Catatan ini aku tulis atas permintaan kawanku yang telah bercerita panjang lebar mengenai hidupnya tapi tidak aku respon sama sekali. Akhirnya dia memintaku menulis agar dia tahu apa yang harus dia lakukan. Aku katakan bahwa kemungkinan besar tulisanku tetap tidak akan memberikan solusi apa-apa tapi katanya tidak masalah, setidaknya dia tahu apa yang aku pikirkan. Lalu karena aku sudah panjang-panjang menulis, aku rasa aku share saja disini. Siapa tahu berguna.
--------
“…
Lately I’ve been, I’ve been losing sleep
Dreaming
about the things that we could be …”
(Counting
Stars - One Republic)
Akhir-akhir ini beberapa undangan pernikahan tidak
aku datangi karena tak sempat. Undangan dari adik asuhku di SMA. Teman sekelasku
di SMP. Teman SD-ku. Seniorku di Fkep Unpad. Dalam satu bulan ada lima
undangan. Dan ada undangan yang ke-6. Adik dari kawan lamaku di Garut. Mendadak,
diundang sehari sebelumnya.
Sampai jam 12 siang aku masih berada di Bandung. Ketika
jam 2 siang aku harus berangkat ke rumah Kakak ke-1 di Garut, aku pikir
sekalian saja. Toh dari rumah kawanku itu ke rumah kakakku hanya 15 menit. Satu
pesan aku kirimkan, “Aku masih boleh datang kesana jam segini?”
Dia mengiyakan. Akhirnya aku datang sendirian. Beberapa
saat benar-benar disana sendirian karena kawanku pergi bolak-balik mengurusi
ini itu. Untungnya aku sudah mengenal keluarganya, meski sudah lama sekali. 2-3
tahun yang lalu. Sampai ibunya mengerutkan kening melihatku.
“Bentar, ini teh siapa?” Dia bertanya, melirik
suaminya. “Perasaan kenal, tapi siapa?”
Aku tertawa ramah. “Sarah, Bu.”
“Oh, astaghfirulloh! Sarah … ! Iya, ini teh Sarah.
Kenapa makin kecil?” Spontan dia memelukku erat, seperti bertemu anaknya yang
hilang bertahun-tahun.
Untungnya adiknya masih mengingatku dengan baik.
Meminta maaf karena tidak memberitahuku dan tidak memberi kabar apa-apa. Setelah
lulus SMA, dia sempat terputus kontak dengan banyak orang. Lalu aku makan dan
duduk-duduk ditemani kakak tiri kawanku.
Seperti memungut kembali kenangan yang berserakan.
Hampir sejam aku disana. Kawanku tak membuang
kesempatan kedatanganku yang bisa dikatakan langka. Menahanku sampai resepsi
selesai. Biasanya dia sampai harus niat datang ke Jatinangor hanya untuk bicara
di depanku atau hanya untuk melihat wujudku yang ada. Tumpahlah semua cerita,
keluh kesah, dan semua yang dialaminya. Hari itu aku sukses jadi pendengar yang
baik. Hanya mendengarkan.
Coba aku ingat-ingat dulu, kawan saya ini termasuk
orang yang radarnya selalu berfungsi untuk menemukanku. Ketika dia masih
tinggal di DU, pernah suatu kali aku sedang berada di DU namun ponselku mati
sehingga aku pikir tak mungkin menemuinya yang entah ada di DU bagian mana.
Sebelum pulang aku mampir ke Warnet untuk mengecek sesuatu. Karena komputernya
sulit untuk log in, aku memanggil
penjaga kasir. And tadaa … orang di
sebelahku tiba-tiba menegur, sepertinya dia mengenal suaraku. Ternyata itu kawanku.
Tepat di sebelahku. Tertawalah kita akan kebetulan yang lucu ini. Selama dia
tinggal di DU, hanya sekali itu aku bertemu dengannya disana.
