24 January 2014

Hi, Daddy. What's Up?

Cicalengka, 17 Januari 2014

Ayah, disini siang hari dengan matahari yang meredup. Dari pagi aku melihat hujan di luar jendela. Apa yang sedang kau lihat disana, Ayah? Lebih indahkah dari kedamaian yang aku lihat di Bumi ini? Maaf Ayah, aku tidak terlalu kuat untuk berusaha mencapai tempatmu. Aku janji akan mencobanyak lebih baik lagi. Apakah kau sudah mulai merindukanku?

Ayah, sekarang aku menulis surat lagi. Seperti kebiasaan-kebiasaanku dulu. Aku harus menemukan keheningan untuk mendapatkan dorongan menulis surat ini. Terlebih Ayah … aku sedang ingin banyak bercerita kepadamu. Aku tahu kau akan diam mendengarkan dan itu sudah cukup untukku.

Ayah, kau akan lihat bahwa gadis bungsumu sudah dewasa sekarang. Aku tidak lagi menghujat dan marah-marah di suratku padamu. Aku sudah lebih tenang dan menerima. Aku tidak lagi merengek tentang kehidupan. Aku sudah mengalami perjalanan yang cukup panjang di kehidupan ini. Dan aku tahu kau selalu menyaksikan.

Ayah, akhir-akhir ini Ibu sering menangis dan tinggal sendirian. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan ketika Ibu menangis di hadapanku. Apakah dulu dia selalu menangis di depanmu juga, Yah? Apakah kau memeluknya ketika dia menangis? Atau sama kebingungan sepertiku? Ibu masih sering berbicara tentangmu seolah kau istimewa. Aku cemburu, Yah. Karena aku bahkan tidak punya hal yang bisa aku bicarakan tentangmu.

Ayah, dua tahun lalu ayah tiriku meninggal. Aku sudah menganggap dia seperti ayahku sendiri. Tidak apa-apa, kan Yah? Aku bahagia bisa mengenal dia. Dia baik sekali, sering memelukku dan memujiku. Dia juga tidak pernah marah meski aku nakal sekali. Apakah seperti itu pula kau akan mengasuhku? Ayah … apa benar kau berharap aku menjadi anak bungsumu? Atau kau sebenarnya tahu bahwa kau akan pergi di tahun yang sama dengan tahun kelahiranku.

Ayah, apakah kau akan memintaku menjadi perawat juga? Katanya kau pintar berdiskusi, kau juga suka membaca, dan menulis. Aku juga suka itu, Ayah. Kau juga pendiam dan lebih suka menyendiri. Aku juga begitu, Ayah. Bolehkah aku tidak jadi perawat? Aku ingin diam di rumah dan menjadi seorang penulis saja. Boleh, Yah?

Ayah, aku dulu mengikuti organisasi di kampus. Sebenarnya Ibu tidak mengijinkan, tapi aku tahu kau akan mengijinkannya. Bukankah kau juga seorang Ustad dan aktivis? Tapi aku tahu kau tidak akan mau menjadi seorang politikus. Aku juga tidak mau. Tapi, Yah, aku sering berbuat kesalahan pada orang-orang di sekelilingku. Aku takut, Yah. Aku takut mereka akan membenciku. Ayah, apakah dulu kau juga seseorang yang mudah tersinggung dan sensitif?

Ayah, tahun ini umurku 22 tahun. Bukankah itu sudah cukup umur untuk hidup mandiri? Tapi, Ayah … aku masih takut menghadapi apa yang akan terjadi di masa depan. Aku masih selalu melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan. Aku masih belum bisa mengontrol apa yang aku pikirkan. Ayah, ajari aku menjadi bijaksana agar aku tak lagi takut dengan masa depan.

Ayah,  bukankah seharusnya aku banyak mendengar nasihat darimu tentang kehidupan. Tentang apa yang seharusnya aku lakukan dan tidak aku lakukan. Apakah sekarang kamu menyesal, Yah … atau aku yang seharusnya menyesal karena aku yang berbuat banyak kesalahan.

Ayah, aku ingin tahu … apa yang kau ucapkan ketika dulu menggendongku? Doa-doa apa yang kau panjatkan? Nasihat apa yang kau bisikan saat aku ada di pangkuanmu? Aku tidak ingat, Ayah … Aku tidak ingat apapun tentangmu.

Ayah, kemarin temanku meninggal. Dia meninggal di umur 21 tahun, sebelum dia menikah. Ayah, aku ingin meninggal muda dan tidak perlu menikah seperti itu. Tapi dosaku masih banyak dan aku masih banyak berhutang budi dan kebaikan kepada banyak orang. Aku bahkan harus meminta maaf kesana kemari karena banyak melakukan kesalahan. Tapi Ayah, aku tetap berdoa supaya aku bisa berada di tempatmu tanpa membawa dosa. Ayah, boleh kan aku berdoa seperti itu?

Ayah, Ibu bilang aku sudah cukup umur untuk menikah. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku selalu salah mengambil keputusan. Ayah, bukankah seharusnya kau membantuku untuk mengambil keputusan? Ayah, bolehkah aku tidak menikah saja? Aku takut ketika harus berbagi dunia dengan seseorang. Kenapa Ibu selalu membicarakan tentang pernikahan? Itu membuatku takut.

