21 May 2014

Belajar Jadi Anak Baik yang Manis

Hai, blogspoooooottt!!

Aaah, ini dia. Saat dimana saya bisa geje teriak-teriak dalam tulisan. Nggak sok drama dan sok bijak kayak tulisan-tulisan saya di tumblr. Kkkk .... Well, beberapa hari lalu teman saya yang bernama Hamdan (I know you always read my post :p) bertanya kenapa saya jarang nyampah lagi di blog. Haah, mungkin karena urusan poligami antara blogspot dan tumblr ini masih dalam perenungan. Ceritanya saya mulai merasa sedikit nyampah di tumblr, kalau sudah begitu mending saya lalalala yeyeye di blogspot :p.

Banyak yang terjaid akhir-akhir ini. Termasuk penelitian saya yang nggak kelar-kelar. You know what?!! Selepas UP saya ganti judul 3 kali. Pertama, disaranin dosen penguji. Udah diubah tuh, dikasih ke dosen pembimbing, kata dosbim jangan yang ini ganti ... heuh ... oke, maka saya ganti. Udah acc. Saya kasih ke rumah sakit. Jangan yang ini ... ganti ... Gusti ... kenapa harus ada skripsi di dunia ini. Rrrhhh ... Saya mending riset buat novel deh, nggak perlu pake bimbingan ke orang.

Beberapa waktu lalu ibu teman saya, Jhovy, meninggal. Asli, saya ikut down waktu itu. Mungkin itu juga alasannya kenapa saya jadi macet nulis di blogspot, karena saya lagi down.

Saya datang ke wisudaannya Kang Dadieh setelah selesai membuat skenario film pendek. Dan yeaaay, filmnya bagus, menang. Fiks, gue keren! Di wisudaannya Kang Dadieh, akhirnyaaaa, bertemu Kang Sayyidi setelah dua tahun tidak pernah bertemu. Huah, berasa bertemu sama orang tua yang melepas anaknya merantau.

Lalu ... saya tidak ingat apa yang terjadi selama saya menepi dari blogspot. Beberapa hari yang lalu saya makan empek-empek di Bandung sama Jhovy dan Abu. Sebelumnya juga main ke rumah Jhovy sama Kang Rendi, Kang Dadieh, Abu, Riri, Bella, Restu, Ninis, siapa lagi? Udah ya? Jhovy kan brader banget dan baik banget. Jadi karena saya sedang belajar jadi anak baik yang ramah dan care, saya belajar melalui Jhovy gitu. Oke, udah berapa kali nama Jhovy disebut di postingan ini -_-"

Dua hari yang lalu saya menemani Sinta, aktivis kolaborasi, untuk melakukan penelitian ke rumah sakit. Terus kita berceloteh riang dan gembira sepanjang perjalanan. Membicarakan apalagi kalau bukan BEM :p

Tadi juga saya makan bareng sama Fikri, Bella, Giri, Kang Hadiyan, dan Kang Dadieh. Makan jam 7 dan selesai jam 9. Saya nggak terlalu ingat apa saja yang kita diskusikan. Yang jelas, yang saya ingat jelas, adalah ada perasaan takut bersosialisasi lagi yang muncul secara tiba-tiba. Seolah-olah ada monster dalam diri saya yang memberontak ingin keluar setelah saya alienasi di gua. Setelah menyepi, nggak ketemu siapa-siapa, mengabaikan semua orang. Ini seperti kejadian ketika saya menarik diri dari teman-teman pesantren. Tiba-tiba ada keinginan yang sangat besar untuk jadi antisosial (lagi).

Bukan hal aneh, saya pernah (cenderung sering) menghilang nggak jelas. Tapi saya sudah tobat sejak ... ya, sejak itu ...

OH IYA! *mendadak bersemangat* Tadi tiba-tiba saya terpancing mengeluarkan kegelisahan saya selama ini di hadapan Bella *tsaaah*, yaitu pemikiran bahwa sesungguhnya saya sudah mulai menganggap bahwa menikah adalah sesuatu yang menakutkan.

Nggak kebayang aja, kita harus hidup bertahun-tahun dengan orang yang itu lagi itu lagi. Harus berbagi, harus minta izin atas segala sesuatu, harus terikat. Aku cuma baru inget kalau aku orangnya (sedikit, iya sedikit kok kayaknya) susah diatur. Bagaimana kalau ternyata hidup berdua dengan orang lain malah jadi ladang dosa buat saya? Kayaknya saya mulai ikhlas lillahi ta'ala kalau saya ditakdirkan jadi kayak Robiah Al Adawiyah.

