16 October 2014

Hidup Begini Adanya


Catatan ini aku tulis atas permintaan kawanku yang telah bercerita panjang lebar mengenai hidupnya tapi tidak aku respon sama sekali. Akhirnya dia memintaku menulis agar dia tahu apa yang harus dia lakukan. Aku katakan bahwa kemungkinan besar tulisanku tetap tidak akan memberikan solusi apa-apa tapi katanya tidak masalah, setidaknya dia tahu apa yang aku pikirkan. Lalu karena aku sudah panjang-panjang menulis, aku rasa aku share saja disini. Siapa tahu berguna.

--------

“… Lately I’ve been, I’ve been losing sleep
Dreaming about the things that we  could be …”
(Counting Stars - One Republic)

Akhir-akhir ini beberapa undangan pernikahan tidak aku datangi karena tak sempat. Undangan dari adik asuhku di SMA. Teman sekelasku di SMP. Teman SD-ku. Seniorku di Fkep Unpad. Dalam satu bulan ada lima undangan. Dan ada undangan yang ke-6. Adik dari kawan lamaku di Garut. Mendadak, diundang sehari sebelumnya.

Sampai jam 12 siang aku masih berada di Bandung. Ketika jam 2 siang aku harus berangkat ke rumah Kakak ke-1 di Garut, aku pikir sekalian saja. Toh dari rumah kawanku itu ke rumah kakakku hanya 15 menit. Satu pesan aku kirimkan, “Aku masih boleh datang kesana jam segini?”

Dia mengiyakan. Akhirnya aku datang sendirian. Beberapa saat benar-benar disana sendirian karena kawanku pergi bolak-balik mengurusi ini itu. Untungnya aku sudah mengenal keluarganya, meski sudah lama sekali. 2-3 tahun yang lalu. Sampai ibunya mengerutkan kening melihatku.

“Bentar, ini teh siapa?” Dia bertanya, melirik suaminya. “Perasaan kenal, tapi siapa?”

Aku tertawa ramah. “Sarah, Bu.”

“Oh, astaghfirulloh! Sarah … ! Iya, ini teh Sarah. Kenapa makin kecil?” Spontan dia memelukku erat, seperti bertemu anaknya yang hilang bertahun-tahun.

Untungnya adiknya masih mengingatku dengan baik. Meminta maaf karena tidak memberitahuku dan tidak memberi kabar apa-apa. Setelah lulus SMA, dia sempat terputus kontak dengan banyak orang. Lalu aku makan dan duduk-duduk ditemani kakak tiri kawanku.

Seperti memungut kembali kenangan yang berserakan.

Hampir sejam aku disana. Kawanku tak membuang kesempatan kedatanganku yang bisa dikatakan langka. Menahanku sampai resepsi selesai. Biasanya dia sampai harus niat datang ke Jatinangor hanya untuk bicara di depanku atau hanya untuk melihat wujudku yang ada. Tumpahlah semua cerita, keluh kesah, dan semua yang dialaminya. Hari itu aku sukses jadi pendengar yang baik. Hanya mendengarkan.

Coba aku ingat-ingat dulu, kawan saya ini termasuk orang yang radarnya selalu berfungsi untuk menemukanku. Ketika dia masih tinggal di DU, pernah suatu kali aku sedang berada di DU namun ponselku mati sehingga aku pikir tak mungkin menemuinya yang entah ada di DU bagian mana. Sebelum pulang aku mampir ke Warnet untuk mengecek sesuatu. Karena komputernya sulit untuk log in, aku memanggil penjaga kasir. And tadaa … orang di sebelahku tiba-tiba menegur, sepertinya dia mengenal suaraku. Ternyata itu kawanku. Tepat di sebelahku. Tertawalah kita akan kebetulan yang lucu ini. Selama dia tinggal di DU, hanya sekali itu aku bertemu dengannya disana.

