah recorder. Recorder berbentuk remote.

Sejak saat itu dia memiliki kebiasaan bercerita melalui recorder. Recorder-nya adalah diary-nya.

Sampai tiba tugas skripsi. Ada yang mengatakan bahwa masa skripsi adalah masa pembalasan dosa-dosa selama kuliah. Jika tidak serius semasa kuliah, maka skripsi pun akan menjadi sulit. Hal tersebut dirasakan olehnya. Saat mengajukan UP, dosennya menanyakan sesuatu yang tertulis dalam proposalnya. Sesuatu yang dia tidak mengerti dan telah ditambahkan oleh Senior. Akhirnya dia mengaku bahwa itu bukan hasil tulisannya meski ide keseluruhan memang dari dia. Hal tersebut membuat sang dosen khawatir dan menyarankan dia untuk mengerjakan skripsi itu sendiri.

Jika ada yang paling membosankan baginya, itu adalah mengikuti seminar penulisan. Dimana dia harus duduk mendengarkan seseorang mengajarkan teknik menulis. Dia bahkan masih tidak bisa menentukan dimana harus menyimpan titik atau koma. Semakin dia sering mengikuti seminar penulisan skripsi, semakin dia berpikir menulis itu menyusahkan.
Sahabatnya sudah bekerja di kampus itu sebagai staff Humas, dia sering mengunjunginya untuk bercerita.

“Nulis itu emang nyusahin. Sepertinya aku bakal dinobatkan menjadi mahasiswa terbanyak kena revisi sepanjang sejarah di Jurnal.”
“Urusan menulis bukan hanya milik mahasiswa Jurnal, semua mahasiswa tingkat akhir pasti menulis skripsi. Kalau mereka bisa, kenapa kamu tidak?”
Dia tidak tergugah dengan kalimat itu, pada kenyataannya selama ini dia memang tidak bisa.
“Aku memang bisa menulis. Tapi ga beda dengan tulisan seorang kuli pasar yang iseng menulis.”
“Butuh waktu untuk bisa terbiasa menulis dengan sistematis.”
“Apa 7 tahun ga cukup?”
Sahabatnya tidak tahu harus menjawab apa, sepenuhnya khawatir. “Sampai sekarang aku juga masih ga ngerti dengan sikap anti-write kamu. Ayahmu seorang jurnalis, bagaimana mungkin kamu tidak bisa ...”
“Ayahku udah ga ada. Menulis itu sama kayak penyakit hipertensi, diturunkan bukan karena genetik, tapi pola hidup. Dan aku ga hidup sama dia.”

Tadi adalah salah satu dialog dia bersama sahabatnya.

Skripsi yang dia ambil tentang psikologi komunikasi. Hal tersebut membuat dia membaca lebih banyak buku psikologi selain komunikasi. Sampai suatu saat dia meminta sahabatnya untuk mengenalkannya kepada ahli psikologi karena banyak hal yang ingin didiskusikan. Akhirnya dia diperkenalkan pada seorang dosen muda yang sudah magister namun belum menikah.

Akhirnya, setelah menjauh dari si Senior, dia menemukan kembali tempat berbagi, sang Dosen Muda. Jika tulisan ini terlihat akan menjadi kisah cinta segitiga dalam menulis skripsi. Jawabannya adalah, iya.
Mereka berdua sering beradu argumen mengenai teori psikologi hingga dia sempat berpikir seharusnya dulu masuk jurusan psikologi saja. Namun sang Dosen Muda membantunya membuka pikirannya, mengenai apa yang dia mau dan apa yang dia mampu. Hingga realitas yang dia hadapi. Sampai dia memberikan suatu kalimat, “Your passion is your power.”

Di tengah proses pembuatan skripsi, ibunya meninggal. Sahabatnya yang pertama mendapat kabar tersebut saat dititipi handphone miliknya. Sahabatnya menghubungi sang Senior untuk meminta pendapat apakah kabar ini harus disampaikan sekarang. Tanpa berpikir panjang mereka memutuskan untuk merahasiakan hal ini dulu karena khawatir skripsinya akan terbengkalai sementara dia harus lulus semester ini.

Dan cukup.

