24 October 2011

,

Terkenang Mata Kuliah Immunology dan Hematology 2


Hari ini ada sosiometri. Kita diminta untuk menilai teman sendiri dalam SGD (Small Group Discussion). Penilaian tersebut meliputi keterampilan berkomunikasi, keaktifan, keterampilan mengumpulkan materi, tingkat pengetahuan, dan keahlian bekerja sama. Saya harus menilai kesepuluh teman saya yang lainnya dan saya memberi mereka nilai yang besar-besar, setidaknya ada yang saya kasih nilai 90.

Ternyata hasil sosiometri tersebut dikumpulkan ke ketua tutor masing-masing, berhubung saya menjadi ketua tutor jadi mereka pada ngumpulin ke saya. Dan apa coba? Mereka sangat pelit memberikan nilai, apalagi pada saya. Hal tersebut membuat saya jengkel sendiri dan yang tambah menjengkelkan adalah Wasilah (teman sekelompok SGD juga) tiba-tiba mendatangi saya dan merebut semua hasil sosiometri dengan paksa seolah dialah yang berhak mengumpulkan hasil sosiometri. Hei, siapa yang kalian pilih sebagai ketua tutor??!
Kejadian tersebut membuat saya berkaca diri, saya memberikan hasil sosiometri tanpa melawan. Mungkin Wasilah tidak percaya pada saya, mungkin dia takut saya merubah nilai-nilai soisometri, atau mungkin karena dia lelaki jadi dia merasa jadi ketua meskipun ketua yang sebenarnya adalah saya, atau mungkin-mungkin yang lainnya yang ada di benaknya itu.
Kejengkelan hari itu ternyata tidak selesai sampai disana. Hanna senyum-senyum menatap saya. Heran, perasaan dia ga pasang behel baru atau memindahkan lesung pipinya ke jidat. Tapi ternyata dia senyum bukan karena behel maupun lesung pipi. Jadi apa?
Hanna berbisik pada saya, “Ujian SOCA Immun kamu diremid, sama kaya saya.”
“Apa??” Saya berharap tadi saya tidak mendengar kata SOCA ... kamu ... remid ...
“Kamu ... SOCA ... diremid.” Ulang Hanna pelan tepat di telinga saya, masih dengan mesem-mesem. “Yes, berarti saya ada teman buat menghapal. Nanti Kamis nginep di kosan saya ya!”
Saya melongo, menatap Hanna, menatap Seno (KMK Immun dan Hemato), dan Pak Urip yang kebetulan ada di depan kelas menunggu kelas tenang untuk memberikan lecture. SOCA adalah ujian lisan yang baru pertama kalinya diikuti angkatan 2010, sama saja seperti ujian OSCE (praktikum), ada beberapa dosen (biasanya 10 sampai 12 dosen) yang akan menguji mahasiswa dan mahasiswa itu akan mendapatkan dosen pengujinya dengan cara dikocok. Saya beritahu ya, dosen penguji di Fkep itu bermacam-macam, dari yang baik banget sampai yang galak banget semua tersedia.
Oke, jadi saya ceritakan saja pengalaman pertama ujian SOCA saya.
-----
“Baca kasusnya.” Perintah Bu Bella.
Saya membaca kasus dengan tenang. Kasus yang sudah saya sangka dan soal yang sudah saya perkirakan karena saya sudah menghapalkan ini dengan Uphi sampai lancar. Maka saya mulai menguraikan data menyimpang dalam kasus, menjelaskan etiologi, patofisiologi, hingga diagnosa keperawatan. Setelah saya menjelaskan diagnosa pertama yaitu gangguan integritas kulit dengan syndrom face cooley, saya beralih ke diagnosa gangguan perfusi jaringan.
“Oke, gangguang perfusi jaringan. Apa intervensinya?” Bu Bella bertanya.
“Berikan transfusi darah, Bu.”
“Darah apa yang ditransfusi?”
“Hemoglobinnya.”
