Setahun terakhir aku mengendalikan mimpi. Bukan daydream, tapi dream when we're sleeping. Mimpi secara sadar. Ini serius karena aku tidak pandai melawak. Bagi mereka yang menekuni dunia kreatif, seni, dan imajinasi, aku tidak heran jika mereka punya pengalaman dengan mimpi. Konon Stephanie Mayer membuat novel fantasinya karena sebuah alam pikirannya dalam mimpi. Jangan kaget, toh mimpi juga hasil kerja otak. Alam pikiran dihasilkan oleh gelombang otak dan gelombang otak memiliki beberapa tingkatan. Gelombang beta: waspada, konsentrasi. Gelombang alfa: kreatifitas, relaksasi, visualisasi. Gelombang tetha: relaksasi mendalam, meditasi, peningkatan memori. Gelombang delta: penyembuhan, tidur sangat nyenyak. Gelombang gamma: aktivitas mental yang sangat tinggi. Ada lagi yang lebih tinggi, hypergamma dan lambda. Menurut Dr, Jeffrey D. Thompson dari Center for Acoustic Research (di artikel lain dia dikatakan dari Neuroacoustic Research), gelombang hypergamma dan lambda berhubungan dengan kemampuan supranatural dan metafisika. Dia juga mengatakan bahwa ada frekuensi terendah di bawah delta, yaitu frekuensi epsilon yang juga sangat mempengaruhi aktifitas mental seseorang.
Maaf jika pembahasan di atas tidak menarik, aku memang baru
selesai membaca buku berjudul Gelombang. Dan mungkin pembahasan di bawah lebih
tidak menarik lagi untukmu. Aku sudah memberitahu.
Biarkan aku ceritakan dulu pengalaman mimpiku, yang sebagian besar
sudah kulupakan karena aku jarang menganggap mimpi-mimpi penghias tidur itu
penting. Ini pertama kalinya aku bercerita tujuh halaman A4 hanya mengenai mimpi, yeah, maksudku bunga
tidur.
Kita awali dengan ... darimana aku belajar berimajinasi.
Aku membaca buku cerita sendiri sejak umur 4 tahun. Senang
menonton teve, tentu saja. Bolak-balik ke perpustakaan yang terletak di kantor
guru. Karena bosan dengan buku cerita, umur segitu aku sudah baca novel.
Kebanyakan novel islami milik kakak dan kakak sepupu. Tapi sepertinya aku
pernah kecolongan baca novel berat, aku lupa novel apa, yang jelas isinya agak
roman. Ketika nonton film kartun pun kerjaanku memperhatikan dialog dan
menulisnya ulang. Untuk apa? Untuk aku baca ulang. Kebiasaan yang agak kurang
kerjaan memang. Lazimnya anak kecil, aku selalu main drama-dramaan dengan
kakakku. Teh Rahmi/Ami. Kadang adik bungsuku ikutan kalau sedang tak rewel.
Akhirnya jika aku dan teman-teman SD sedang bermain, aku selalu menjadi orang
yang mengatur drama-dramaan, siapa yang jadi siapa, ceritanya seperti apa.
Waktu itu aku sedang sering menonton film horor yang dibintangi Suzanna, jadi
kami pun sering bermain cerita horor. Cerita semacam sumur berdarah misalnya
karena SD kami dekat dengan sumur ...
Aku sudah menulis sejak SD. Maksudku mengarang-ngarang cerita.
Sampai habis tiga buku tulis. Semuanya bertema persahabatan karena saat itu aku
sering menonton Amigos. Karena aku dan Teh Ami pisah rumah ketika SD, aku
sering berkirim surat dan menceritakan pengalamanku. Beberapa kadang
diceritakan secara berlebihan. Selain itu, aku sering berangkat mengaji sambil
melamun. Percayalah, aku pendiam meski menurut teori aku ekstrovert. Dan pada
lamunan-lamunan itulah, mungkin lazimnya anak kecil seumuranku, aku menciptakan
teman imajiner yang aku sebut "Puteri Ahulmah". Bayangkan seorang
anak SD berangkat mengaji magrib dan pulang isya sambil ngobrol sendiri dalam
hati dengan teman imajinasinya. Makanya dari kecil aku tidak begitu takut gelap
dan terbiasa jalan sendiri. Juga ... bergumam sendiri, tentu saja. Maaf jika
ini terdengar aneh. Saat itu aku berpikir anak-anak lain juga pasti
melakukannya jika sedang sendirian.
Tentu saja jika sedang bermain aku menggunakan daya imajinasiku.
