Ayah, disini siang hari dengan matahari yang meredup. Dari
pagi aku melihat hujan di luar jendela. Apa yang sedang kau lihat disana, Ayah?
Lebih indahkah dari kedamaian yang aku lihat di Bumi ini? Maaf Ayah, aku tidak
terlalu kuat untuk berusaha mencapai tempatmu. Aku janji akan mencobanyak lebih
baik lagi. Apakah kau sudah mulai merindukanku?
Ayah, sekarang aku menulis surat lagi. Seperti
kebiasaan-kebiasaanku dulu. Aku harus menemukan keheningan untuk mendapatkan
dorongan menulis surat ini. Terlebih Ayah … aku sedang ingin banyak bercerita
kepadamu. Aku tahu kau akan diam mendengarkan dan itu sudah cukup untukku.
Ayah, kau akan lihat bahwa gadis bungsumu sudah dewasa
sekarang. Aku tidak lagi menghujat dan marah-marah di suratku padamu. Aku sudah
lebih tenang dan menerima. Aku tidak lagi merengek tentang kehidupan. Aku sudah
mengalami perjalanan yang cukup panjang di kehidupan ini. Dan aku tahu kau
selalu menyaksikan.
Ayah, akhir-akhir ini Ibu sering menangis dan tinggal
sendirian. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan ketika Ibu menangis di
hadapanku. Apakah dulu dia selalu menangis di depanmu juga, Yah? Apakah kau
memeluknya ketika dia menangis? Atau sama kebingungan sepertiku? Ibu masih
sering berbicara tentangmu seolah kau istimewa. Aku cemburu, Yah. Karena aku
bahkan tidak punya hal yang bisa aku bicarakan tentangmu.
Ayah, dua tahun lalu ayah tiriku meninggal. Aku sudah
menganggap dia seperti ayahku sendiri. Tidak apa-apa, kan Yah? Aku bahagia bisa
mengenal dia. Dia baik sekali, sering memelukku dan memujiku. Dia juga tidak
pernah marah meski aku nakal sekali. Apakah seperti itu pula kau akan
mengasuhku? Ayah … apa benar kau berharap aku menjadi anak bungsumu? Atau kau
sebenarnya tahu bahwa kau akan pergi di tahun yang sama dengan tahun
kelahiranku.
Ayah, apakah kau akan memintaku menjadi perawat juga? Katanya
kau pintar berdiskusi, kau juga suka membaca, dan menulis. Aku juga suka itu,
Ayah. Kau juga pendiam dan lebih suka menyendiri. Aku juga begitu, Ayah.
Bolehkah aku tidak jadi perawat? Aku ingin diam di rumah dan menjadi seorang
penulis saja. Boleh, Yah?
Ayah, aku dulu mengikuti organisasi di kampus. Sebenarnya
Ibu tidak mengijinkan, tapi aku tahu kau akan mengijinkannya. Bukankah kau juga
seorang Ustad dan aktivis? Tapi aku tahu kau tidak akan mau menjadi seorang
politikus. Aku juga tidak mau. Tapi, Yah, aku sering berbuat kesalahan pada
orang-orang di sekelilingku. Aku takut, Yah. Aku takut mereka akan membenciku.
Ayah, apakah dulu kau juga seseorang yang mudah tersinggung dan sensitif?
Ayah, tahun ini umurku 22 tahun. Bukankah itu sudah cukup
umur untuk hidup mandiri? Tapi, Ayah … aku masih takut menghadapi apa yang akan
terjadi di masa depan. Aku masih selalu melakukan kesalahan dalam mengambil
keputusan. Aku masih belum bisa mengontrol apa yang aku pikirkan. Ayah, ajari
aku menjadi bijaksana agar aku tak lagi takut dengan masa depan.
Ayah, bukankah
seharusnya aku banyak mendengar nasihat darimu tentang kehidupan. Tentang apa
yang seharusnya aku lakukan dan tidak aku lakukan. Apakah sekarang kamu
menyesal, Yah … atau aku yang seharusnya menyesal karena aku yang berbuat
banyak kesalahan.
Ayah, aku ingin tahu … apa yang kau ucapkan ketika dulu
menggendongku? Doa-doa apa yang kau panjatkan? Nasihat apa yang kau bisikan
saat aku ada di pangkuanmu? Aku tidak ingat, Ayah … Aku tidak ingat apapun
tentangmu.
Ayah, kemarin temanku meninggal. Dia meninggal di umur 21
tahun, sebelum dia menikah. Ayah, aku ingin meninggal muda dan tidak perlu
menikah seperti itu. Tapi dosaku masih banyak dan aku masih banyak berhutang
budi dan kebaikan kepada banyak orang. Aku bahkan harus meminta maaf kesana
kemari karena banyak melakukan kesalahan. Tapi Ayah, aku tetap berdoa supaya
aku bisa berada di tempatmu tanpa membawa dosa. Ayah, boleh kan aku berdoa
seperti itu?
Ayah, Ibu bilang aku sudah cukup umur untuk menikah. Tapi
aku tidak mau, Yah. Aku selalu salah mengambil keputusan. Ayah, bukankah
seharusnya kau membantuku untuk mengambil keputusan? Ayah, bolehkah aku tidak
menikah saja? Aku takut ketika harus berbagi dunia dengan seseorang. Kenapa Ibu
selalu membicarakan tentang pernikahan? Itu membuatku takut.
