::: Senin, 23 November 2013 :::
Perjalanan ini dimulai ketika saya terkapar di kosan karena
uang yang sudah habis sejak tiga hari yang lalu. Karena jadwal komunitas yang
random tapi hectic, karena Kongres yang diperpanjang seminggu lagi, karena
input data cluster 30 yang tidak diketahui keberadaannya.
Diah mengirim SMS, bertanya apakah saya akan ikut ke rumah
A Heri di Cimahi atau tidak. Dengan sisa tenaga yang ada saya balas kalau
saya tidak akan ikut. Ketika itu saya sedang tidak bisa berpikir jernih. Perut
lapar, kepala pusing, mual. Membayangkan pergi ke Cimahi rasanya mengerikan.
Malam sebelumnya saya motor-motoran tanpa jaket karena nggak ada ongkos untuk
pulang ke Nangor, lalu mengikuti Kongres sampai jam 10 malam. Pagi-pagi saya
bongkar celengan dan pesen lumpia. Ya, dalam keadaan seperti itu masih
sempet-sempetnya saya membeli makanan bergizi kurang.
Dengan sisa tenaga yang ada saya tertidur dan sempat
membayangkan bagaimana kalau saya hipoglikemi lalu … collaps.
Lalu tiba-tiba Teh Fitri, kakakku yang tinggal di Bogor, menelepon
dan bilang kalau dia mau transfer uang besok. Alhamdulillahh.
Malamnya saya bongkar celengan lagi dan pesen mi goreng. Ya,
pilihan menu makan saya memang jelek.
::: Selasa, 24 November 2013 :::
Bersyukur sama badan sendiri. Mungkin karena sudah terbiasa
kelaparan ketika di asrama, jadi saya bisa bertahan hidup di Nangor tanpa uang.
Karena bantuan konsumsi Kongres dan celengan juga sih. Berasa pengen meluk
lambung sama usus dan berterima kasih sama mereka karena sudah mau sama-sama
hidup perih :D
Pagi itu, tanpa sarapan, saya pulang ke Cicalengka.
Kebetulan sudah nggak ada agenda Komunitas dan saya sudah nggak tega bongkar
celengan lagi. Dan, seakan dapat durian runtuh sepohon, karena sudah membantu
input data tesis punya A Indra akhirnya honor saya turun. Satu juta rupiah. Dan
itu adalah uang terbesar yang saya punya selama ini.
Hal pertama yang saya beli ketika saya punya uang adalah …
Cha Cha dan Indomie. Woo, koprol.
Sore itu Teh Teni, Roif, Miftah, dan Malik berangkat ke
Jakarta, ke rumah A Dani. Karena
mereka pergi, keadaan di Cicalengka jadi sepi. Saya bertanggung jawab mengasuh
Sahla, anak kakak sepupuku, Teh Erna.
Oke, begini. Cicalengka adalah tempat tinggal saya sejak
kecil sampai sekarang, bahkan saking saya sudah menjadi bagian dari keluarga
ini, jika nanti saya dikhitbah dan walimah nikah maka tempatnya sudah pasti di
Cicalengka (kalau nggak nyewa gedung itu juga). Disana ada pasangan Wa Euis dan
Wa Agus yang masing-masing saya panggil Mamah dan Bapak. Mereka punya 6 orang
anak.
1. Teh Ucu (perawat gigi/ibu
camat), menikah dengan A Dani yang sekarang menjadi Camat Cilandak. Anaknya
tiga, Faiq (2 SMP), Wafa (Paud), dan Dzikri (4 bulan)
2. Teh Dewi (ekonom), menikah
denga A Oden yang saya nggak ingat kerjanya apa. Anaknya dua, Vini (4 SD) dan
Fahri (TK)
3. Teh Teni (perawat), menikah
dengan A Esa yang sedang ditugaskan di Cirebon sebagai TNI-AD. Anaknya dua,
Roif (3 SD) dan Miftah (TK)
4. Teh Wardah (radiolog),
menikah dengan A Dudung yang bekerja sebagai pedagang. Anaknya dua, Malik (4
SD) dan Dila (2,5 tahun)
5. Teh Erna (bidan), menikah
dengan A Indra yang bekerja di Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung. Anaknya
satu, Sahla (2 tahun)
6. Fajri (mahasiswa
kedokteran). Teman saya ketika SD sampai pesantren. Jadi kalau ada status saya
yang menulis kata ‘Partner’ itu merujuk kepada sepupu saya ini. Gimana nggak
partner, dia di kedokteran, saya keperawatan.