Kalian juga pasti begitu ketika kecil. Menganggap pohon adalah monster yang
menyamar. Rumah bisa bergerak dan berlayar seperti perahu. Bulan adalah
mata-mata yang menguping pembicaraanmu dengan teman imajinasimu. Lantai menjadi
sarang buaya yang tidak boleh diinjak. Hingga spiteng menjadi sudut penyelamat
ketika bermain penjahat-penjahatan di kamar mandi. Aku tidak tahu bahwa ketika
tidur dan bermimpi, otak masih bekerja seperti saat tersadar, bahkan lebih liar
karena gelombangnya melemah.
Pengalaman mimpiku yang kuingat adalah saat di Cicalengka, umuran
SD. Lupa persisnya kapan. Tapi pengalaman itu tidak akan pernah aku lupakan.
Mungkin ada pengalaman-pengalaman yang lain, tapi itu yang paling diingat. Aku
mengalami lucid dream,
mimpi sadar, sepertinya begitu. Mimpinya biasa saja, tidak seram, namun entah
kenapa aku sadar bahwa aku sedang bermimpi. Berkali-kali aku mengingatkan diri
sendiri bahwa terakhir kali yang terjadi padaku adalah aku tengah tertidur di
kursi ruang tamu dan kejadian yang sedang berlangsung ini tidak nyata. Aku
sedang bermimpi.
Saat itu aku berniat untuk bangun. Ini mimpi. Aku harus bangun.
Lalu aku merasa diriku terbangun dari tidur, bangun dari kursi, lalu menuju
pintu ruang tamu hendak keluar. Aneh, untuk apa aku ke pintu depan? Aku sedang
apa? Mau kemana? Sial. Aku masih dalam mimpi. Lalu aku menguatkan diriku
berkali-kali untuk bangun dan aku merasa diriku bangun, kembali berjalan. Kali
ini menuju jendela ruang tamu. Rasanya aneh. Payah. Aku masih bermimpi. Entah
berapa kali pola itu berulang, lima kali, mungkin enam. Sampai rasanya capek
dan kepalaku pusing. Aku tidak ingat saat itu bagaimana caranya aku terbangun.
Sepupuku pernah bercerita bahwa dia pernah merasakan, you know ... eureup-eureupan, itu semacam
ditindih bayangan hitam dalam mimpi dan membuat kita sesak dan sulit bangun.
Saat itu aku sedikit lega bahwa yang aku alami hanya 'susah bangun' ketika
sadar sedang bermimpi. Tidak ada itu si bayangan hitam.
Masih ketika umuran SD, ketika aku sedang ada di Garut, pagi-pagi
ibuku bercerita semalam aku sleep
walking. Tentu ibuku tidak pakai istilah itu, dia bilang aku 'ngalindur',
berjalan dari kamar ke ruang tamu dan memanggil-manggil sepupuku. Aku kira hal
itu wajar, ibuku juga tidak mempermasalahkannya, meski aku merasa agak ajaib
karena aku tidur sambil berjalan atau berjalan-jalan dalam tidur. Seharusnya
itu direkam. Aku ingin lihat. Karena kejadian lucid
dream dimana aku menghampiri
pintu keluar di ruang tamu dan juga sleep
walking dimana aku berjalan
ke pintu ruang tamu juga, aku punya kesimpulan asal, ternyata aku yang ada di
dalam mimpi adalah seorang anak yang menyimpan keinginan untuk keluar rumah.
Mungkin, itu hanya asumsiku.
Menjelang umur belasan, aku menghindari film horor karena hal itu
sangat mengganggu dalam mimpi. Kalian pasti sering mendengar bahwa orang yang
sudah menonton film horor selalu terbayang-bayang dalam mimpi. Atau kalian juga
sering mengalaminya? Maka bayangkanlah ketika seseorang yang suka berimajinasi
mendadak kepalanya penuh dengan hal-hal horor. Itu akan jadi teror. Ditambah
jika dalam mimpi itu tetap menjadi teror yang nyata. Aku pernah bermimpi
dikejar vampir China yang meloncat-loncat dan berlari mengelilingi rumah di
Cicalengka. Zaman saya SD film vampir China sering gentayangan di teve. Dalam
mimpiku aku ingat bahwa cara terjitu dikejar vampir adalah menahan nafas. Maka
aku menahan nafas, berlari, menahan nafas lagi, bertemu vampir, berlari lagi,
menahan nafas. Sampai akhir usahaku menahan nafas, aku ingat bahwa ini hanyalah
mimpi, seharusnya aku tidak mati dalam mimpi. Tapi aku lebih baik mati menahan
nafas dalam mimpi daripada mati digigit vampir dalam mimpi. Aku berpikir
setelah aku mati di dalam mimpi, aku pasti akan bangun karena cerita tamat.