Saya tidak akan menceritakan lebih lanjut, selain karena saya sudah mengantuk, cerita ini masih panjang. Yang saya ingat adalah saat membayangkan ibunya meninggal, saya mendadak menangis. Melihat berita di TV ada yang meninggal saja bisa membuat saya menangis meski tidak kenal siapa yang meninggal, apalagi jika yang meninggal adalah bagian dari tokoh ciptaan saya.

Secara garis besar saya banyak mengesplor mengenai jurnal dan psikologi dalam cerita ini, unsur yang saya ambil adalah:
- Perjalanan mahasiswa Jurnal Fikom tahun ke-7 menyelesaikan skripsi.
- Pemahaman mengapa kita harus membuat sebuah skripsi sebagai syarat sarjana.
- Pemahaman mengapa menjadi sarjana menjadi begitu penting.
- Mengenai passion dalam hidup, keseimbangan antara kemauan dan kemampuan.
- Mengenai cara baik memberikan yang terbaik. (pelecehan tulisan saat Osjur, kesepakatan membantu tugas tulisan, dan merahasiakan kematian ibu karena skripsi)

Ada sebuah novel baru yang saya lihat ada di dalam tabel best seller berjudul Skrip-Shit dan tentu saja mengenai perjalanan mengenai kesulitan membuat skripsi, sebelumnya juga pernah muncul buku berjudul Skripsi Crispy, Drop Out dan beberapa dengan tema yang sama mengenai skripsi. Kenapa saya membuat cerita dengan latar belakang skripsi juga? Karena saya ingin menyampaikan gagasan saya mengenai pembuatan skripsi, profesi jurnalis, dan beberapa teori psikologi. Saya tidak terlalu pandai membuat artikel, maka saya menyampaikannya dengan bercerita. Cerita yang saya bayangkan saat elp berhenti lama di sebrang gang stasiun Cicalengka.

Stasiun Cicalengka. Seperti stasiun King Cross yang menjadi ilham bagi Rowlink menciptakan seorang Harry Potter dalam bayangannya. Yang saya bayangkan, di umur saya yang baru diberi angka 20, tidak se-amazing yang mampu dibayangkan Rowlink, namun mampu membayangkan sebuah cerita saja itu sudah lumayan. Saya bisa merasakan apa yang dirasakan Rowlink ketika berada dalam sebuah perjalanan yang dilakukan sendirian, membiarkan diri kita terjebak dalam satu-satunya rutinitas yang bisa dilakukan, yaitu tenggelam dalam pikiran sendiri. Terlebih saat kendaraan yang kita tumpangi berhenti lama, membuat pikiran kita berada dalam satu ruang dan satu waktu. Hanya kita dan pikiran kita.
Ketika ibu saya khawatir melihat perkembangan saya yang semakin kurus dengan kulit yang semakin gelap karena setiap hari melakukan perjalanan Jatinangor-Cicalengka, juga teman saya yang sering menyarankan agar saya menyewa kots karena sering terlambat kuliah dan pulang malam, justru saya menganggap ini sebagai perjalanan yang menyenangkan. Sebuah ruang dan waktu yang bisa menciptakan berbagai cerita dan itu saya bayar dengan satu jam di dalam perjalanan. Saya tidak merasa rugi.

Bagi seorang penikmat musik, buku, dan film seperti saya, tidak sulit memasuki dunia fiksi yang saya ciptakan sendiri. Dialog dan narasi dalam bayangan saya bertutur seperti tulisan dalam sebuah novel. Bayangan cerita itu seperti sebuah video, saya bisa mengulangnya, mempercepat, lalu berhenti pada detail-detail yang ingin saya tonton, kadang melompat ke bagian ending.

Ini semacam addict, saya tidak bisa berdiam diri tanpa membayangkan sebuah cerita, dialog, dan merasakan perasaan tokoh-tokoh yang saya ciptakan. Saya hanya harus mempertajam bayangan saya, membuat detail dan kerangka, lalu menjadikannya sebuah novel.

Memang bukan hari ini, tapi itu akan terjadi.

Selasa Malam, 8 Mei 2012
Kamar Mahasiswa, Cicalengka, Bandung Timur
*Untuk mahasiswa UGM yang berharap tidak ada revisi dalam skripsinya. Fighting!

1 comment:

  1. hai aku juga suka ngalamin yang ada di tulisan kamu ini :) dan kebetulan aku mahasiswa ugm hehe *ga nyambung
    salam kenal!

    ReplyDelete

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.