Lalu dia mencari peruntungan di Garut. Aku tidak pernah tahu di Garut sebelah mana dia tinggal. Karena sudah bertahun-tahun dia tidak tinggal dengan keluarganya. Dia bisa ada dimana saja. Komunikasi pun sangat jarang. Hampir tidak pernah. Suatu ketika aku tengah mengantar temanku penelitian di Garut. Kita berangkat agak siang karena dia harus bimbingan dengan dosen terlebih dahulu. Ketika kami sudah memasuki daerah Garut, aku bertugas mengawasi jalanan, plang-plang, tanda-tanda, karena kami sama-sama tidak tahu letak Panti Werdha Garut. And tadaa … dari kejauhan aku melihat seseorang keluar dari apotek, menyalakan motornya, semakin dekat aku semakin mengenali sosoknya. Spontan aku berteriak memanggilnya. Gila. Kenapa bisa ketemu dia disini. Akhirnya dia mengikuti motor kami dan menunjukan jalan ke Panti Werdha. Belakangan aku tahu bahwa pada hari itu seharusnya dia sudah pergi ke apotek dari pagi tapi baru sempat ketika siang hari. Tepat saat motor kami melewati apotek. Tepat saat dia baru keluar dari apotek. Bisa gitu, ya.

Pada hari itu pun, saat aku menjadi pendengar yang baik. Ada beberapa kebetulan lagi. Dia memang punya hobi fotografi, belakangan dia jadi founder komunitas fotografi di Garut. Saat itu dia menunjukan kepadaku karya-karyanya yang bertemakan shadow. Foto-foto dreamy/sureal. Aneh, karena baru beberapa hari yang lalu aku memotret bayangan-bayanganku sendiri dan sinar matahari di tembok kamar. Sejak beberapa bulan yang lalu pun, entah kenapa, aku suka memotret awan. Jatuh cinta dengan awan. Lalu saat kita membahas mengenai proses kreatifku membuat tulisan, dia berceloteh tiba-tiba. Aku tidak begitu ingat kalimat-kalimat yang dia ucapkan, namun intinya seperti ini …

“Awan. Terletak sangat jauh. Namun sangat indah. Kita bisa melihatnya setiap saat. Megah di atas langit. Namun sulit untuk digapai. Seberapa tinggi bangunan yang didirikan tak akan bisa menggapai awan. Seberapa tinggi gunung yang didaki, sama saja, awan itu tidak akan pernah bisa kita dapatkan. Itulah kamu.”

Aku tertawa, menyamarkan rasa kagetku akan tema ‘awan’ yang dia ambil. Mungkinkah dia stalking twitter-ku dan tahu aku sedang jatuh cinta dengan awan? Aku seakan disudutkan dengan pesan tersirat, kamu sendiri kenapa menyukai awan? Sudah tahu itu akan sulit digapai. Kamu mendaki gunung yang tinggi hanya untuk mencari awan? Bodoh.

Lalu dia memperlihatkan foto terbarunya. Sebuah gang di Kota Garut, diapit oleh dua bangunan abu-abu yang tinggi berdampingan, hanya menyediakan ruang untuk satu motor. Di depannya sebuah bangunan berwarna putih seolah-olah menutup jalan karena jalan tersebut berbelok di depan. Lalu sisanya jalan setapak dan siluet langit. Aku sendiri tidak yakin warnanya, karena fotonya sengaja bernuansa hitam putih. Pengambilan gambar itu dilakukan saat dia berjalan kaki, menangkap pemandangan, lalu tiba-tiba berjongkok, membidikkan kamera ponselnya. Mengingatkanku akan proyek phonetography-nya Samsung yang diikuti Dewi Lestari.

“Apa ya judulnya? Border of city? Beside of city?” Dia meminta saran.

Center of Urban.” Aku memberi saran sesuai dengan saran awalnya.

“Di tengah kota? Tapi ini pinggiran kota. Keadaan di pinggir kota yang penuh beton.” Komentarnya.

Lama kita berdebat hanya membicarakan judul, lalu berbelok membicarakan hal lain, berputar lagi untuk kembali ke obrolan mengenai judul foto.