“Memang hemoglobin bisa ditransfusi?” Dia bertanya heran.
“Maksud saya untuk menambah Hb, Bu.” Saya jadi berasa oon sendiri dengan jawaban saya tadi.
 “Apa efek samping dari transfusi?”
Mampus, kan. Materi transfusi darah seharusnya sudah disampaikan Pak Urip, tapi karena beliau sibuk jadi kami belum menerima materi itu. Saya menarik nafas. Saya tidak tahu kalau akan ada bombardir pertanyaan seperti ini. Saya kira saya hanya akan berkicau sendirian tanpa dipotong dengan pertanyaan yang subahanallah sekali.
“Umh, efek sampingnya penumpukan Fe, Bu.”
“Kenapa Fe-nya bisa menumpuk?”
“Ya ... karena dalam Hb ada Fe. Sementara Fe dalam tubuh sudah ada dari Hb yang tersedia dalam darah di tubuh, sehingga transfusi yang membawa Hb juga membawa Fe tambahan ke dalam tubuh.”
“Lalu apa yang terjadi ketika Fe menumpuk?”
“Hepatomegali dan splenomegali, Bu. Nanti pembesaran hepar dan kelenjar limfa tersebut bisa menekan abdomen dan menyebabkan anoreksia juga menekan paru-paru dan menyebabkan hipoksia.”
“Apa intervensinya?”
“Diberikan suntikan desferal, Bu, untuk mengikat Fe dan nanti dikeluarkan melalui urin dan keringat.”
Nah, loh. Keren kan saya ngerti gituan. Tapi ternyata Bu Bella tetap tidak puas dengan jawaban saya.
“Selain itu apa efek samping dari transfusi?”
Saya berpikir sebentar. “Kulitnya bersisik kehitaman, Bu, karena penumpukan Fe.”
“Hanya itu?”
“Umh ... plebitis juga mungkin, Bu. Mungkin pengaruh dari selang transfusi.”
“Efek sampingnya hanya pada kulit saja?”
Saya kebingungan lagi. Apa lagi coba?
“Coba baca lagi kasusnya.” Perintahnya.
Saya membaca lagi kasusnya tapi tetap tidak menemukan apapun.
“Efek samping transfusi, Bu?”
“Ya.” Jawabnya singkat, sudah tidak sabar dengan kelemotan saya.
Saya tidak yakin yang dia katakan adalah mengenai efek samping transfusi. Saya bolak-balik menghafal etiologi, patofisiologi, diagnosa, dan intervensi, tapi akhirnya saya mentok di efek samping transfusi.
Saya kelamaan mikir. Bel berbunyi dan saya harus keluar.
“Sudah, selesai.” Ujarnya ketus.
“Nilai saya, Bu?”
“Tidak memuaskan. Hanya dua diagnosa yang kamu keluarkan.” Hanya itu yang dia katakan. Saya pasrah sekaligus bingung, apa tadi dia mengatakan diagnosa? Bukannya yang dia katakan mengenai efek samping?
Kawan, mungkin kamu bingung dengan cerita ujian SOCA saya. Tapi pendek kata saya miss dengan pertanyaan Bu Bella. Sama seperti ketika saya ujian OSCE oleh Pak Cecep, ketika beliau menanyakan mengapa saya meletakan alat EKG (pendeteksi aktivitas jantung) di dada tidak di kaki, saya kebingungan menjawabnya. Kalian tahu apa yang harus saya jawab?? Karena disanalah letak jantung. Geuleuh banget kan pertanyaannya. Begitu juga Bu Bella, dia menanyakan mengenai efek samping transfusi darah, saya kebingungan, padahal efek sampingnya adalah diagnosa yang nanti muncul dan sudah saya hapalkan sebelumnya. Oh, God, kenapa otak saya tiba-tiba lemot seperti ini?
-----
“Saya SOCA kena remid??” Saya bertanya histeris kepada Hanna.