Lantas aku terus menahan nafas sampai rasanya kepalaku pusing dan otakku
memberitahuku bahwa aku sedang benar-benar menahan nafas ... saat aku bangun
seketika aku langsung ngos-ngosan. Menyebalkan. Ngapain aku nahan nafas sebegini
lama ketika tidur.
Ternyata bukan hanya film horor yang seharusnya aku hindari, tapi
juga action. Entah sudah
berapa kali aku mimpi dikejar orang. Dari mulai dikejar penjahat sampai aku
yang menjadi penjahat. Seharusnya tidak secapek itu dikejar-kejar orang dalam
mimpi jika bukan karena semua emosi yang aku rasakan sangat jelas, bahkan semua
adegan, semua alur, semua figur mimpi. Rasa takut, cemas, marah, bingung,
sampai kehabisan nafas rasanya nyata. Sial. Bisa berimajinasi dengan detail
sangat berguna ketika menulis novel, tapi kalau sampai mimpi pun dibuat serasa
nyata itu sungguh sangat amat mengganggu. Sampai sekarang aku menonton film action hanya jika jalan ceritanya bagus, tapi
tetap saja rasanya ingin memprotes jika ada adegan kejar-kejaran. Harry Potter
dikejar pelahap maut. Katnis Everdeen dikejar pemain hunger games lainnya. Frodo dikejar anak buah
Sauron. Four dikejar mogadore. Trish dikejar anti-divergent. Jack Sparrow
dikejar Davy Jones.
Lalu siapa yang memburuku di alam mimpi? Imajinasiku sendiri. Kita
tahu bahwa mimpi adalah hasil dari gelombang otak (brainwave) dan gelombang otak itu tidak hanya menunjukan kondisi pikiran
dan tubuh seseorang, tetapi juga distimulasi oleh kondisi mental dan emosional.
Ketika tertidur dan bermimpi, yang bertanggung jawab mengatur gelombang otak
kita adalah gelombang alfa. Aku bisa mengingat mimpi-mimpiku karena kualitas
gelombang alfa yang baik. Trims, Alfa, tapi lain kali jika aku bermimpi buruk
segera buat aku lupa isi mimpi itu.
Hal paling menyebalkan ketika bermimpi adalah kamu sadar bahwa itu
mimpi tapi kamu tidak bisa bangun. Aku selalu khawatir tragedi 'susah bangun'
ketika aku SD kembali terulang. Maka aku selalu membiarkan adegan kejar-kejaran
di mimpi berlanjut daripada frustasi karena nggak bangun-bangun.
Ketika masuk pesantren aku jarang mengalami mimpi aneh. Mungkin
karena aku jarang ketiduran menjelang tidur panjang, yang mana jadi lupa berdoa
dan tak sempat wudhu. Mimpi-mimpi masih ada, tapi tak semengganggu ketika SD.
Hanya saja aku pernah mengalami kejadian aneh ketika tidur. Tepatnya ketiduran.
Saat itu Kamis malam, kami semua berkumpul di asrama bawah untuk menonton teve.
Setiap kamis sore sampai Jumat sore kami dikasih pinjam teve oleh ibu asrama.
Aku yang nggak kebagian tempat duduk nekat naik lemari, menyimpan kerudung di
sampingku untuk persiapan ke kamar mandi sebelum tidur. Aku tidak sadar kalau
aku ketiduran sampai keesokan harinya ketika bangun aku sudah ada di asrama
atas, dengan kasur lipat yang sudah jadi alas, bantal dan selimut, tak lupa
kerudungku tersimpan rapi di pinggir bantal. Lalu aku mendapat cerita dari
temanku bahwa semalam mati lampu dan seisi asrama bubar jalan dengan memakai
senter. Bagaimana ceritanya aku bisa turun dari lemari dan berpindah dari
asrama ke bawah ke asrama atas tidak ada yang tahu. Aku juga tidak tahu. Tidak
ingat. Kemungkinan logisnya satu, aku sleep
walking lagi.
Namun aku tidak pernah mengalami lucid
dream lagi. Aku juga hampir
menganggap mimpiku biasa saja. Mimpi horor dan kejar-kejaran sudah biasa.
Lagipula aku sudah terbiasa membaca doa sebelum tidur. Bukan doa pendek bismika allahuma ahya wa amut.