“Ini dulu apa judulnya. Saya mau upload di grup komunitas fotografi. Coba lihat lagi. Kira-kira apa judulnya?” Kali ini dia menyerahkan ponselnya.

Aku mengamatinya lebih lama. Melupakan judul-judul awal yang disarankan. Kenapa urusan judul ini jadi begitu rumit. Come on, it’s just title.

“Sesak.” Jawabku singkat.

“Sesak? Heurin?”

“Sempit. Sesak. Kehilangan ruang. Ya, intinya hareurin.”

Dia kembali mengambil ponselnya, mengamatinya ulang. “Bener, ya. Heurin.”

Tanpa pikir panjang dia mengirimkan fotonya, memberi judul foto itu “Heurin.” Menuliskan momen dimana foto itu diambil dan dengan kamera apa foto itu didapatkan. Baru beberapa detik sudah banyak yang me-like, dan satu komentar paling atas yang aku ingat. “Bagus. Heurin-nya dapet.”

Dia pun tertawa. “Benar apa kata kamu. Heurin.”

Judulnya sederhana tapi ngena. Sudah aku bilang hidup itu sederhana. Kamu sendiri yang membuatnya rumit. Dan aku si sederhana yang rumit. Si rumit yang sederhana. Naon lah. Dan tebak-tebakan judul ini mengingatkanku akan Kugy yang menebak lukisan Keenan dengan judul ‘bebas’, dan Keenan ternyata memberikan judul lukisan itu ‘freedom’.

“Kemarin di studio temanku ada novel Partikel.”

“Aku udah baca.” Komentarku pendek.

“Katanya mau terbit lanjutannya ya? Lagi PO.”

“Iya. Tapi aku mau kesana pas launching aja. Sekalian main ke Bandung.”

“Sama siapa?”

“Sendiri. Sama siapa lagi? Biasanya juga sendiri.”

“Kasihan.” Dia tertawa dengan sungguh-sungguh.

“Biar sendiri juga tapi masih punya semangat hidup.”

“Kamu nyindir?”

“Nggak nyindir, keingetan hidup kamu aja.”

Baru saja dia bercerita dari sejak ketika dia memutuskan tidak tinggal lagi di rumah bersama keluarganya (awal kami berdua sama-sama kehilangan kontak). Keluar dari pekerjaannya. Pindah ke Bandung dan mulai dari nol lagi. Mencari pekerjaan. Jadi karyawan, dipecat karena kerjaannya hanya tidur. Menjadi penjual gorengan, berhenti karena tidak laku. Bertemu teman baru dan pindah ke Dipati Ukur. Mulai lagi dari nol. Pindah ke Garut. Mulai lagi dari nol … Kemarin ayahnya sakit dan harus dioperasi. Adiknya yang kabur saat lulus SMA dan sekarang menikah di usia muda. Dia si tulang punggung keluarga yang merasa belum bisa diandalkan keluarganya. Baginya fotografi adalah hidupnya, bagi kebanyakan orang fotografi harusnya hanya hobi baginya. Karena dia harus mencari pekerjaan. Bagiku, dia … manusia super labil dan super nggak jelas yang aku kenal.

Dia berkata, “Tujuan hidup saya sekarang mungkin … hanya ingin membuat something untuk Garut atau menjadi something untuk Garut.”

Lalu kemudian, “Cita-cita saya … mau jadi bos.”

Setelah itu, “Yang saya bayangkan saya mau memiliki kafe sekaligus kantor, kantor yang ada kafenya. Di atasnya baru rumah. Minimalis.”

Dan tiba-tiba, “Saya sudah cape punya mimpi, punya rencana. Setiap bangun tidur rasanya saya nggak ada harapan apa-apa. Setiap punya rencana kayaknya ‘gagal’ udah nungguin.”

Akhirnya, “Saya lagi pengen ngerasain gagal yang segagal-gagalnya dulu sekarang. Seperti kata kamu, saya sedang menghabiskan jatah gagal saya dulu.”