Hanna mengangguk tenang. Dia dari awal memang tahu bahwa dirinya kena remid, tapi saya baru tahu sekarang kalau saya juga kena remid. Asli, pengen banting hape orang saat itu juga (?). Dan kata-kata pertama yang saya ucapkan sambil meringis adalah, “Mamaaaaaah .....”
Sialnya, sebelum lecture dimulai, Seno memutuskan untuk mengumumkan mahluk-mahluk remidial di depan Pak Urip, dosen wali saya. Dan apa coba? Saya melihat Pak Urip tersenyum ketika nama saya disebutkan. Oh, God! Perfect!
“Berapa orang tadi yang disebutkan kena remid?” Tanyaku pada Hanna.
“Banyak kok. Ada 20-an.”
“Dua puluh? Kamu bilang dua puluh? Jadi dari 140 mahasiswa, kita ada di bagian 20 mahasiswa terbodoh yang kena remid?”
“Jangan histeris gitu dong. Nabila juga kena remid.”
Nabila memang dikenal sebagai bagian dari akhwaters berotak encer. Teman-teman tutornya adalah penerima IPK cum laude di semester pertama. So??
“Yang kena remidial adalah yang ujiannya sama Bu Bella dan Bu Teti. Dia hanya memberikan nilai 40 atau 50, perfect!”
Kedua dosen itu memang dikenal dosen yang perfeksionis, bawel, dan sangat pelit nilai. Sialnya, Bu Bella adalah dosen tutor Hanna dan dia yang mengujiku ketika ujian SOCA dan Bu Teti adalah dosen tutor saya dan dialah yang menguji Hanna ketika SOCA. Dan Ria masih beruntung karena dosen pengujinya adalah Bu Nenden, alumni FIK 2006 yang sangat baik, tapi dia juga apes karena dapet dosen tutor Pak Urip yang tidak kalah perfeksionisnya.
Saya menghirup nafas menenangkan diri. Bagaimana nasib saya semester ini? Saat saya sedang semangat-semangatnya menaikkan IPK, saya dapat dosen tutor Bu Teti, dosen penguji Bu Bella, dan nanti saya akan berhadapan dengan Pak Urip untuk membahas IPK saya. Oh Tuhan, begitu banyak dosen yang baik hati disini kenapa mereka yang Engkau hadirkan di depan mata saya.
Hari itu saya benar-benar merasa kacau setengah mati.
Saya teringat perjuangan Teh Fitri (kakak ketiga saya) yang berjuang terengah-engah menyelesaikan skripsinya. Konon, Teh Fitri sedang apes karena dapet dosen pembimbing dan penguji yang sangat sulit. Lalu sekarang hal tersebut menimpa saya. Oh, God!
Sore itu, saat saya pulang bareng Ria, pikiran saya berkecamuk hebat.
“Iya (panggilan Ria) ... gimana nanti skripsi aku coba? Kalau aku dapet dosen penguji yang sulit gimana? Kalau pas sidang ada masalah gimana? Mati aja lah kita ....”
“Kamu masih mending, Rah. Susah juga ada ngertinya, lah Iya bener-bener ga ngerti lah kalau dapet dosen penguji yang sulit, ga bisa ngejelasin apa-apa lah Iya.”
“Tapi aku ga mau lulusnya susah, Iyaaaa .... belum nanti profesi. Kalau aku dapet dosen pengujinya Bu Wiwi gimana??”
Bu Wiwi adalah dosen pecinta bahasa sunda yang sangat terkenal bawel dan judes. Meskipun masih kalah judes bila dibandingkan dengan Bu HH.
“Ah, iya tuh.” Ria histeris. “Kalau Iya nanti dimarahin Bu Wiwi pake bahasa Sunda gimana?”
“Nah loh, Ya. Kalau kamu salah dia langsung ngomel, ‘maneh mah teu baleg’.”
“Nah, itu artinya apa?” Tanya Ria.
“Tenang aja, nanti  kan pasien kamu orang sunda. Tanya dia aja.”