Sahla termasuk anak yang nggak suka kalau di rumah sepi. Dia
anak yang tomboy karena sepupunya kebanyakan laki-laki, kecuali Dila. Jadi,
ketika Miftah, Roif, dan Malik, liburan ke Jakarta, Sahla banyak galaunya alias rewel. Dia
nggak suka suasana sepi.
Saya jadi kangen sama keluarga saya sendiri.
Seindividualisnya saya, nggak boleh sampai lost contact sama keluarga sendiri.
Sebagai salah satu tipe keluarga terpisah sejak bayi, kemungkinan lost contact
dan cuek satu sama lain itu sangat besar. Saya bisa menutup diri dari
teman-teman sekitar, tapi kalau sama keluarga juga menutup diri … ah, akhirnya saya
SMS Diah dan bilang kalau saya akan ikut ke Cimahi.
::: Rabu, 25 November 2013 :::
Pagi-pagi saya dijemput di Cicalengka. Di mobil ada A Acep,
Teh Nenden, Mamah, Diah, Alfi, Irfa, dan Zaini. Tapi Mamah tidak ikut ke
Cimahi, dia memilih istirahat di Cicalengka. Katanya sih Mamah lagi pusing.
Mungkin karena mengurus madrasah barunya. Dan … ini formasi keluarga saya. Yee,
prok, prok, prok. Naon, sih.
1. Teh Nenden (guru), menikah
dengan A Acep yang juga guru dan Ustad di desanya. Anaknya tiga, Alfi (5 SD),
Irfa (2 SD), Zaini (5 bulan).
2. A Heri (guru/wiraswasta),
menikah dengan Teh Dwi yang masih mengerjakan skripsi dengan dua anak, Afiya (2
tahun), Jaisyi (3 bulan).
3. Teh Fitri (bidan), menikah
dengan A Riki yang bekerja di apa namanya lupa pokoknya sebagai ahli IT.
Anaknya satu, Arina (1,5 tahun)
4. Teh Ami (wirausaha),
menikah dengan A Ahmad yang baru mendapatkan gelar Dokter. Anaknya satu, Isyfi (3,5
bulan)
5. Sayaaaa, yang di keluarga
dipanggil Nurul. Why? Karena nama Sarah baru terungkap ketika saya kelas 6 SD.
6. Diah (3 SMA). Lagi galau mau kuliah dimana.
Hari itu termasuk hari makanan terburuk buat saya. Karena
tanpa sarapan, saya diberi pop mie ketika di perjalanan. Sementara sesampainya
di rumah A Heri, kita beli mie ayam.
A Heri dan Teh Dwi adalah pasangan tarbiyah yang
di-taarufkan oleh murabbi. Sayangnya, sampai punya anak dua begini, dua-duanya
belum menyelesaikan sarjana. Meski begitu A Heri sudah hafiz dan punya
pekerjaan. Dan … meski jodoh memang Allah yang mempertemukan, saya tetap merasa
sebenarnya A Heri dan Teh Dwi terlalu nggak cocok karena saya jarang melihat
sisi romantisme dari mereka. Ada sih dulu, tapi dikit, atau mungkin karena masa
pengenalannya ketika sudah menikah jadi mereka masih malu-malu. Tapi kayaknya
nggak malu-malu juga sih, soalnya mereka sering berantem. Entahlah … yang jelas
saya nggak kepikiran buat pake jasa taaruf kalau calonnya nggak saya kenal.
Sorenya kita ke Jatos. A Heri, Teh Dwi, Afiya, dan Jaisyi
ikut juga ke Jatos. Teh Ami, A Ahmad, dan Isyfi nyusul ke Jatos dari Tanjung
Sari. Terus kita main-main di AmaZone. Foto-foto. Haha hihi. Pulang deh ke
Tanjung Sari, kontrakan A Ahmad.
Ceritanya A Ahmad sedang bekerja jadi Asisten Dosen di FK
Unpad. Jadi, tinggal di sekitar Jatinangor. Eh, kebetulan tuh ya ada temannya A
Ahmad yang mau over kontrakan secara gratis tapi di Tanjung Sari. Ambil deh.