Coba pikir tentang cara hidup saya dulu. Ketika SD saya sering kabur-kaburan. Yeah, kabur boongan sih. Minggat dari rumah tanpa pamit tapi akhirnya balik lagi. Pft ... Dan sangat sering berkeinginan untuk bolos sekolah dan bolos ngaji. Cengeng tapi pemarah. Di asrama saya termasuk ke dalam geng orang-orang trouble maker, tukang rusuh, cenderung terkenal karena dua hal 'Sarah yang pinter itu loh' dan 'Sarah yang sering banyak masalah itu loh'. Kayaknya teman-teman seangkatan saya akan selalu mengingat kejadian dimana saya ada masalah sama seorang Ustad sampai Ustad tersebut nggak mau ngajar selama dua minggu. Atau momen dimana ketua angkatan kami (yang juga jadi ketua di sekolah, kayak OSIS gitu lah), pernah jatuh sakit karena saya yang sering nyari masalah sama dia. Sampai yang ngemediasi minta dengan sangat saya mau berdialog dengan sang ketua. Lalu, anak baru yang juga pernah ada masalah sama saya hanya karena saya nggak suka sama sikapnya yang songong abis. Astagfirullah ... orang macam apa sih saya ini -_-

Jadi gini ... berbicara tentang hubungan sosial, tadi saya sempet kesentil (ketendang ke jurang abis gitu sih) ketika teman-teman saya membahas hubungan saya sama Teh Farah, rekan saya di organisasi tahun lalu. Kang Hadiyan, Kang dadieh, dan Fikri mengulas masalah kenapa saya dan Teh Farah nggak bisa jadi soulmate yang akrab, gadis manis yang menyenangkan, dan semacamnya. And you know what ... dari situlah monster dalam tubuh saya mengoyak-ngoyak tubuh saya. Ada perasaan gila dimana saya ingin menggebrak meja, meminta mereka diam, melempar gelas, berteriak, dan saya minggat. Ada perasaan marah, kesal, campur pengen nangis kayak anak kecil yang memohon ... please, jangan dibahas. Kalian tuh lagi nikam belati di tubuh saya kalau bahas ini. Bahkan sampai kosan rasanya saya jadi gila dan pengen nangis di depan laptop. Lebay, iya saya kan memang lebay orangnya.

Apa yang membuat saya seperti itu secara tiba-tiba? Sejak saya mengalami, emh ... anggaplah trauma, dengan kasus-kasus saya di asrama, saya sudah bertekad bahwa saya akan jadi anak baik, gadis manis, teman yang menyenangkan. Saya tidak akan (mengulang) menjadi pemeran antagonis dalam kehidupan sosial. Dan itu adalah hal yang sangat, sangat, sangat, sangat sulit untuk seorang Sarah Nurul Khotimah. orang-orang meminta saya sabar saat saya tidak tahu kenapa saya tiba-tiba meledak marah. orang-orang meminta saya bersikap manis saat saya sama sekali tidak punya alasan untuk berbaik-baik ria. saya tidak tahu caranya jadi anak ramah yang manis. saya tidak pernah diajarkan bagaimana caranya jadi anak baik. saya dibesarkan dengan amarah. saya dibesarkan dengan ansos. saya belajar sendiri dengan saya yang apa adanya. rusak, katakan saja rusak. atau saya yang mentah.

Maka ketika menyebut-nyebut hubungan saya dan Teh Farah yang menurut mereka bisa lebih baik jika saya berkelakuan baik, rasanya monster yang sudah saya kerangkeng erat dalam diri saya tiba-tiba mengamuk di balik lapisan-lapisan tubuh saya. SAYA SUDAH BERUSAHA KERAS DAN ANDA MASIH BILANG "KENAPA" BISA BEGINI? "KENAPA" TIDAK BEGITU?

Alhamdulillah, saya tidak meledak saat itu. Beberapa menit setelahnya perasaan saya lebih baik bahkan berjingkrak-jingrak, yeaaaah, saya nggak meledak marah. Let's laugh, laugh, and laugh ... Fiks, gue keren banget! Hanya ada insiden kecil ketika saya mendorong keras tangan Bella yang sedang merangkul saya. Itu lebih baik daripada ketika saya pernah melempar tempat alat mandi di asrama. Tuh kan .... rasanya ingin menangis lagi mengingat dosa-dosa saya yang bertaburan dimana-mana. Salah satu alasan saya menolak tinggal lama dengan ibu saya setelah dewasa adalah karena saya tidak mau kelepasan marah di hadapan beliau. Umur 16 tahun saya masih sering kabur dari rumah. See, betapa tidak normalnya saya. Tidak heran jika sekarang mendadak saya ketakutan untuk menikah. Bagaimana kalau saya tidak perlu menikah saja. Saya sepakat untuk itu. Sepakat! *tepuk tangan bersemangat*

Hhh, terakhir ... bukan saya membela diri, ataupun menyalahkan, berhipotesis atau asumsi tak berdasar. Jadi gini, rekanku di psikologi pernah bilang bahwa sudah ada penelitiannya mengenai pengaruh ayah bagi karakter anak. Lantas saya berpikir, apalagi anak yang tidak pernah ketemu ayahnya ... pantesan, saya agak aneh. Atas nama ayah saya, saya meminta maaf jika anaknya agak aneh :).
Continue reading Belajar Jadi Anak Baik yang Manis