Sebenarnya dia tidak separah itu. Kata salah seorang partner-nya, Garut sekarang bangga punya anak itu.

Dia pemuda yang punya semangat juang sekaligus paling rapuh. Komunitas fotografinya menjadi komunitas nomor satu yang diminati banyak orang. Dia bisa diandalkan untuk setiap event. Ada beberapa video hasil proyek kegiatan fotografinya di youtube, dan menurutku itu keren. Sesuatu yang biasa aku bilang ‘full of passion’. Tapi aku sendiri tidak tahu dimana celah yang membuat dia selalu bergerak stagnan. Dia sendiri tidak bisa menemukannya, apalagi aku.

Saya mendengarkan ceritanya, duduk tenang, bersandar, dan … melipat tangan. Berkomentar, bergumam, menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh dijawab, membantu memikirkan kemungkinan. Selamat, saya bisa menjadi pendengar yang baik. Karena baginya aku orang yang tertutup (padahal menurut teori aku dominan extrovert). Tentu saja untuk orang yang baru aku temui, meski kawan lama, aku tak begitu suka ditanya tentang diriku sendiri. -Sibuk apa sekarang?- Ya, gitu. - Gitu gimana?- Nggak gimana-gimana, gitu aja. -Gimana nulisnya?- Gitu-gitu aja. -Udah ngelamar kerja kemana?- Nggak kemana-mana. -Ada proyek apa lagi?- Ya, ada beberapa. -Ada teh apa?- Ya, ada lah pokoknya. (Kayaknya dia greget pengen noyor kepalaku).

Perlu bermenit-menit dan pertanyaan berulang-ulang sampai akhirnya aku nyaman bercerita tentang diri sendiri. Itulah kenapa dia lebih senang membaca tulisan-tulisanku. Katanya, dalam tulisan aku lebih jujur dan terbuka. Dalam tulisan aku menjadi diriku sepenuhnya yang begitu bersahabat. Aku nyata di tulisan, palsu dalam realitas. Mungkin seperti itu.

Kisahnya tiba pada masa saat seminggu yang lalu, saat dia meneleponku tiba-tiba ketika aku baru turun dari Gunung Gede.

“Saya lagi di mobil, maaf ya, nanti telpon ulang.” Klik. Saya tutup.

Ternyata saat itu dia tengah terperosok dalam kesulitan yang begitu dalam. Dua minggu tanpa uang. Makan entah dapat dari mana. Motornya kena tilang, belum bisa diambil, ga ada uang. Di kosan hampir diusir karena nunggak, ibu kosan sempat menggulung kasurnya dan mengeluarkan barang-barangnya. Event-nya akhir bulan ini masih kurang peserta, yang berarti biayanya nombok sekitar 2juta. Komputer dan kamera dia jual untuk membayar hutang.

Ini yang namanya sesak. Sempit. Heurin. Sesak sampai bernafas pun rasanya enggan, karena begitu sakit. Hidup begini adanya, Kawan. Dia tengah berada di titik nol. Minus.

Pantas saja sepanjang minggu itu dia tidak kembali menghubungiku sama sekali. Aku rasa saat itu dia mulai sadar betapa egoisnya aku. Kawan sedang terpuruk, aku malah berkeliaran di gunung. Pantas saja aku menjadi orang terakhir yang dia undang ke pernikahan adiknya. Mungkin tadinya dia tidak berpikir sama sekali untuk mengundangku. Sayangnya aku datang memenuhi undangan yang mendadak.