Inilah kenapa saya katakana bahwa ini termasuk hari makanan
terburuk (nikmat juga sih). Karena setelah sarapan dengan Pop Mie, makan siang
dengan mie ayam, lalu di rumah A Ahmad pun kita dikasih bakso. Untungnya itu
adalah bakso Ojo Dumeh yang segede mangkok itu. Jadi di dalamnya ada
daging-dagingan, ati ampela, dan segala macamnya.
The quality time, saat semua anak, menantu, dan cucu
Mamah kumpul hari itu. Kecuali Teh Fitri, A Riki, dan Arina yang sedang di Bogor. Menjelang sore, semua
bubar, kecuali saya dan Diah. Sejak hari itu saya resmi dilantik sebagai
penanggung jawab liburan Diah. Dan liburan itu dimulai di Tanjung Sari. Setelah yang lain pulang, saya langsung berpikir ... ah, selanjutnya kita harus ke Bogor. Ke rumah Teh Fitri.
::: Kamis, 26 November 2013 :::
Siapapun yang misalnya menanyakan tentang saya kepada A
Ahmad, meskipun dia kakak ipar baru juga setahun tapi dia sudah tahu keburukan saya
bahwa saya bisa tidur siang berjam-jam (bisa sampai 4 jam), saya suka
teriak-teriak dan nyanyi di kamar mandi, saya nggak suka ngambil makan sendiri
tapi nyemil di piring Diah, saya suka mie dan makanan kurang gizi lainnya, dan
saya centil. Ya, keluarga saya mengenal saya itu cerewet dan centil. Cuma di
rumah doang.
Hari itu saya dan Diah feel like homes gitu lah,
makan es krim, ngerujak, bikin puding, makan pop mie, nonton Catching Fire,
nonton Running Man, nonton Supernova, sementara Teh Ami sibuk dengan Isyfi dan
ODOJ-nya. Hhe.
::: Jumat, 27 November 2013 :::
Pagi-pagi saya mengajak Diah ke Kiaracondong karena ada
jadwal penyuluhan Penyakit Berbasis Lingkungan. Ng ~, tidak ada yang seru untuk
diceritakan kecuali kalau saya bikin tulisan khusus tentang mata kuliah Komunitas ini. Setiap perjalanan menyisakan cerita yang panjang sebenarnya.
Setelah dari Kircon, kita ke Jatinangor. Diah lagi sakit
perut, geleng-geleng ketika ditawari makan. Sorenya saya nengok Teh Mutya yang
baru terkena musibah dan mengambil data punya A Indra yang dititipkan Bella di
Teh Mutya. Sepulang dari kosan Teh Mutya kita pesen makan ke Hipotesa. Nonton
youtube. Terus … gitu-gitu aja.
::: Sabtu, 28 November 2013 :::
Kita sarapan nasi soto ayam di gerbang lama. Terus beli DVD
di Si Maghrib, In Time yang filmnya sudah bikin saya penasaran karena Tatanan
Dunia Baru banget, satu DVD yang pemerannya Selena Gomez dan Demi Lovato ketika
masih jadi artis Disney, dan satu lagi filmnya Nickhun.
Menjelang siang kita makan ramen di Udin Ramen. Lalu
tiba-tiba Diah dapat SMS dari Veni kalau dia diminta ke Buah Batu oleh A
Tresna. Mereka adalah keluarga tiri saya. Jadi, ketika Mamah menikah dengan Pak
Djuhara, ayahku yang meninggal tahun kemarin, Bapak sudah punya dua anak:
- A Tresna (insinyur), menikah dengan Teh Ning pengusaha ‘Oyen’ di Bandung. Karena A Tresna bekerja di Garuda Indonesia, mereka tinggal di Tangerang. Anaknya dua, Dinar (24 atau 25 tahun ya saya lupa) kerja di Add-In, dan Friska (mahasiswa 2010 IT Telkom).
- Teh Reni (Guru), menikah dengan A Apep yang juga bekerja di Garuda Indonesia. Anaknya dua, Veni (22 tahun) baru lulus dari UIN Bandung, dan Veri (19 tahun).