Lalu dia mencari peruntungan di Garut. Aku tidak
pernah tahu di Garut sebelah mana dia tinggal. Karena sudah bertahun-tahun dia
tidak tinggal dengan keluarganya. Dia bisa ada dimana saja. Komunikasi pun
sangat jarang. Hampir tidak pernah. Suatu ketika aku tengah mengantar temanku
penelitian di Garut. Kita berangkat agak siang karena dia harus bimbingan
dengan dosen terlebih dahulu. Ketika kami sudah memasuki daerah Garut, aku
bertugas mengawasi jalanan, plang-plang, tanda-tanda, karena kami sama-sama
tidak tahu letak Panti Werdha Garut. And
tadaa … dari kejauhan aku melihat seseorang keluar dari apotek, menyalakan
motornya, semakin dekat aku semakin mengenali sosoknya. Spontan aku berteriak
memanggilnya. Gila. Kenapa bisa ketemu dia disini. Akhirnya dia mengikuti motor
kami dan menunjukan jalan ke Panti Werdha. Belakangan aku tahu bahwa pada hari
itu seharusnya dia sudah pergi ke apotek dari pagi tapi baru sempat ketika
siang hari. Tepat saat motor kami melewati apotek. Tepat saat dia baru keluar
dari apotek. Bisa gitu, ya.
Pada hari itu pun, saat aku menjadi pendengar yang
baik. Ada beberapa kebetulan lagi. Dia memang punya hobi fotografi, belakangan
dia jadi founder komunitas fotografi
di Garut. Saat itu dia menunjukan kepadaku karya-karyanya yang bertemakan shadow. Foto-foto dreamy/sureal. Aneh, karena baru beberapa hari yang lalu aku
memotret bayangan-bayanganku sendiri dan sinar matahari di tembok kamar. Sejak
beberapa bulan yang lalu pun, entah kenapa, aku suka memotret awan. Jatuh cinta
dengan awan. Lalu saat kita membahas mengenai proses kreatifku membuat tulisan,
dia berceloteh tiba-tiba. Aku tidak begitu ingat kalimat-kalimat yang dia
ucapkan, namun intinya seperti ini …
“Awan. Terletak sangat jauh. Namun sangat indah.
Kita bisa melihatnya setiap saat. Megah di atas langit. Namun sulit untuk
digapai. Seberapa tinggi bangunan yang didirikan tak akan bisa menggapai awan.
Seberapa tinggi gunung yang didaki, sama saja, awan itu tidak akan pernah bisa
kita dapatkan. Itulah kamu.”
Aku tertawa, menyamarkan rasa kagetku akan tema
‘awan’ yang dia ambil. Mungkinkah dia stalking
twitter-ku dan tahu aku sedang jatuh cinta dengan awan? Aku seakan
disudutkan dengan pesan tersirat, kamu sendiri kenapa menyukai awan? Sudah tahu
itu akan sulit digapai. Kamu mendaki gunung yang tinggi hanya untuk mencari
awan? Bodoh.
Lalu dia memperlihatkan foto terbarunya. Sebuah gang
di Kota Garut, diapit oleh dua bangunan abu-abu yang tinggi berdampingan, hanya
menyediakan ruang untuk satu motor. Di depannya sebuah bangunan berwarna putih
seolah-olah menutup jalan karena jalan tersebut berbelok di depan. Lalu sisanya
jalan setapak dan siluet langit. Aku sendiri tidak yakin warnanya, karena
fotonya sengaja bernuansa hitam putih. Pengambilan gambar itu dilakukan saat
dia berjalan kaki, menangkap pemandangan, lalu tiba-tiba berjongkok,
membidikkan kamera ponselnya. Mengingatkanku akan proyek phonetography-nya Samsung yang diikuti Dewi Lestari.
“Apa ya judulnya? Border of city? Beside of
city?” Dia meminta saran.
“Center of
Urban.” Aku memberi saran sesuai dengan saran awalnya.
“Di tengah kota? Tapi ini pinggiran kota. Keadaan di
pinggir kota yang penuh beton.” Komentarnya.
Lama kita berdebat hanya membicarakan judul, lalu
berbelok membicarakan hal lain, berputar lagi untuk kembali ke obrolan mengenai
judul foto.
“Ini dulu apa judulnya. Saya mau upload di grup komunitas fotografi. Coba
lihat lagi. Kira-kira apa judulnya?” Kali ini dia menyerahkan ponselnya.
Aku mengamatinya lebih lama. Melupakan judul-judul
awal yang disarankan. Kenapa urusan judul ini jadi begitu rumit. Come on, it’s just title.
“Sesak.” Jawabku singkat.
“Sesak? Heurin?”