Aku membaca doa panjang yang diajarkan ketika di asrama, allahuma aslamtu nafsii ilaika, wa
wajjahtu wajhi ilaika, wa fawwadtu amri ilaika, wa alja'tu zahri ilaika,
rogbatan warohbatan ilaika, laa maljaa'a, walaa manja minka ila ilaika, aamantu
bikitaabikallazi anzalta wanabiyyika llazi arsalta. Tentu saja berdoa
sebelum tidur membuat kita lebih tenang, gelombang yang terpancar ketika kita
sedang mengantuk penuh dengan doa pengharapan.
Ketika memasuki masa aliyah tidak ada gangguan mimpi yang aku ingat. Hanya saja
ada mimpi bertemakan sama yang aku benci. Aku pernah pindah-pindah sekolah
ketika tahun 2007-2008. Dari Soreang, aku ke Tarogong, balik lagi ke Soreang,
lalu pindah lagi ke aliyah di Garut. Sejak saat itu aku sering bermimpi kembali
pada adegan dimana aku pindah sekolah lagi ke Soreang, berkali-kali mimpi itu
datang sejak aliyah, bahkan sampai aku masuk kuliah. Pernah aku bermimpi dimana
aku balik lagi sekolah ke Soreang dan aku merasa heran sendiri karena aku sudah
kuliah di Unpad. Akhirnya dalam mimpi tersebut aku sekolah lagi di Soreang
sekaligus jadi mahasiswa Unpad. Rasanya jengah.
Ternyata gelombang otak tidak hanya berfungsi menjadikan daya
imajinasku menjadi baik, tapi juga membuat otakku menyimpan emosi-emosi dalam
kenangan yang tidak aku suka. Lalu kenangan itu muncul dalam mimpi. Maaf, tapi
aku harus katakan bahwa itu menyebalkan.
Lantas bagaimana ketika aku kuliah? Mimpi-mimpi berpola kembali ke
masa lalu masih ada sampai aku kuliah. Sepertinya aku dihantui oleh rasa
bersalah pada masa laluku sendiri sehingga aku kembali lagi dan lagi kesana.
Hanya saja aku mulai tidak sadar bahwa aku sedang bermimpi.
Namun ada mimpi yang lebih mengganggu lagi dari sekedar kembali ke
masa lalu. Mimpi yang berisi emosi-emosi negatif selama aku di BEM. Puncaknya
adalah ketika aku sedang di Cicalengka, aku bermimpi bersama temanku di BEM dikejar orang dengan pistol. Aku mengenal
orang tersebut. Orang yang kehadirannya saja mampu membuatku ingin tenggelam menembus
lantai Sekre. Mungkin ini terdengar konyol, seharusnya ini mimpi biasa saja
karena aku sudah biasa mimpi dikejar orang. Tapi dalam mimpi itu aku begitu
takut dan panik sampai ketika terbangun aku menangis histeris. Sejak saat itu
aku merasa BEM bisa membuatku tidak waras.
Selama itu pula aku hampir mengalami sulit tidur. Bukan insomnia.
Hanya tidur yang kurang berkualitas. Aku masih bisa tidur tapi tidak bisa cepat
jika sebelumnya otakku baru saja bekerja maksimal. Misalnya baru mengurusi
Proker, mengerjakan resume tutorial, menulis. Yang paling menguras gelombang
otak sebenarnya menulis. Maksudku berimajinasi, you know ... mengarang-ngarang. Akhirnya
aku belajar 'memaksa tidur'. Aku tidak bisa tidur dengan musik. Bunyi-bunyian
malah akan membuatku tersadar. Aku memaksa tidur dengan ... tidur. Memejamkan
mata bermenit-menit, sampai aku sering berpikir dalam tidur. Apakah aku sudah
tidur? Belum? Aku masih mengoceh dalam pikiran. Apa aku masih tersadar? Atau
sudah tidur? Suara apa itu? Ah, kenapa aku tidak tidur-tidur? Dan aku tahu jika
aku membuka mata maka aku gagal.
Menghitung domba dalam hati malah membuatku terjaga. Membaca
adalah aktivitas dengan lampu terang, aku harus tidur tanpa cahaya. Membaca
doa-doa lain membuat pikiranku sama sibuknya. Maka yang aku lakukan
ketika memejamkan mata tidak terlalu sukses membuatku tidur adalah menenangkan
pikiranku. Aku memberi sugesti kepada pikiranku sendiri untuk berhenti membuat
otakku bekerja. Awalnya aku memakai teknik melamun. Setidaknya melamun membuat otakku
lebih ringan daripada mengingat hasil rapat tadi sore atau isi resume besok
pagi. Namun lamunanku sering berlanjut dalam mimpi. Itu membuatku jadi merasa
tidak tidur sama sekali. Akhirnya aku memakai teknik lain, mengosongkan diriku
sendiri.