Ketika Friska lulus di IT Telkom, A Tresna membeli rumah di
Buah Batu untuk Friska. Bahkan sekarang Friska sudah dibelikan mobil. Sebagai
adik bungsunya, Diah juga sebenarnya dimanja. Itulah kenapa uang di dompet Diah
selalu lebih banyak dari saya. Hanya saja Diah lebih dekat dengan
kakak-kakaknya dari ibunya daripada dari ayahnya. Mungkin itulah kenapa A
Tresna nggak terlalu jor-joran ke Diah. Eh, sebenarnya jor-joran juga sih
ngasihnya. Cuma … gitu deh.
Diah sempet menggerutu ketika di-SMS Veni yang menyuruhnya
ke Buah Batu. “Harus banget ya kesana …” tapi nggak dibilangin ke orangnya.
Mana berani. Karena hormat sama A Tresna, akhirnya kita berangkat ke Buah Batu
dan … berkumpul dengan keluarga A Tresna dan Teh Reni adalah momen paling awkward
dalam hidup saya.
::: Minggu, 29 November 2013 :::
Hari itu saya ada pembukaan Posbindu di Kircon. Diah nggak
mau ikut tapi saya jadi bingung nanti pulangnya kemana karena … sebenarnya
bagian ini agak susah diceritakan, jadi rencana awalnya adalah hari Minggu kita
akan ke Cicalengka dan hari Senin kita akan ke Bogor, rumah Teh Fitri. Tapi
karena tiba-tiba kita ada di Buah Batu, rencana baru sulit untuk disusun. Saya sempat
berpikir untuk menyerah menyusun agenda liburan dengan Diah dan meninggalkannya
di Buah Batu saja.
Sampai akhirnya saya tahu bahwa Teh Ucu dan A Dani, yang rumahnya di Bogor, sedang
ada di Bandung. Setelah selesai pembukaan Posbindu, saya kembali lagi ke Buah
Batu. Menawarkan kepada Diah, apa masih mau ke Bogor atau tidak. Kalau mau,
kita bisa nebeng ke mobil Teh Ucu.
Setelah menunggu A Tresna dan Teh Ning ada di rumah, kita
pamit untuk pergi ke Bogor. Dengan perasaan nggak enak karena kita baru semalam
menginap, tapi … asertif memang perlu. Akhirnya kita janjian dengan Teh Ucu di
gerbang tol Buah Batu. Berangkat dulu ke Cicalengka untuk menjemput Wa Euis dan
Mamah yang akan ikut ke Bogor. Lalu karena A Dania ada agenda entah apa, kita
menginap dulu semalam di rumah dinas A Dani di Cilandak.
::: Senin, 30 November 2013 :::
Kita pernah memakai baju merah putih di tempat yang sama. Seragam pesantren
yang sama. Dan sama-sama merasakan baju putih-abu sebelum akhirnya kuliah.
Sekarang kita sama-sama sedang disibukkan dengan baju putih-putih. Saya di
RSHS, Fajri di RS Fatmawati. Fight, Partner. Life is simple, fight!
Pagi itu saya agak kaget karena saya sedang tiduran di kursi
tamu, tiba-tiba suara Fajri muncul dan mengobrol dengan yang lain. Dia duduk
tepat di dekat kepala saya dan ketika dia tahu kalau saya ikut ke Cilandak, dia
malah nanya. “Nurul ikut kesini? Mana Nurul?” Spontan saya mengangkat wajah
yang masih kusut karena bangun tidur dan dengan entengnya dia menoyor kepala
saya sambil ketawa.
Jam setengah tujuh Fajri berangkat lagi karena harus ke RS
Fatmawati. Sementara kita bersiap berangkat ke Bogor dan … ada kabar kalau Bi
Neng sedang ada di bogor. Bi Neng adalah adiknya Mamah dengan urutan seperti
ini
- Wa Euis (guru) menikah dengan Wa Agus yang juga guru dan tinggal di Cicalengka
- Wa Acep (bekerja di UPI sebagai pegawai) menikah dengan Wa Ai (guru) tinggal di Cikadut
- Ibuku :D (guru/janda tangguh). Tinggal di Nagreg dan sedang mengelola sebuah madrasah baru.
- Bi Otoh (bidan) menikah dengan Mang Endang yang kerja di PLN entah sebagai apa dan tinggal di Kayumanis, Bogor.
- Bi Neng (ustazah) menikah dengan Mang Agus yang bekerja sebagai Kepsek MAN 1 Sukabumi dan tinggal di Sukabumi.
