01 January 2014

,

Satu Minggu Untuk Keluarga

::: Senin, 23 November 2013 :::
Perjalanan ini dimulai ketika saya terkapar di kosan karena uang yang sudah habis sejak tiga hari yang lalu. Karena jadwal komunitas yang random tapi hectic, karena Kongres yang diperpanjang seminggu lagi, karena input data cluster 30 yang tidak diketahui keberadaannya.

Diah mengirim SMS, bertanya apakah saya akan ikut ke rumah A Heri di Cimahi atau tidak. Dengan sisa tenaga yang ada saya balas kalau saya tidak akan ikut. Ketika itu saya sedang tidak bisa berpikir jernih. Perut lapar, kepala pusing, mual. Membayangkan pergi ke Cimahi rasanya mengerikan. Malam sebelumnya saya motor-motoran tanpa jaket karena nggak ada ongkos untuk pulang ke Nangor, lalu mengikuti Kongres sampai jam 10 malam. Pagi-pagi saya bongkar celengan dan pesen lumpia. Ya, dalam keadaan seperti itu masih sempet-sempetnya saya membeli makanan bergizi kurang.

Dengan sisa tenaga yang ada saya tertidur dan sempat membayangkan bagaimana kalau saya hipoglikemi lalu … collaps.

Lalu tiba-tiba Teh Fitri, kakakku yang tinggal di Bogor, menelepon dan bilang kalau dia mau transfer uang besok. Alhamdulillahh.

Malamnya saya bongkar celengan lagi dan pesen mi goreng. Ya, pilihan menu makan saya memang jelek.

::: Selasa, 24 November 2013 :::
Bersyukur sama badan sendiri. Mungkin karena sudah terbiasa kelaparan ketika di asrama, jadi saya bisa bertahan hidup di Nangor tanpa uang. Karena bantuan konsumsi Kongres dan celengan juga sih. Berasa pengen meluk lambung sama usus dan berterima kasih sama mereka karena sudah mau sama-sama hidup perih :D

Pagi itu, tanpa sarapan, saya pulang ke Cicalengka. Kebetulan sudah nggak ada agenda Komunitas dan saya sudah nggak tega bongkar celengan lagi. Dan, seakan dapat durian runtuh sepohon, karena sudah membantu input data tesis punya A Indra akhirnya honor saya turun. Satu juta rupiah. Dan itu adalah uang terbesar yang saya punya selama ini.

Hal pertama yang saya beli ketika saya punya uang adalah … Cha Cha dan Indomie. Woo, koprol.

Sore itu Teh Teni, Roif, Miftah, dan Malik berangkat ke Jakarta, ke rumah A Dani. Karena mereka pergi, keadaan di Cicalengka jadi sepi. Saya bertanggung jawab mengasuh Sahla, anak kakak sepupuku, Teh Erna.

Oke, begini. Cicalengka adalah tempat tinggal saya sejak kecil sampai sekarang, bahkan saking saya sudah menjadi bagian dari keluarga ini, jika nanti saya dikhitbah dan walimah nikah maka tempatnya sudah pasti di Cicalengka (kalau nggak nyewa gedung itu juga). Disana ada pasangan Wa Euis dan Wa Agus yang masing-masing saya panggil Mamah dan Bapak. Mereka punya 6 orang anak.

1. Teh Ucu (perawat gigi/ibu camat), menikah dengan A Dani yang sekarang menjadi Camat Cilandak. Anaknya tiga, Faiq (2 SMP), Wafa (Paud), dan Dzikri (4 bulan)
2.  Teh Dewi (ekonom), menikah denga A Oden yang saya nggak ingat kerjanya apa. Anaknya dua, Vini (4 SD) dan Fahri (TK)
3. Teh Teni (perawat), menikah dengan A Esa yang sedang ditugaskan di Cirebon sebagai TNI-AD. Anaknya dua, Roif (3 SD) dan Miftah (TK)
4. Teh Wardah (radiolog), menikah dengan A Dudung yang bekerja sebagai pedagang. Anaknya dua, Malik (4 SD) dan Dila (2,5 tahun)
5. Teh Erna (bidan), menikah dengan A Indra yang bekerja di Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung. Anaknya satu, Sahla (2 tahun)
6. Fajri (mahasiswa kedokteran). Teman saya ketika SD sampai pesantren. Jadi kalau ada status saya yang menulis kata ‘Partner’ itu merujuk kepada sepupu saya ini. Gimana nggak partner, dia di kedokteran, saya keperawatan.