Ayah, apakah aku harus menikah? Semua kakak-kakakku sudah menikah. Aku ingin banyak berdiskusi dengan Ayah. Mungkin kita cocok, Yah. Mungkin tipeku sama dengan Ayah. Bagaimana kalau Ayah saja yang menyeleksi siapa yang menjadi suamiku. Itu pun kalau memang aku harus segera menikah, Yah.

Ayah, sekarang aku sudah tahu banyak mengenai Negeri ini. Politiknya, budayanya, alamnya, penyebaran agamanya, apa yang harus aku lakukan, Yah? Saudara-saudara Ayah ada yang terjun ke dunia politik, ada juga yang berdakwah di teve, bahkan ada yang jadi artis. Beritahu aku, Yah, apa yang harus aku lakukan untuk Negeri ini? Sepertinya kita bisa berdiskusi banyak hal tentang ini.

Ayah, aku juga baca banyak hal mengenai gerakan-gerakan Yahudi modern. Aku takut pikiran polosku mengikuti teori-teori mereka. Aku dulu dimarahi guruku karena bacaanku yang sekuler. Apa Ayah juga akan memarahiku karena aku membaca banyak buku yang sekuler dan liberal? Dulu buku bacaanmu apa, Yah. Aku dengar buku-buku Ayah banyak sekali sampai mau dibikin perpustakaan. Katanya Ayah juga pernah membuat cerpen. Aku mirip sekali Ayah, kalau begitu.

Ayah, aku ingin jatuh cinta padamu. Tapi aku tidak tahu Ayah seperti apa. Apakah Ayah menyebalkan? Tapi sepertinya tidak. Katanya Ayah itu pendiam, kalem, dan tidak bisa marah. Aku bertemu dengan orang seperti itu, Yah. Dan aku memanggil dia ‘Ayah’. Dia baik sekali, Yah. Aku selalu menganggap dia benar-benar ayahku meski dia masih muda. Apa Ayah lebih baik dari dia? Jika iya, berarti aku sudah kehilangan seseorang yang amat berharga.

Ayah, hidupku tidak terlalu beraturan sekarang. Aku hanya mengetahui bahwa poros duniaku adalah Ibu dan adikku. Tapi tidak ada yang bisa mengikatku lebih kuat lagi. Maaf karena aku terlalu kurang ajar. Tapi aku ingin Ayah …

Ayah, banyak sekali yang menyayangiku. Sampai aku merasa sudah berhutang budi pada banyak orang. Tapi … jika boleh aku meminta, aku ingin Ayah saja. Agar poros kasih sayangku juga hanya berputar pada kehidupan Ayah. Terlalu banyak orang yang harus aku pikirkan karena mereka juga menyayangiku seperti aku ini anak mereka. Dan ketika mereka tertimpa kesusahan aku akan sedih seperti melihat ayahku sendiri kesusahan.

Ayah … Ayah sakit apa sebenarnya? Kenapa Ayah tidak menjaga kesehatan? Kenapa Ayah tidak berobat dengan baik? Ayah masih harus menasihati aku banyak hal. Ayah masih harus membantuku mengambil keputusan. Ayah masih harus memarahiku setiap aku melakukan kesalahan. Ayah berhutang banyak kepadaku. Percayalah Yah, menjadi yatim sejak bayi itu tidak enak. Aku merasa naik perahu sendirian di samudera yang luas. Terapung, terombang-ambing, terbawa arus. Ayah, aku bukan pelaut yang handal. Ayah sendiri tahu kan, kesalahan apa saja yang telah aku buat. Ayah boleh memarahiku, kok.

Ayah, bagaimana rasanya meninggal? Aku juga ingin meninggal karena sakit, bukan karena kecelakaan. Tapi tubuhku kuat sekali, Yah. Aku hampir tidak pernah sakit meski kecapean ataupun cuaca yang buruk. Apa dulu Ayah mendoakanku supaya aku selalu sehat? Atau jangan-jangan Ayah mendoakanku agar berumur panjang? Apa Ayah juga berdoa agar aku berguna untuk agama dan bangsa? Jika iya, sekarang aku belum berguna apa-apa, Yah.

Ayah, maaf … aku tidak pernah pulang ke Tasik untuk berdoa di makammu. Aku canggung untuk pergi kesana sendirian. Aku tidak mengenal siapa-siapa, Yah. Terakhir kali aku kesana sendirian dua tahun lalu, aku seperti anak hilang yang tersesat. Tasik tidak seperti rumahku, Yah. Aku merasa asing disana. Merasa bukan siapa-siapa.

Ayah, maaf jika surat kali ini terlalu melankolis. Mungkin efek hujan dari pagi, aku jadi sedikit dramatis. Sebenarnya sekarang aku ingin duduk merapat di sebelahmu, memeluk sebelah tanganmu, dan menyembunyikan kepalaku di bahumu sambil berbisik, “Ayah, aku capek. Ngantuk. Aku mau tidur.” Mungkin saat itu kau sedang membaca buku, atau sedang menonton berita di televisi. Tapi sebelah tanganmu ikut membelai kepalaku dengan sayang. Maaf jika permintaanku terlalu tinggi.

I love you, Ayah.

Dari anak bungsumu.


0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.