Ayah, apakah aku harus menikah? Semua kakak-kakakku sudah
menikah. Aku ingin banyak berdiskusi dengan Ayah. Mungkin kita cocok, Yah.
Mungkin tipeku sama dengan Ayah. Bagaimana kalau Ayah saja yang menyeleksi
siapa yang menjadi suamiku. Itu pun kalau memang aku harus segera menikah, Yah.
Ayah, sekarang aku sudah tahu banyak mengenai Negeri ini.
Politiknya, budayanya, alamnya, penyebaran agamanya, apa yang harus aku
lakukan, Yah? Saudara-saudara Ayah ada yang terjun ke dunia politik, ada juga
yang berdakwah di teve, bahkan ada yang jadi artis. Beritahu aku, Yah, apa yang
harus aku lakukan untuk Negeri ini? Sepertinya kita bisa berdiskusi banyak hal
tentang ini.
Ayah, aku juga baca banyak hal mengenai gerakan-gerakan
Yahudi modern. Aku takut pikiran polosku mengikuti teori-teori mereka. Aku dulu
dimarahi guruku karena bacaanku yang sekuler. Apa Ayah juga akan memarahiku
karena aku membaca banyak buku yang sekuler dan liberal? Dulu buku bacaanmu
apa, Yah. Aku dengar buku-buku Ayah banyak sekali sampai mau dibikin
perpustakaan. Katanya Ayah juga pernah membuat cerpen. Aku mirip sekali Ayah,
kalau begitu.
Ayah, aku ingin jatuh cinta padamu. Tapi aku tidak tahu Ayah
seperti apa. Apakah Ayah menyebalkan? Tapi sepertinya tidak. Katanya Ayah itu
pendiam, kalem, dan tidak bisa marah. Aku bertemu dengan orang seperti itu,
Yah. Dan aku memanggil dia ‘Ayah’. Dia baik sekali, Yah. Aku selalu menganggap
dia benar-benar ayahku meski dia masih muda. Apa Ayah lebih baik dari dia? Jika
iya, berarti aku sudah kehilangan seseorang yang amat berharga.
Ayah, hidupku tidak terlalu beraturan sekarang. Aku hanya
mengetahui bahwa poros duniaku adalah Ibu dan adikku. Tapi tidak ada yang bisa
mengikatku lebih kuat lagi. Maaf karena aku terlalu kurang ajar. Tapi aku ingin
Ayah …
Ayah, banyak sekali yang menyayangiku. Sampai aku merasa
sudah berhutang budi pada banyak orang. Tapi … jika boleh aku meminta, aku
ingin Ayah saja. Agar poros kasih sayangku juga hanya berputar pada kehidupan
Ayah. Terlalu banyak orang yang harus aku pikirkan karena mereka juga
menyayangiku seperti aku ini anak mereka. Dan ketika mereka tertimpa kesusahan
aku akan sedih seperti melihat ayahku sendiri kesusahan.
Ayah … Ayah sakit apa sebenarnya? Kenapa Ayah tidak menjaga
kesehatan? Kenapa Ayah tidak berobat dengan baik? Ayah masih harus menasihati
aku banyak hal. Ayah masih harus membantuku mengambil keputusan. Ayah masih harus
memarahiku setiap aku melakukan kesalahan. Ayah berhutang banyak kepadaku.
Percayalah Yah, menjadi yatim sejak bayi itu tidak enak. Aku merasa naik perahu
sendirian di samudera yang luas. Terapung, terombang-ambing, terbawa arus.
Ayah, aku bukan pelaut yang handal. Ayah sendiri tahu kan, kesalahan apa saja
yang telah aku buat. Ayah boleh memarahiku, kok.
Ayah, bagaimana rasanya meninggal? Aku juga ingin meninggal
karena sakit, bukan karena kecelakaan. Tapi tubuhku kuat sekali, Yah. Aku
hampir tidak pernah sakit meski kecapean ataupun cuaca yang buruk. Apa dulu
Ayah mendoakanku supaya aku selalu sehat? Atau jangan-jangan Ayah mendoakanku
agar berumur panjang? Apa Ayah juga berdoa agar aku berguna untuk agama dan
bangsa? Jika iya, sekarang aku belum berguna apa-apa, Yah.
Ayah, maaf … aku tidak pernah pulang ke Tasik untuk berdoa
di makammu. Aku canggung untuk pergi kesana sendirian. Aku tidak mengenal
siapa-siapa, Yah. Terakhir kali aku kesana sendirian dua tahun lalu, aku
seperti anak hilang yang tersesat. Tasik tidak seperti rumahku, Yah. Aku merasa
asing disana. Merasa bukan siapa-siapa.
Ayah, maaf jika surat kali ini terlalu melankolis. Mungkin
efek hujan dari pagi, aku jadi sedikit dramatis. Sebenarnya sekarang aku ingin
duduk merapat di sebelahmu, memeluk sebelah tanganmu, dan menyembunyikan
kepalaku di bahumu sambil berbisik, “Ayah, aku capek. Ngantuk. Aku mau tidur.”
Mungkin saat itu kau sedang membaca buku, atau sedang menonton berita di
televisi. Tapi sebelah tanganmu ikut membelai kepalaku dengan sayang. Maaf jika
permintaanku terlalu tinggi.
I love you, Ayah.
Dari anak bungsumu.
0 Comments:
Post a Comment
Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.