Sahla termasuk anak yang nggak suka kalau di rumah sepi. Dia anak yang tomboy karena sepupunya kebanyakan laki-laki, kecuali Dila. Jadi, ketika Miftah, Roif, dan Malik, liburan ke Jakarta, Sahla banyak galaunya alias rewel. Dia nggak suka suasana sepi.

Saya jadi kangen sama keluarga saya sendiri. Seindividualisnya saya, nggak boleh sampai lost contact sama keluarga sendiri. Sebagai salah satu tipe keluarga terpisah sejak bayi, kemungkinan lost contact dan cuek satu sama lain itu sangat besar. Saya bisa menutup diri dari teman-teman sekitar, tapi kalau sama keluarga juga menutup diri … ah, akhirnya saya SMS Diah dan bilang kalau saya akan ikut ke Cimahi.

::: Rabu, 25 November 2013 :::
Pagi-pagi saya dijemput di Cicalengka. Di mobil ada A Acep, Teh Nenden, Mamah, Diah, Alfi, Irfa, dan Zaini. Tapi Mamah tidak ikut ke Cimahi, dia memilih istirahat di Cicalengka. Katanya sih Mamah lagi pusing. Mungkin karena mengurus madrasah barunya. Dan … ini formasi keluarga saya. Yee, prok, prok, prok. Naon, sih.

1. Teh Nenden (guru), menikah dengan A Acep yang juga guru dan Ustad di desanya. Anaknya tiga, Alfi (5 SD), Irfa (2 SD), Zaini (5 bulan).
2. A Heri (guru/wiraswasta), menikah dengan Teh Dwi yang masih mengerjakan skripsi dengan dua anak, Afiya (2 tahun), Jaisyi (3 bulan).
3. Teh Fitri (bidan), menikah dengan A Riki yang bekerja di apa namanya lupa pokoknya sebagai ahli IT. Anaknya satu, Arina (1,5 tahun)
4. Teh Ami (wirausaha), menikah dengan A Ahmad yang baru mendapatkan gelar Dokter. Anaknya satu, Isyfi (3,5 bulan)
5. Sayaaaa, yang di keluarga dipanggil Nurul. Why? Karena nama Sarah baru terungkap ketika saya kelas 6 SD.
6. Diah (3 SMA). Lagi galau mau kuliah dimana.

Hari itu termasuk hari makanan terburuk buat saya. Karena tanpa sarapan, saya diberi pop mie ketika di perjalanan. Sementara sesampainya di rumah A Heri, kita beli mie ayam.

A Heri dan Teh Dwi adalah pasangan tarbiyah yang di-taarufkan oleh murabbi. Sayangnya, sampai punya anak dua begini, dua-duanya belum menyelesaikan sarjana. Meski begitu A Heri sudah hafiz dan punya pekerjaan. Dan … meski jodoh memang Allah yang mempertemukan, saya tetap merasa sebenarnya A Heri dan Teh Dwi terlalu nggak cocok karena saya jarang melihat sisi romantisme dari mereka. Ada sih dulu, tapi dikit, atau mungkin karena masa pengenalannya ketika sudah menikah jadi mereka masih malu-malu. Tapi kayaknya nggak malu-malu juga sih, soalnya mereka sering berantem. Entahlah … yang jelas saya nggak kepikiran buat pake jasa taaruf kalau calonnya nggak saya kenal.

Sorenya kita ke Jatos. A Heri, Teh Dwi, Afiya, dan Jaisyi ikut juga ke Jatos. Teh Ami, A Ahmad, dan Isyfi nyusul ke Jatos dari Tanjung Sari. Terus kita main-main di AmaZone. Foto-foto. Haha hihi. Pulang deh ke Tanjung Sari, kontrakan A Ahmad.

Ceritanya A Ahmad sedang bekerja jadi Asisten Dosen di FK Unpad. Jadi, tinggal di sekitar Jatinangor. Eh, kebetulan tuh ya ada temannya A Ahmad yang mau over kontrakan secara gratis tapi di Tanjung Sari. Ambil deh.