“Sempit. Sesak. Kehilangan ruang. Ya, intinya hareurin.”
Dia kembali mengambil ponselnya, mengamatinya ulang.
“Bener, ya. Heurin.”
Tanpa pikir panjang dia mengirimkan fotonya, memberi
judul foto itu “Heurin.” Menuliskan
momen dimana foto itu diambil dan dengan kamera apa foto itu didapatkan. Baru beberapa
detik sudah banyak yang me-like, dan
satu komentar paling atas yang aku ingat. “Bagus. Heurin-nya dapet.”
Dia pun tertawa. “Benar apa kata kamu. Heurin.”
Judulnya sederhana tapi ngena. Sudah aku bilang hidup itu sederhana. Kamu sendiri yang
membuatnya rumit. Dan aku si sederhana yang rumit. Si rumit yang sederhana. Naon lah. Dan tebak-tebakan judul ini
mengingatkanku akan Kugy yang menebak lukisan Keenan dengan judul ‘bebas’, dan
Keenan ternyata memberikan judul lukisan itu ‘freedom’.
“Kemarin di studio temanku ada novel Partikel.”
“Aku udah baca.” Komentarku pendek.
“Katanya mau terbit lanjutannya ya? Lagi PO.”
“Iya. Tapi aku mau kesana pas launching aja. Sekalian main ke Bandung.”
“Sama siapa?”
“Sendiri. Sama siapa lagi? Biasanya juga sendiri.”
“Kasihan.” Dia tertawa dengan sungguh-sungguh.
“Biar sendiri juga tapi masih punya semangat hidup.”
“Kamu nyindir?”
“Nggak nyindir, keingetan hidup kamu aja.”
Baru saja dia bercerita dari sejak ketika dia
memutuskan tidak tinggal lagi di rumah bersama keluarganya (awal kami berdua sama-sama
kehilangan kontak). Keluar dari pekerjaannya. Pindah ke Bandung dan mulai dari
nol lagi. Mencari pekerjaan. Jadi karyawan, dipecat karena kerjaannya hanya
tidur. Menjadi penjual gorengan, berhenti karena tidak laku. Bertemu teman baru
dan pindah ke Dipati Ukur. Mulai lagi dari nol. Pindah ke Garut. Mulai lagi
dari nol … Kemarin ayahnya sakit dan harus dioperasi. Adiknya yang kabur saat
lulus SMA dan sekarang menikah di usia muda. Dia si tulang punggung keluarga
yang merasa belum bisa diandalkan keluarganya. Baginya fotografi adalah
hidupnya, bagi kebanyakan orang fotografi harusnya hanya hobi baginya. Karena
dia harus mencari pekerjaan. Bagiku, dia … manusia super labil dan super nggak
jelas yang aku kenal.
Dia berkata, “Tujuan hidup saya sekarang mungkin …
hanya ingin membuat something untuk
Garut atau menjadi something untuk
Garut.”
Lalu kemudian, “Cita-cita saya … mau jadi bos.”
Setelah itu, “Yang saya bayangkan saya mau memiliki
kafe sekaligus kantor, kantor yang ada kafenya. Di atasnya baru rumah.
Minimalis.”
Dan tiba-tiba, “Saya sudah cape punya mimpi, punya
rencana. Setiap bangun tidur rasanya saya nggak ada harapan apa-apa. Setiap
punya rencana kayaknya ‘gagal’ udah nungguin.”
Akhirnya, “Saya lagi pengen ngerasain gagal yang
segagal-gagalnya dulu sekarang. Seperti kata kamu, saya sedang menghabiskan
jatah gagal saya dulu.”
Sebenarnya dia tidak separah itu. Kata salah seorang
partner-nya, Garut sekarang bangga
punya anak itu.
Dia pemuda yang punya semangat juang sekaligus
paling rapuh. Komunitas fotografinya menjadi komunitas nomor satu yang diminati
banyak orang. Dia bisa diandalkan untuk setiap event. Ada beberapa video hasil proyek kegiatan fotografinya di youtube, dan menurutku itu keren.
Sesuatu yang biasa aku bilang ‘full of
passion’. Tapi aku sendiri tidak tahu dimana celah yang membuat dia selalu
bergerak stagnan. Dia sendiri tidak bisa menemukannya, apalagi aku.
