Belajar tentang pengasuhan, orang pertama yang menjadi guru kita adalah orangtua. Tapi mengenai menyapih, aku tidak bisa belajar lebih banyak lagi pada ibuku karena aku disapih dengan terpaksa. Saat usiaku 7-8 bulan, ibuku sudah sering menginap di Rumah Sakit untuk mengurus Bapak sampai akhirnya meninggal. Dan di tahun yang sama juga, nenekku meninggal. Jadi di tahun pertama usiaku adalah tahun kedukaan ibuku. Maka, ibu selalu mengatakan bahwa di usia entah 1 atau 1,5 tahun aku sudah berhenti menyusui.
Namun, saat kakak-kakakku menyapih anak-anak dengan bantuan ibuku, kurang lebih aku bisa menyimpulkan bahwa ibu memakai metode pemisahan ibu dan anak. Metode ini dianggap paling masuk akal, karena jika ingin anak berhenti menyusui maka jangan biarkan anak tidur dengan ibunya minimal 3 hari. Mengingat ibuku adalah seorang wanita bekerja, urusan menyapih dengan metode ini menjadi mudah dan wajar karena sudah terbiasa memiliki support system yang dipercaya baik oleh ibu maupun anak. Namun, dari lima anak perempuan ibuku, empat diantaranya adalah ibu rumah tangga yang full hands-on dengan anak. Menurutku, itu menambah tantangan dalam proses menyapih anak.
Dimulai dari Fayda.
Ketika usia Fay 19 bulan, aku mulai hamil anak kedua. Jadi, kami mulai memikirkan untuk menyapih lebih awal. Kurang lebih karena parno, ya, dengan info-info bahwa menyusui bisa menimbulkan kontraksi atau jika gagal menyapih anak pertama maka aku akan tandem menyusui dua anak.
Karena saat itu aku masih tinggal dengan mertua, maka aku mendapat saran dari Nenek Mertua untuk menyapih pakai metode pahit-pahitan. Asumsiku, ya, karena ibu mertua dulu juga ibu rumah tangga maka memang menyapihnya jadi harus lebih dipaksa. Saat itu aku sudah tahu tentang kampanye 'menyapih dengan cinta' atau Weaning with Love (WWL), cuma belum percaya diri mencobanya karena untuk anak kok coba-coba sementara di rumah itu ada yang lebih ahli tentang pengasuhan anak.
Jadi kucobalah pahit-pahitan itu, dimulai saat usia Fay 20 bulan, dan gagal.
Sebulan kemudian, aku mulai memberanikan diri untuk WWL.
Beberapa prinsip WWL yang aku praktikan:
1. Komunikasi
Aku percaya saja kalau Fay mendengarkan dan mencoba untuk memahami. Jadi ketika akan memasuki proses menyusui diingatkan, "Kakak kalau lapar makan, ya, bukan mimik. Kalau haus minum, ya, bukan mimik. Kalau ngantuk tidur, ya, bukan mimik." Walaupun masih tetap disusui juga.
Lalu kalimat penguat, "Kakak udah nggak butuh mimik sebenarnya, Kakak butuhnya Umma."
Sampai ke membangkitkan semangat, "Kakak sudah besar, ya, sudah bukan bayi. Kalau sudah besar nggak mimik, mimik buat adik bayi."
Dan juga jujur sama Fay, "Kak, mimik Umma sudah habis. Kalau Kakak masih mimik terus rasanya sakit."
2. Tidak menawarkan, tapi tidak menolak
Memasuki usia 2 tahun itu, Fay memang hanya menyusui ketika mengantuk. Jadi ketika sudah jam tidur, masuk kamar, maka Fay sudah terbiasa bahwa itu adalah waktunya menyusui walaupun tidak ditawarkan. Disitulah tantangannya. Aku memang tidak menolak tapi tetap teguh memberikan sugesti pada Fay bahwa dia sudah tidak butuh mimik. Sampai akhirnya Fay merasa sendiri bahwa Umma-nya sudah tidak enjoy menyusuinya.
3. Biarkan kenyang, lelah, lalu ngantuk
Ini juga susah sebenarnya karena pada dasarnya Fayda itu cepat kenyang, cepat lapar, dan makannya sedikit-sedikit. Untuk urusan lelah juga energinya banyak. Jadi, tidak bisa berharap Fay ngantuk jam 8 lalu waktu menyusuinya sebentar. Jika mau menyusuinya sebentar karena dia mengantuk, aku bisa tunggu sampai jam 10 malam.