Inilah kenapa saya katakana bahwa ini termasuk hari makanan terburuk (nikmat juga sih). Karena setelah sarapan dengan Pop Mie, makan siang dengan mie ayam, lalu di rumah A Ahmad pun kita dikasih bakso. Untungnya itu adalah bakso Ojo Dumeh yang segede mangkok itu. Jadi di dalamnya ada daging-dagingan, ati ampela, dan segala macamnya.



The quality time, saat semua anak, menantu, dan cucu Mamah kumpul hari itu. Kecuali Teh Fitri, A Riki, dan Arina yang sedang di Bogor. Menjelang sore, semua bubar, kecuali saya dan Diah. Sejak hari itu saya resmi dilantik sebagai penanggung jawab liburan Diah. Dan liburan itu dimulai di Tanjung Sari. Setelah yang lain pulang, saya langsung berpikir ... ah, selanjutnya kita harus ke Bogor. Ke rumah Teh Fitri.

::: Kamis, 26 November 2013 :::
Siapapun yang misalnya menanyakan tentang saya kepada A Ahmad, meskipun dia kakak ipar baru juga setahun tapi dia sudah tahu keburukan saya bahwa saya bisa tidur siang berjam-jam (bisa sampai 4 jam), saya suka teriak-teriak dan nyanyi di kamar mandi, saya nggak suka ngambil makan sendiri tapi nyemil di piring Diah, saya suka mie dan makanan kurang gizi lainnya, dan saya centil. Ya, keluarga saya mengenal saya itu cerewet dan centil. Cuma di rumah doang.

Hari itu saya dan Diah feel like homes gitu lah, makan es krim, ngerujak, bikin puding, makan pop mie, nonton Catching Fire, nonton Running Man, nonton Supernova, sementara Teh Ami sibuk dengan Isyfi dan ODOJ-nya. Hhe.

::: Jumat, 27 November 2013 :::
Pagi-pagi saya mengajak Diah ke Kiaracondong karena ada jadwal penyuluhan Penyakit Berbasis Lingkungan. Ng ~, tidak ada yang seru untuk diceritakan kecuali kalau saya bikin tulisan khusus tentang mata kuliah Komunitas ini. Setiap perjalanan menyisakan cerita yang panjang sebenarnya.

Setelah dari Kircon, kita ke Jatinangor. Diah lagi sakit perut, geleng-geleng ketika ditawari makan. Sorenya saya nengok Teh Mutya yang baru terkena musibah dan mengambil data punya A Indra yang dititipkan Bella di Teh Mutya. Sepulang dari kosan Teh Mutya kita pesen makan ke Hipotesa. Nonton youtube. Terus … gitu-gitu aja.

::: Sabtu, 28 November 2013 :::
Kita sarapan nasi soto ayam di gerbang lama. Terus beli DVD di Si Maghrib, In Time yang filmnya sudah bikin saya penasaran karena Tatanan Dunia Baru banget, satu DVD yang pemerannya Selena Gomez dan Demi Lovato ketika masih jadi artis Disney, dan satu lagi filmnya Nickhun.

Menjelang siang kita makan ramen di Udin Ramen. Lalu tiba-tiba Diah dapat SMS dari Veni kalau dia diminta ke Buah Batu oleh A Tresna. Mereka adalah keluarga tiri saya. Jadi, ketika Mamah menikah dengan Pak Djuhara, ayahku yang meninggal tahun kemarin, Bapak sudah punya dua anak:


  1.  A Tresna (insinyur), menikah dengan Teh Ning pengusaha ‘Oyen’ di Bandung. Karena A Tresna bekerja di Garuda Indonesia, mereka tinggal di Tangerang. Anaknya dua, Dinar (24 atau 25 tahun ya saya lupa) kerja di Add-In, dan Friska (mahasiswa 2010 IT Telkom).
  2. Teh Reni (Guru), menikah dengan A Apep yang juga bekerja di Garuda Indonesia. Anaknya dua, Veni (22 tahun) baru lulus dari UIN Bandung, dan Veri (19 tahun).