“Jadi pasiennya disuruh jadi translator gitu?”
“Iya. Paling dia langsung minta pindah Rumah Sakit lihat kamu dimarahin Bu Wiwi hahahaa.”
“Hahahaa, iya iya. Nanti Iya mau nyuntik ga jadi malah jadi patung dulu gara-gara dimarahin Bu Wiwi.” Ujar Ria sambil memeragakan dia mau nyuntik orang tapi mendadak mematung karena kaget.
“Hihi, itu masih mending. Kalau dimarahin Pak Urip, teori semuanya keluar. Mau ngomong alergi aja harus muter dulu ke tipe-tipe hipersensitivitas.”
“Keburu pasiennya mati hahahaaa.”
“Hahahaa parah ya kita?”
“Iya, gila juga hahahaa.”
“Bego lagi hahahahaa.”
“Ceroboh pula!”
“Hahaha, bener tuh. Aku nyari henpon tahunya digeletakin di tanah hahaha.”
“Lha, Iya juga nyari kaca mata tahunya lagi dipake hahahaa. Gimana kalau kita wisuda ya?” Obrolan kita mulai meluas.
“Iya, kalau rok kita keinjek pas jalan gimana?” Aku berujar so serius. Tapi Ria malah kembali tertawa.
“Hahahaa, kalau tiba-tiba sepatu kita ilang sebelum berangkat wisuda gimana?”
“Kalau kita kentut pas lagi dipanggil gimana?” Saya ga kalah ngaco.
“Hahahaa kalau baju kita ketumpahan saos gimana?”
“Iya, saos bekas sarapan pagi.” Eror saya mulai mengembang.
“Sarapan pake bubur ayam, ya.”
“Iya, bubur ayam yang suka lewat depan rumah tiap pagi.”
“Hahahahaa.”
Kita berdua tertawa sepanjang jalan.
“Eh, emang sejak kapan ya bubur ayam pake saos?” Ria mengerutkan keningnya menatap saya. Saya ikut mengerutkan kening menatap awan yang ga bisa ikut-ikutan mengerutkan kening.
“Bubur ayam depan rumah kamu kali.”
“Mana ada. Di Padang bubur ayamnya ga pake saos.”
“Lha, di rumah saya malah ga ada tukang bubur ayam. Jadi tukang bubur yang mana yang dari kita omongin?”
Kita saling pandang dan masih so serius.
“Hahahaha. Kita kan ga pernah sarapan pake bubur ayam.”
“Iya, bukannya nasi kuning ya hahahahaa.”
Akhirnya sore itu hanya kami habiskan dengan tertawa, tertawa, dan tertawa. Saya beruntung memiliki sahabat seperti Ria yang bisa diajak gila dan Hanna yang bisa diajak berdiskusi. Meskipun kadang obrolan kita ga nyambung. Tapi tak apalah, memang motto persahabatan kita adalah nyambung ga nyambung yang penting makan!
Kita berpisah di depan kosan Hanna. Ria harus latihan musik jam 7 malam dan saya harus pulang ke Cicalengka karena Om Indra masih di Jogja, maka sore itu Ria menunggu sampai jam 7 malam di kosan Hanna dan saya langsung pulang.
Dalam perjalanan, dengan kesendirian dan kebiasaan merenung, saya kembali memikirkan semuanya dengan serius. Apa kata Mama kalau tahu saya kena remidial? Pantas saja A Heri (kakak kedua saya) sempat merasa stress ketika masuk ITB, konon dia frustasi karena kena remidial padahal di sekolahnya dia termasuk siswa pintar dan tidak pernah kena remid. Dan kini itu terjadi pada saya, tapi dia menyerah dan saya tidak, padahal dia laki-laki dan saya perempuan, padahal dia lulusan sekolah negeri dan saya swasta, padahal dia pernah bimbel dan saya tidak, padahal dia pernah hidup dengan ayah dan saya tidak.
Apa hubungannya dengan ayah?