Saya mendengarkan ceritanya, duduk tenang,
bersandar, dan … melipat tangan. Berkomentar, bergumam, menjawab pertanyaan
yang sebenarnya tidak butuh dijawab, membantu memikirkan kemungkinan. Selamat,
saya bisa menjadi pendengar yang baik. Karena baginya aku orang yang tertutup
(padahal menurut teori aku dominan extrovert).
Tentu saja untuk orang yang baru aku temui, meski kawan lama, aku tak begitu
suka ditanya tentang diriku sendiri. -Sibuk apa sekarang?- Ya, gitu. - Gitu
gimana?- Nggak gimana-gimana, gitu aja. -Gimana nulisnya?- Gitu-gitu aja. -Udah
ngelamar kerja kemana?- Nggak kemana-mana. -Ada proyek apa lagi?- Ya, ada beberapa.
-Ada teh apa?- Ya, ada lah pokoknya. (Kayaknya dia greget pengen noyor
kepalaku).
Perlu bermenit-menit dan pertanyaan berulang-ulang
sampai akhirnya aku nyaman bercerita tentang diri sendiri. Itulah kenapa dia
lebih senang membaca tulisan-tulisanku. Katanya, dalam tulisan aku lebih jujur
dan terbuka. Dalam tulisan aku menjadi diriku sepenuhnya yang begitu
bersahabat. Aku nyata di tulisan, palsu dalam realitas. Mungkin seperti itu.
Kisahnya tiba pada masa saat seminggu yang lalu,
saat dia meneleponku tiba-tiba ketika aku baru turun dari Gunung Gede.
“Saya lagi di mobil, maaf ya, nanti telpon ulang.”
Klik. Saya tutup.
Ternyata saat itu dia tengah terperosok dalam
kesulitan yang begitu dalam. Dua minggu tanpa uang. Makan entah dapat dari
mana. Motornya kena tilang, belum bisa diambil, ga ada uang. Di kosan hampir
diusir karena nunggak, ibu kosan sempat menggulung kasurnya dan mengeluarkan
barang-barangnya. Event-nya akhir
bulan ini masih kurang peserta, yang berarti biayanya nombok sekitar 2juta.
Komputer dan kamera dia jual untuk membayar hutang.
Ini yang namanya sesak. Sempit. Heurin. Sesak sampai bernafas pun rasanya enggan, karena begitu
sakit. Hidup begini adanya, Kawan. Dia tengah berada di titik nol. Minus.
Pantas saja sepanjang minggu itu dia tidak kembali
menghubungiku sama sekali. Aku rasa saat itu dia mulai sadar betapa egoisnya
aku. Kawan sedang terpuruk, aku malah berkeliaran di gunung. Pantas saja aku
menjadi orang terakhir yang dia undang ke pernikahan adiknya. Mungkin tadinya
dia tidak berpikir sama sekali untuk mengundangku. Sayangnya aku datang
memenuhi undangan yang mendadak.
Dengan mendengar cerita itu, dan juga sebenarnya
beberapa cerita teman kampus lain yang sejenis, aku jadi merasa kondisiku yang
labil antara berkarir dan melanjutkan kuliah adalah kegelisahan yang tidak ada
apa-apanya. Belakangan ini aku pusing karena ibu berat mengizinkanku bekerja,
apalagi di luar Bandung/Garut. Di tambah keadaannya yang lemah dan rawan sakit.
Setiap mencuci baju, pasti ada noda darah di kerudung atau bajunya. Nikah, nikah, nikah, aku sampai sakit kepala karena
ibu terlalu sering menyinggungnya. Sampai kadang aku menutup pembicaraan dengan
kalimat, ‘Ya sudah, Mamah saja yang nikah.’
Sementara kawanku ini, menikah adalah pembicaraan ke sekian puluh sekian.
Karena bahkan baginya, jatuh cinta saja merupakan birokrasi yang menyusahkan.
Pamungkas, mungkin dia akan memikirkannya tiga atau empat tahun lagi. Well, kenapa aku menyinggungnya juga?
“Saya nggak mau kamu ikut kepikiran, tapi saya butuh
teman cerita.” Sambungnya. “Saya nggak bisa cerita sejujur ini ke orang lain.”