Kamu sering lihat di teve bagaimana roh manusia terangkat dari
jasadnya ketika bermimpi. Itu yang aku rasakan. Awalnya hanya otak/pikiran. Aku
berusaha mengosongkan pikiranku dengan cara meninggalkannya. Itu seperti ...
otakmu menggoda untuk bekerja dan kamu mengabaikannya. Kamu berfokus pada
pikiranmu tapi untuk mengusir apa yang sedang nangkring disana. Aku tidak
pernah dihipnotis jadi tidak tahu bagaimana rasanya mengosongkan pikiran. Tapi
dalam proses mengendalikan gangguan mimpi itu aku tahu rasanya seperti ...
kosong. Mesin-mesin yang memberati otak kita diangkat dan itu ditandai dengan
kepalamu yang merasa ada badai kecil di otak, lalu berdenyut pelan di kepala
bagian atas telinga, dibantu dengan bola mata yang berputar cepat ke dalam
(mungkin ini namanya Rapid Eye Movement atau REM dan aku sering merasakan REM
secara sadar). Selanjutnya aku akan merasakan tubuhku merinding, bukan
merinding kedinginan, tapi seperti ada udara halus yang terangkat dari tubuhku.
Saat itulah aku tahu bagaimana rasanya seperti roh terangkat dan melumpuhkan.
Saat proses itu terjadi, jika aku berinisiatif gerak sedikit saja maka proses
menuju tidur akan gagal. Aku akan tersadar. Tidak mudah menahan diri untuk
tidak bergerak saat proses sadar tak sadar itu berlangsung, aku merasa pegal
sekaligus tak nyaman, ingin segera tak sadar tapi masih sadar.
Begitulah yang aku alami selama kuliah. Proses tidur paksa. Maka
aku tidak heran jika beberapa orang selalu menganggap mukaku terlihat pucat.
Sampai pada suatu ketika aku mengoceh tentang mimpi di twitter,
salah satu teman aktivisku dari UPI memberitahuku mengenai film Inception yang
sepertinya bisa menjelaskanku mengenai gangguan mimpi. Saat itu aku langsung
mencari film tersebut. Aku butuh kemungkinan, meski itu tidak masuk akal. Dan
dari film itulah aku tahu mengenai lucid
dream.
Penjelasan singkatnya, lucid
dream atau mimpi sadar adalah
kondisi dimana kamu menyadari bahwa kamu sedang bermimpi. Tentu saja itu
membuatku ingat dengan pengalamanku ketika SD dan juga mimpi-mimpi yang seolah nyata
dimana ketika terbangun aku merasa baru saja dilempar dari dimensi lain dan
mengalami semua kejadian di mimpi secara nyata. Akhirnya aku mempelajari lucid dream, membaca berbagai
artikel mengenai mimpi. Tidak, aku tidak gila. Tidak mengalami gangguan tidur
berlebihan. Aku hanya terlalu antusias untuk mengetahui apa yang terjadi pada
diriku yang mungkin juga terjadi pada banyak orang.
Maka sejak saat itu aku belajar menguasai tidur dan mimpiku. Aku
juga menghindari emosi-emosi yang berlebih karena hal itu akan
mengejar-ngejarku di alam mimpi. Seperti saat aku selalu menghindari satu dosen
dan merasa apes karena beliau menyandera nilaiku di semester lima, karena
firasatku tidak enak aku selalu menghindari dosen tersebut sampai aku hampir
tidak bisa yudisium karena tidak ada nilai darinya. Aku sadar aku agak
keterlaluan, seharusnya aku menemuinya di semester lima tapi aku baru
menemuinya di semester delapan. Setahun setengah aku menghindari dosen
tersebut, selama itu pula dia menjadi mimpi burukku.
Itulah kenapa aku semakin berusaha keras menjadi anak baik, tanpa
konflik, tanpa beban pikiran berlebih, tanpa emosi berlebih. Lebih karena aku
menjaga diriku sendiri dari ... dari pikiran-pikiranku sendiri.
Maaf, tulisan ini bersambung karena aku merasa lapar. Aku bilang juga apa, menulis selalu menjadi pekerjaan yang menguras otak lebih besar. Dan selain belajar mengendalikan mimpi, aku sudah belajar mengendalikan lapar sejak SD. Jadi, jika aku merasa lapar berarti aku benar-benar sangat lapar. Tentu saja, sudah dua hari aku tidak menyentuh nasi ...
Bersambung.