4. Berikan lebih banyak kasih sayang
Bagian ini memang paling wajib, karena selain akan disapih dia juga akan mendapatkan adik baru. Hal ini juga yang membuatku gigih untuk menyapih dengan cinta, karena selain memang waktunya disapih, aku juga harus memastikan Fayda ngga merasa sakit hati saat diminta berhenti menyusui.
Lalu di usia berapa tahun tepatnya Fay berhenti menyusui? Tiga bulan kemudian, tepat 24 bulan alias 2 tahun. Karena selama 3 bulan itu aku merasa tidak ada kemajuan sementara kehamilan sudah membesar, dan aku juga merasa kurang tegas, maka aku bertekad kalau di usia 2 tahun Fay belum berhenti juga, maka aku akan pakai metode ibuku dengan pemisahan atau metode nenek mertua dengan pahit-pahitan.
Siang itu, di Garut, saat persiapan menikah adikku, Fayda sudah mengantuk dan merengek minta mimik. Seperti biasa, aku sounding dulu kalau hari ini dia tepat 2 tahun dan sudah nggak butuh mimik. Aku mulai rencana pertama, yaitu pakai lipstik. Padahal sebelumnya sudah pernah coba dan nggak berhasil, tapi ya sudah lah coba lagi.
Dan ... hari itu berhasil. Aku nggak berbohong bahwa itu darah, bahkan aku pakainya di depan Fay sambil bercanda. Fayda menunjukan ekspresi jijik dan nggak mau mimik. Lalu dia memilih tidur siang sambil pegang cemilan.
Tapi apakah memang keberhasilah hari itu karena coretan lipstik? Menurutku nggak. Hari itu adalah akumulasi hari-hari Fayda selama 3 bulan aku sounding tentang nggak butuh mimik. Dan dia hanya perlu satu momen yang meyakinkannya bahwa oke hari ini aku berhenti. Sejak saat itu Fayda berhenti mimik sama sekali. PR selanjutnya adalah menidurkan Fayda yang kadang sukanya sambil digendong (hadeuh perut tekdung gendong bayi).
Mempraktekkan WWL dengan paripurna memang sulit, tapi setidaknya kita bisa berusaha memakai prinsip-prinsipnya yaitu komunikasi, tidak menawarkan, tidak menolak, berikan lebih banyak kasih sayang, dll. Dan aku percaya WWL ini sangat bisa dipraktekkan jika memang kita akan sabar sampai usia berapa pun anak mau berhenti. Untukku sendiri, ketika menyapih Fay memang dikejar waktu melahirkan, dan ketika menyapih Ara hal yang membuatku memutuskan cukup 2 tahun adalah, ya, waktunya sudah selesai saja. Jujur, bagiku menyusui itu menyita waktu. Apalagi jika ternyata anaknya sudah tidak perlu disusui.
Nah, untuk Ara, aku baru memulai sounding pas di usianya yang 2 tahun. Kurang lebih sama seperti Fayda tapi nggak pakai pahit-pahitan sama sekali karena saat itu aku sudah tinggal di rumah sendiri. Ya, mempraktekan ilmu parenting sendiri memang lebih mudah ketika tinggal di rumah sendiri. Di usia Ara 2 tahun, aku pernah coba pakai lipstik lagi tapi gagal ... karena itu malah membuat Ara marah-marah dan makin merengek. Jadi, aku nggak pernah mencobanya lagi. Maka, aku full pakai komunikasi dan memperbarui cara menidurkan. Tapi ternyata Ara nggak suka ditidurkan dengan cara digendong dan diusap-usap. Nggak mau ada suara, disenandungkan, murottal maupun musik instrumental.
Aku sudah mau pasrah dan menyerahkan semua ke Ara, terserah mau berhenti mimik di usia berapa. Tapi di usia 2 tahun 3 bulan, muncul momen dimana saat menyusui Ara hendak tidur, dia bercanda-canda dengan kakaknya. Lalu aku lepas dan tegur Ara, "Dede kalau masih mau main, nggak usah mimik." Maksudku, kan, ya udah main aja dulu kalau belum ngantuk. Biar aku juga bisa ngerjain yang lain. Tapi habis itu Ara nangis karena merasa dimarahi, dan sejak saat itu dia berhenti mimik. Sama sekali.