Kawan, mungkin saya so tahu tapi saya berpikir keberadaan seorang ayah sangat berpengaruh pada kepribadian seorang anak. Saya tidak pernah dididik oleh ayah saya tapi saya menganggap banyak orang sebagai ayah saya, Wa Agus (ayah asuh) adalah ayah saya, Pak Djuhara (ayah tiri) adalah ayah saya, Pak Ayi (guru SD) adalah ayah saya, Pak Hamdan (guru Tsn) adalah ayah saya, Pak Diki (guru aliyah) adalah ayah saya, dan kini Pak Urip (dosen wali) adalah ayah saya. Sementara A heri mungkin merasa kehilangan ayah seutuhnya sehingga dia memiliki banyak kerisauan yang membuat dia keluar dari FMIPA ITB setelah 3 semester kuliah.
Saya sendiri tidak sepenuhnya menganggap orang-orang tersebut ayah saya. Tentu saja, karena tidak ada dari mereka yang membiayai hidup saya. Kawan, percayalah, saya tidak bodoh,  tapi dengan keuangan yang pas-pasan saya tidak pernah mendapatkan pendidikan yang layak atau yang setara dengan kemajuan pengetahuan. Saya pernah berniat ingin les bahasa inggris, tapi ga ada uang. Saya ingin bimbel sebelum UN tapi ga ada uang. Saya ingin sekolah ke SMA negeri, tapi sekolah di negeri kan mahal! Alhasil, saya sekolah di aliyah swasta dengan 16 murid dalam kelas bertiplek yang sudah bolong. Saya belajar meski teman-teman saya tidak memiliki semangat yang sama. Saya belajar meski kebanyakan guru bahkan malas mengajar. Saya belajar otodidak. Saya belajar sore-sore ke rumah guru fisika. Itulah saya Sarah Nurul Khotimah.
Pak Djuhara bilang, lulusnya saya ke Unpad adalah sebuah keajaiban. Kepala Madrasah bilang, lulusnya saya ke Unpad adalah sebuah terobosan di Aliyah tersebut. Saya tidak ingat, apakah saya memang meminta keajaiban dan terobosan ini? Ah, skenario-Mu Tuhan ...
Saya menangis di dalam elf menuju Cicalengka. Kasus remidial saya membuat saya down. Apa kata Mama? Saya yang sudah mempertahankan untuk tetap di Fkep akhirnya harus kena remidial. Apa artinya saya setiap hari bolak-balik Cicalengka-Jatinangor? Kawan, jarak Cicalengka-Jatinangor tuh ga deket, apalagi saya tinggal di ujung Cicalengka Timur (dekat Nagreg). Kalau saja ada uang, saya memilih untuk tinggal di kosan saja.
Uang? Saya tidak tahu bagaimana caranya mencari uang tapi saya benar-benar muak harus terus meminta uang sama Mama. Kadang dia harus mengorek-ngorek dompetnya lebih dalam lagi untuk mencari recehan yang bisa dia berikan sementara saya hanya mengadahkan tangan. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana caranya mencari uang bahkan saya sellau menghindari panitia dana dan usaha atau apapun yang berbau bisnis. Saya nol dalam urusan bisnis.
Beasiswa? Saya sudah mencobanya dan selalu gagal hingga saya sudah lelah untuk memperjuangkannya. Dulu beasiswa datang tanpa dicari, itu karena yang datang adalah beasiswa prestasi, dengan kondisi saya sekarang sudah dipastikan saya juga harus mencari beasiswa miskin. Tapi saya kurang miskin untuk mengajukan beasiswa. Jadi bagaimana? Tidak miskin dan tidak berprestasi. Jadi, saya melupakan beasiswa.
Hingga muncul ide untuk freelance, saya harus bekerja untuk mencari uang. Tapi ... itu berarti saya harus melepaskan kesibukan saya sebagai aktivis, saya tidak boleh ikut BEM lagi tahun depan.

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.