“Kepikiran pun saya nggak tahu solusinya. Karena
untuk diriku saja, solusi selalu hadir sama misteriusnya dengan masalah yang
datang.” Saya mengatakannya sambil mengingat masalah terakhir yang saya hadapi,
saya sampai konsultasi dengan dua teman saya di Unpad. Fauzan dan Jhovy. Tapi
solusi tidak hadir melalui orang yang saya kira. Tidak juga dalam bentuk yang
saya harapkan. Solusi itu hadir tiba-tiba, bahkan aku hampir tak mengenalinya
(apa ini si solusi yang saya cari?) seperti masalah yang saya pikirkan secara
tiba-tiba pula. Maaf, Kawan, hidupku memang terlalu penuh dengan spontanitas.
“Kamu kenapa, sih, kalau aku lagi cerita responnya cuma
diem? Suka tiba-tiba hening.”
“Aku emang pendiam.”
“Nggak. Kamu bukan pendiam. Judes.”
“Aku nggak judes. Aku baik.” Aku mencoba membela
diri seperti biasa meski entah berapa orang yang sudah berkomentar aku judes,
jutek, ketus.
“Kalau menurut kamu saya orangnya pede (percaya
diri)?” Tiba-tiba dia meminta pendapat.
“Ya, pertama kenal begitu. Lebih kayak belagu, sih.”
“Terus menurut kamu saya orangnya minder?” Dia
bertanya lagi.
“Iya.” Jawab saya yakin.
“Kok bisa saya pede sekaligus minder?”
“Ya … ada masa dimana orang memiliki perasaan
ekstrim yang sama. Seperti bipolar. Seperti saya. Saya bisa cuek dengan
perasaan secuek-ceuknya. Tapi saya bisa sensitif sesensi-sensinya.”
Tentu saja dia begitu, bagaimana bisa dia bercerita
ingin jadi bos, berguna buat Garut, memiliki kafe-kantor, sekaligus bercerita
sudah tidak berani bermimpi lagi.
“Saya lagi minder-mindernya sekarang. Cuma ke kamu
saya nggak minder buat cerita semua ini. Karena kamu teman saya yang sudah tahu
gimana saya sampai ke buruk-buruknya.”
“Dan kamu nggak pernah berubah. Bertahun-tahun loh
kita temenan. Kalau dibilang capek ngeliat kamu kayak gini, ya capek.” Kataku,
bukan protes, lebih seperti menyindir. Menusuk. Ketika di DU aku bertemu dia
dengan kondisi yang sama parahnya. Bahkan lebih parah karena saat itu dia masih
tinggal menumpang di kosan orang lain. Tanpa proyek yang jelas.
“Orang-orang juga berkomentar seperti itu. Aku
kenapa gini-gini aja, nggak ada perubahan.”
Aku menerawang, mengingat-ingat seperti apa dia
dulu. “Kamu yang pertama saya kenal lebih ‘hidup’, meski kadang belagu dan sok,
tapi punya kepercayaan diri. Tidak heran karena pekerjaanmu termasuk kategori public figure. Pekerja kreatif. Pegiat
seni. Itu kan yang membuat kita dekat dan berteman. Kalau kita baru kenal sekarang
kayaknya kamu akan sama mindernya seperti mendekati Sarah-Sarah yang lain.
Ditambah waktu itu mungkin aku sedang bosan dengan rutinitas di Unpad. Dan …
waktu itu aku lagi sial saja bisa temenan sama kamu.”
Dia tergelak, menyetujuinya. “Iya, kamu waktu itu memang
lagi sial.”
Akhirnya aku memberikannya sebuah kesimpulan: Aku adalah manis, sekaligus pahitmu. Mimpi,
sekaligus realitasmu. Bayangan, sekaligus mataharimu. Aku menuliskannya di
buku catatan miliknya. Anggap saja cindera mata.
“Mungkin kamu mencari saya karena saya bisa
membuatmu tenang. Bukan sekedar karena wajah saya yang manis, tapi karena saya
sudah jadi bagian dari hidup kamu. Tapi bertemu dengan saya pun, akan membuatmu
pahit, kan? Karena katamu saya tak tergapai. Kamu bebas menceritakan
mimpi-mimpimu tanpa khawatir dianggap tak waras. Tapi bercerita denganku
berarti dituntun untuk berpikir realistis. Aku juga menjadi bayangan dalam
pertemanan ini, entah apa dan entah siapa. Katamu saya menghantui padahal saya
belum mati, jadi bagaimana bisa gentayangan. Tapi bagaimana bisa juga ternyata
saya jadi mataharimu, yang menaungimu, mengayomi, dan memberimu sinar. Terdengar
gagah dan maskulin, ya. Padahal saya perempuan.”