Ketika Friska lulus di IT Telkom, A Tresna membeli rumah di Buah Batu untuk Friska. Bahkan sekarang Friska sudah dibelikan mobil. Sebagai adik bungsunya, Diah juga sebenarnya dimanja. Itulah kenapa uang di dompet Diah selalu lebih banyak dari saya. Hanya saja Diah lebih dekat dengan kakak-kakaknya dari ibunya daripada dari ayahnya. Mungkin itulah kenapa A Tresna nggak terlalu jor-joran ke Diah. Eh, sebenarnya jor-joran juga sih ngasihnya. Cuma … gitu deh.

Diah sempet menggerutu ketika di-SMS Veni yang menyuruhnya ke Buah Batu. “Harus banget ya kesana …” tapi nggak dibilangin ke orangnya. Mana berani. Karena hormat sama A Tresna, akhirnya kita berangkat ke Buah Batu dan … berkumpul dengan keluarga A Tresna dan Teh Reni adalah momen paling awkward dalam hidup saya.

::: Minggu, 29 November 2013 :::
Hari itu saya ada pembukaan Posbindu di Kircon. Diah nggak mau ikut tapi saya jadi bingung nanti pulangnya kemana karena … sebenarnya bagian ini agak susah diceritakan, jadi rencana awalnya adalah hari Minggu kita akan ke Cicalengka dan hari Senin kita akan ke Bogor, rumah Teh Fitri. Tapi karena tiba-tiba kita ada di Buah Batu, rencana baru sulit untuk disusun. Saya sempat berpikir untuk menyerah menyusun agenda liburan dengan Diah dan meninggalkannya di Buah Batu saja.

Sampai akhirnya saya tahu bahwa Teh Ucu dan A Dani, yang rumahnya di Bogor, sedang ada di Bandung. Setelah selesai pembukaan Posbindu, saya kembali lagi ke Buah Batu. Menawarkan kepada Diah, apa masih mau ke Bogor atau tidak. Kalau mau, kita bisa nebeng ke mobil Teh Ucu.

Setelah menunggu A Tresna dan Teh Ning ada di rumah, kita pamit untuk pergi ke Bogor. Dengan perasaan nggak enak karena kita baru semalam menginap, tapi … asertif memang perlu. Akhirnya kita janjian dengan Teh Ucu di gerbang tol Buah Batu. Berangkat dulu ke Cicalengka untuk menjemput Wa Euis dan Mamah yang akan ikut ke Bogor. Lalu karena A Dania ada agenda entah apa, kita menginap dulu semalam di rumah dinas A Dani di Cilandak.

::: Senin, 30 November 2013 :::
Kita pernah memakai baju merah putih di tempat yang sama. Seragam pesantren yang sama. Dan sama-sama merasakan baju putih-abu sebelum akhirnya kuliah. Sekarang kita sama-sama sedang disibukkan dengan baju putih-putih. Saya di RSHS, Fajri di RS Fatmawati. Fight, Partner. Life is simple, fight!

Pagi itu saya agak kaget karena saya sedang tiduran di kursi tamu, tiba-tiba suara Fajri muncul dan mengobrol dengan yang lain. Dia duduk tepat di dekat kepala saya dan ketika dia tahu kalau saya ikut ke Cilandak, dia malah nanya. “Nurul ikut kesini? Mana Nurul?” Spontan saya mengangkat wajah yang masih kusut karena bangun tidur dan dengan entengnya dia menoyor kepala saya sambil ketawa.

Jam setengah tujuh Fajri berangkat lagi karena harus ke RS Fatmawati. Sementara kita bersiap berangkat ke Bogor dan … ada kabar kalau Bi Neng sedang ada di bogor. Bi Neng adalah adiknya Mamah dengan urutan seperti ini


  1. Wa Euis (guru) menikah dengan Wa Agus yang juga guru dan tinggal di Cicalengka
  2. Wa Acep (bekerja di UPI sebagai pegawai) menikah dengan Wa Ai (guru) tinggal di Cikadut
  3. Ibuku :D (guru/janda tangguh). Tinggal di Nagreg dan sedang mengelola sebuah madrasah baru.
  4. Bi Otoh (bidan) menikah dengan Mang Endang yang kerja di PLN entah sebagai apa dan tinggal di Kayumanis, Bogor.
  5. Bi Neng (ustazah) menikah dengan Mang Agus yang bekerja sebagai Kepsek MAN 1 Sukabumi dan tinggal di Sukabumi.