Mang Agus itu setipe dengan A Dani. Sibuk bener dah. Yang
satu akademisi, yang satu politikus. Jadi ceritanya hari itu Mang Agus ada
kegiatan se-Jabar dan tempatnya di Bogor. Terus Bi Neng dan anaknya, Teh Syifa
dan Alfida, mau main tapi nggak ada sopir kalau Mang Agus sudah masuk ke
ruangan acara. Ditelfonlah A Riki, suaminya Teh Fitri, supaya jadi sopir selama
Mang Agus sedang mengikuti acara.
Nenek-nenek (ibuku dan Wa Euis) yang mengetahui hal itu jadi
rempong janjian dengan Bi Neng. You know, terkadang ibu-ibu itu masih
merasa diri mereka remaja yang rindu bergosip bersama gitu. Akhirnya kubu
Cilandak dan kubu Sukabumi ini pun janjian di Kebun Raya Bogor. Juga datang Teh
Dewi dan Vini yang tinggal di Semplak, Bogor, menaiki motor ke Kebun Raya.
Setidaknya saya jadi membuat Diah tahu Kebun Raya Bogor :D
Pulangnya dari Kebun Raya Bogor, kita ke Cilebut, rumah asli
Teh Ucu. Terus kita ke Kayumanis, rumah Bi Otoh. Sementara duo nenek ditinggal
di Kayumanis bersama adik mereka, Bi Otoh (kayak kubu nenek-nenek
kangen-kangenan gitu), saya, Diah, dan Vini pulang ke rumah Teh Fitri di
Laladon. Kita sempat tertawa membayangkan kalau kita sudah jadi nenek-nenek dan
masih rempong. Lalu anak-anak kita melihat aneh kelakuan kita seperti sekarang
kita geleng-geleng kepala ngelihat orang tua kita. Ckckck.
Di Laladon kita makan sate … terus bobo.
::: Selasa, 31 November 2013 :::
Pagi-pagi Teh Dewi, Wa Euis, dan Mamah, datang ke Laladon.
Ceritanya Teh Ucu mau ngajak Teh Dewi jalan-jalan ke Chocolava. Sementara Wa
Euis dan Mamah tiba-tiba ditelfon Bi Otoh dan diajak untuk pergi ke Bekasi, eh
Jakarta tapi deket Bekasi kalau nggak salah, untuk menengok Delisa, cucunya Bi
Otoh. Insting nenek gitu deh.
Mamah dan Wa Euis pun pergi bareng Bi Otoh, sementara kita janjian dengan Teh Ucu dan Wafa pergi jalan-jalan dan makan-makan ke
Chocolava, Makaroni Panggang, dan Sate Kelinci. Lumayan … kuliner. Agak perbaikan gizi gitu deh.
Satu yang bikin saya agak mikir. Sejak saya sampai di
Cilandak, saya nggak pernah ketemu A Dani lagi. Segitu sibuknya ya jadi anak
buah Jokowi. Pengennya sih suami saya nggak sesibuk itu nanti. Make our world
simple aja lah.
::: Rabu, 1 Januari 2013 :::
Waktunya pulang ke Bandung … kita pulang nebeng mobil Teh
Dewi dan A Oden yang akan ke Bandung menjemput Fahri. Kita juga janjian dulu
dengan duo nenek di Klender. Sementara mereka pulang ke Cicalengka, kita berdua
kembali ke Jatinangor. Tempat dimana awalnya saya terkapar kelaparan dan
akhirnya kembali lagi ke kosan ini dengan segar.
Yang membuat saya puas adalah selama satu minggu perjalanan
ini saya dan adik saya bisa bertemu dengan semua kakak-kakak kandung maupun
kakak-kakak tiri. Bisa bertemu dengan semua Bibi dan Uwa, kecuali … Wa Acep.
Hari ini saya mendengar kabar bahwa Wa Acep akan dioperasi hari Jumat. Ketika
mendengar kabar itu tiba-tiba saya menangis dan ini pasti hal tercengeng yang
pernah orang lihat.
Dan … sore harinya saya langsung mengerjakan tugas Komunitas
yang terbengkalai. Oh God, seolah dilempar oleh ombak paling ganas ke daratan
realita bernama ‘kuliah’.
0 Comments:
Post a Comment
Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.