Dia terdiam mendengar penjelasan dari tulisan
pendekku. Tidak mengiyakan, ataupun menyangkal. Hanya tersenyum pahit. Tanda
ingin mengiyakan sekaligus ingin menyangkal.
Kenapa pula aku harus bertemu dengan manusia satu
ini, saat event akhir tahun 2010 dulu,
di warnet DU, papasan di Garut. Kenapa pula aku harus sempat menghadiri
undangan ini. Pernah kawanku ini mengajak pergi kepantai, naik gunung, tidak
ada yang aku penuhi. Tidak sempat. Kenapa pula dengan keadaan dia yang semi
artis lokal, kenal banyak orang, hanya aku yang bisa dia jadikan ‘tempat
sampah’ yang mengeluarkan sisa-sisa terburuk dari kehidupan. Kenapa pula dari
banyaknya temannya yang bernama Sarah, harus Sarah yang ini yang mengenalnya
dengan baik. Everything happen for the
reason, kan? So, for what? What the reason?
Saya membuka-buka buku catatannya hanya karena
iseng. Kebanyakan catatan mengenai event-event
yang dia organisir atau konsep project
mengenai fotografi atau sebuah video. Tiba-tiba di coretan belakangan aku
menemukan namaku berderet dengan coretan nama yang tadinya dia akan buat untuk
manajamen fotografinya. Hanya ada dua kata. Sarah. Zohrahs. Itu jelas-jelas
aku.
“Kok ada nama saya disini?”
“Iya gitu?”
Aku menutup buku itu dan menyerahkannya. “Jelas-jelas
itu tulisan kamu. Di halaman belakang.”
Dia sibuk membuka-buka bukunya, menemukan namaku
disana, lalu nyengir. “Orang password
ponsel lamaku yang rusak saja masih nama kamu.”
Konyol. Aku hanya diam tak merespon. Tak memberikan
ekspresi apa-apa.
“Saya kan sudah bilang, kamu itu menghantui saya
terus. Kayak bayangan.”
“Jadi saya harus bagaimana? Saya juga sudah susah
payah kabur dari kamu. Biasanya kalau ke yang lain efektif, disinisin sekali
juga langsung mundur, diabaikan berkali-kali juga nyerah, didiamkan langsung
menghilang.”
“Saya juga nggak tahu. Memangnya saya ngejar kamu?
Kan nggak.” Tambahnya setengah bergurau. Obrolan yang sama-sama membuat kita
jengah. Dia akhirnya membicarakan topic lain.“Kayaknya sosial saya juga
sekarang nggak begitu baik. Ada yang bilang saya orang yang paling bisa
diandalkan buat ngumpulin orang, tapi sekarang ketika mereka saya undang buat
ke nikahan adik saya saja nggak ada yang datang satupun.”
“Saya datang.”
“Yaa maksudnya teman-teman saya.”
“Kan saya juga teman kamu.”
“Yaa, maksudnya tadi. Kan kamu datangnya telat.”
“Oke.” Perdebatan
nggak penting, pikirku. “Aku juga mengalaminya, kok. Aku yang biasanya
paling semangat buat ngumpulin orang. Mau itu bikin agenda sendiri, agenda
resmi, nengok yang sakit, ke nikahan. Tapi ketika aku berharap mereka datang ke
acaraku tanpa aku koordinir, aku sadar … nggak akan ada yang datang. Aku saja
kaget saat akhirnya ada temanku yang mau nengok ibu. Kamu tahu kenapa? Karena
dari kecil manusia sudah belajar berhitung, segala sesuatu yang terjadi di
depannya akan jadi objek hitung-hitungan. Ketika aku mengumpulkan orang pun,
aku berhitung, sepenting apa ini bagi mereka, semenarik apa, berapa kemungkinan
agenda prioritas lain yang mereka miliki. Dan mereka pun akan berhitung, kalau
datang apa untungnya, kalau nggak datang apa ruginya, akan ketinggalan apa,
akan kehilangan apa. Seberapa berharganya kehadirannya. Di pikiran manusia masa
kini, dunia berjalan secara matematis.”