Mang Agus itu setipe dengan A Dani. Sibuk bener dah. Yang satu akademisi, yang satu politikus. Jadi ceritanya hari itu Mang Agus ada kegiatan se-Jabar dan tempatnya di Bogor. Terus Bi Neng dan anaknya, Teh Syifa dan Alfida, mau main tapi nggak ada sopir kalau Mang Agus sudah masuk ke ruangan acara. Ditelfonlah A Riki, suaminya Teh Fitri, supaya jadi sopir selama Mang Agus sedang mengikuti acara.
Nenek-nenek (ibuku dan Wa Euis) yang mengetahui hal itu jadi rempong janjian dengan Bi Neng. You know, terkadang ibu-ibu itu masih merasa diri mereka remaja yang rindu bergosip bersama gitu. Akhirnya kubu Cilandak dan kubu Sukabumi ini pun janjian di Kebun Raya Bogor. Juga datang Teh Dewi dan Vini yang tinggal di Semplak, Bogor, menaiki motor ke Kebun Raya.

Setidaknya saya jadi membuat Diah tahu Kebun Raya Bogor :D

Pulangnya dari Kebun Raya Bogor, kita ke Cilebut, rumah asli Teh Ucu. Terus kita ke Kayumanis, rumah Bi Otoh. Sementara duo nenek ditinggal di Kayumanis bersama adik mereka, Bi Otoh (kayak kubu nenek-nenek kangen-kangenan gitu), saya, Diah, dan Vini pulang ke rumah Teh Fitri di Laladon. Kita sempat tertawa membayangkan kalau kita sudah jadi nenek-nenek dan masih rempong. Lalu anak-anak kita melihat aneh kelakuan kita seperti sekarang kita geleng-geleng kepala ngelihat orang tua kita. Ckckck.

Di Laladon kita makan sate … terus bobo.

::: Selasa, 31 November 2013 :::
Pagi-pagi Teh Dewi, Wa Euis, dan Mamah, datang ke Laladon. Ceritanya Teh Ucu mau ngajak Teh Dewi jalan-jalan ke Chocolava. Sementara Wa Euis dan Mamah tiba-tiba ditelfon Bi Otoh dan diajak untuk pergi ke Bekasi, eh Jakarta tapi deket Bekasi kalau nggak salah, untuk menengok Delisa, cucunya Bi Otoh. Insting nenek gitu deh.

Mamah dan Wa Euis pun pergi bareng Bi Otoh, sementara kita janjian dengan Teh Ucu dan Wafa pergi jalan-jalan dan makan-makan ke Chocolava, Makaroni Panggang, dan Sate Kelinci. Lumayan … kuliner. Agak perbaikan gizi gitu deh.

Satu yang bikin saya agak mikir. Sejak saya sampai di Cilandak, saya nggak pernah ketemu A Dani lagi. Segitu sibuknya ya jadi anak buah Jokowi. Pengennya sih suami saya nggak sesibuk itu nanti. Make our world simple aja lah.

::: Rabu, 1 Januari 2013 :::
Waktunya pulang ke Bandung … kita pulang nebeng mobil Teh Dewi dan A Oden yang akan ke Bandung menjemput Fahri. Kita juga janjian dulu dengan duo nenek di Klender. Sementara mereka pulang ke Cicalengka, kita berdua kembali ke Jatinangor. Tempat dimana awalnya saya terkapar kelaparan dan akhirnya kembali lagi ke kosan ini dengan segar.

Yang membuat saya puas adalah selama satu minggu perjalanan ini saya dan adik saya bisa bertemu dengan semua kakak-kakak kandung maupun kakak-kakak tiri. Bisa bertemu dengan semua Bibi dan Uwa, kecuali … Wa Acep. Hari ini saya mendengar kabar bahwa Wa Acep akan dioperasi hari Jumat. Ketika mendengar kabar itu tiba-tiba saya menangis dan ini pasti hal tercengeng yang pernah orang lihat.

Dan … sore harinya saya langsung mengerjakan tugas Komunitas yang terbengkalai. Oh God, seolah dilempar oleh ombak paling ganas ke daratan realita bernama ‘kuliah’.

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.