“Jadi, menurutmu mereka tidak datang karena merasa
tidak ada untungnya untuk datang?”
“Dan tidak ada ruginya jika tak hadir. Untung rugi
disini bukan hanya materi. Sesuatu yang ‘berharga’ tapi tak berwujud. Diantaranya
… datang karena merasa beruntung ingin bertemu orang yang disuka, kangen, atau
segan kalau menolak hadir. Mungkin kamu belum sampai di tahap itu, jadi orang
yang disukai, ngangenin, ataupun disegani.”
“Ya, ya, saya ngerti. Kalau begitu kamu kenapa
datang?”
“Karena aku orang baik.” Jawabku spontan, mengangkat
alis meyakinkan. “Dan aku sedang menabung kebaikan. Melihat kamu senang karena
aku datang buatku jadi tabungan kebaikan. Seperti saat musim mudik kemarin, aku
sangat butuh bantuan kamu, aku jadi enak buat minta tolong karena aku sudah
menabung kebaikan di kamu. Agak jahat sih, kebaikan juga menjadi sesuatu yang
matematis. Tapi … memangnya diantara saya dan kamu, siapa yang paling jahat.”
“Saya, sih.” Jawabnya yakin. “Tapi saya juga ingin
jadi orang baik, kemarin temanku menggadaikan kameranya. Kalau besok tidak
ditebus bakalan hangus. Tapi aku nggak punya uang. Akhirnya aku pinjam uang
untuk dia pakai dulu, atas namaku karena dia malu kalau orang lain tahu.”
Aku tersenyum, cerita yang paling baik yang kudengar
sepanjang ceritanya. “Kamu beruntung. Setidaknya kamu nggak miskin nurani.
Berusaha menjadi orang baik kadang sama sulitnya dengan berusaha menjadi orang
hebat.”
Hening yang cukup untuk menciptakan ruang pikir
sendiri. Karena hidup ini kadang disamakan dengan ilmu pasti. Jika kamu pemeran
utama, kalau bukan protagonis, berarti antagonis. Kalau bukan superhero,
berarti penjahat. Kalau bukan orang hebat, berarti pecundang. Siapa yang ingin
menjadi pecundang dalam sebuah kehidupan dimana dia menjadi pemeran utamanya?
Tapi jika tidak bisa menjadi orang hebat, jangan tersinggung jika berstatus
pecundang. Angin berhembus terlalu kencang seakan ingin menyibak tenda resepsi yang
sudah ditata rapi. Bulan purnama ditambah gerhana selalu menghadirkan angin
kencang yang cukup untuk mematahkan sebuah pohon. Namun, seharusnya tidak bisa
mematahkan sebuah harapan.
“Sar.”
“Hm ...” Aku merespon dengan bergumam, nada suaranya
melembut.
“Saya minta maaf. Saya belum bisa menjadi hebat.”
Permintaan maaf itu berarti banyak bagi dua orang
yang sudah dewasa.
Aku menghela nafas sebelum menjawab tegas. “Tidak
masalah. Itu urusan kamu. Saya sudah cukup dengan pertemanan kita yang
sekarang. Tidak akan berharap apa-apa.”
Apa lagi yang bisa menjadi jawabanku untuknya. Dia
paham betul kondisi masing-masing dari kami. Dia tahu betul mengenai ‘jaring
laba-laba kehidupan’ di sekelilingku. Karena di dunia yang lain, mungkin kita
saudara kembar.
“Apa aku harus mengajakmu menghitung bintang saja
daripada menghitung uang?” Aku mencairkan suasana. Mengenalkannya dengan lagu Counting Stars milik One Republic (Said no more counting dollars. We’ll be
counting stars. Yeah, we’ll be counting stars).
Kita tertawa. Menertawakan hidup. Hidup begini
adanya, Kawan. Benar kata Dee, tidak ada pemeran pengganti yang akan menanggung
sakitmu. Tidak juga aku.
“
… Sing in the river
The
lesson I learned …”
(Counting
Starts – One Republic)
:)
ReplyDeleteNumpang lewat, Teh Sarah..
#seseorang yg sdg galau krn kurang fokus