Dengan mendengar cerita itu, dan juga sebenarnya beberapa cerita teman kampus lain yang sejenis, aku jadi merasa kondisiku yang labil antara berkarir dan melanjutkan kuliah adalah kegelisahan yang tidak ada apa-apanya. Belakangan ini aku pusing karena ibu berat mengizinkanku bekerja, apalagi di luar Bandung/Garut. Di tambah keadaannya yang lemah dan rawan sakit. Setiap mencuci baju, pasti ada noda darah di kerudung atau bajunya. Nikah,  nikah, nikah, aku sampai sakit kepala karena ibu terlalu sering menyinggungnya. Sampai kadang aku menutup pembicaraan dengan kalimat, ‘Ya sudah, Mamah saja yang nikah.’ Sementara kawanku ini, menikah adalah pembicaraan ke sekian puluh sekian. Karena bahkan baginya, jatuh cinta saja merupakan birokrasi yang menyusahkan. Pamungkas, mungkin dia akan memikirkannya tiga atau empat tahun lagi. Well, kenapa aku menyinggungnya juga?

“Saya nggak mau kamu ikut kepikiran, tapi saya butuh teman cerita.” Sambungnya. “Saya nggak bisa cerita sejujur ini ke orang lain.”

“Kepikiran pun saya nggak tahu solusinya. Karena untuk diriku saja, solusi selalu hadir sama misteriusnya dengan masalah yang datang.” Saya mengatakannya sambil mengingat masalah terakhir yang saya hadapi, saya sampai konsultasi dengan dua teman saya di Unpad. Fauzan dan Jhovy. Tapi solusi tidak hadir melalui orang yang saya kira. Tidak juga dalam bentuk yang saya harapkan. Solusi itu hadir tiba-tiba, bahkan aku hampir tak mengenalinya (apa ini si solusi yang saya cari?) seperti masalah yang saya pikirkan secara tiba-tiba pula. Maaf, Kawan, hidupku memang terlalu penuh dengan spontanitas.

“Kamu kenapa, sih, kalau aku lagi cerita responnya cuma diem? Suka tiba-tiba hening.”

“Aku emang pendiam.”

“Nggak. Kamu bukan pendiam. Judes.”

“Aku nggak judes. Aku baik.” Aku mencoba membela diri seperti biasa meski entah berapa orang yang sudah berkomentar aku judes, jutek, ketus.

“Kalau menurut kamu saya orangnya pede (percaya diri)?” Tiba-tiba dia meminta pendapat.

“Ya, pertama kenal begitu. Lebih kayak belagu, sih.”

“Terus menurut kamu saya orangnya minder?” Dia bertanya lagi.

“Iya.” Jawab saya yakin.

“Kok bisa saya pede sekaligus minder?”

“Ya … ada masa dimana orang memiliki perasaan ekstrim yang sama. Seperti bipolar. Seperti saya. Saya bisa cuek dengan perasaan secuek-ceuknya. Tapi saya bisa sensitif sesensi-sensinya.”

Tentu saja dia begitu, bagaimana bisa dia bercerita ingin jadi bos, berguna buat Garut, memiliki kafe-kantor, sekaligus bercerita sudah tidak berani bermimpi lagi.

“Saya lagi minder-mindernya sekarang. Cuma ke kamu saya nggak minder buat cerita semua ini. Karena kamu teman saya yang sudah tahu gimana saya sampai ke buruk-buruknya.”

“Dan kamu nggak pernah berubah. Bertahun-tahun loh kita temenan. Kalau dibilang capek ngeliat kamu kayak gini, ya capek.” Kataku, bukan protes, lebih seperti menyindir. Menusuk. Ketika di DU aku bertemu dia dengan kondisi yang sama parahnya. Bahkan lebih parah karena saat itu dia masih tinggal menumpang di kosan orang lain. Tanpa proyek yang jelas.

“Orang-orang juga berkomentar seperti itu. Aku kenapa gini-gini aja, nggak ada perubahan.”

Aku menerawang, mengingat-ingat seperti apa dia dulu. “Kamu yang pertama saya kenal lebih ‘hidup’, meski kadang belagu dan sok, tapi punya kepercayaan diri. Tidak heran karena pekerjaanmu termasuk kategori public figure. Pekerja kreatif. Pegiat seni. Itu kan yang membuat kita dekat dan berteman. Kalau kita baru kenal sekarang kayaknya kamu akan sama mindernya seperti mendekati Sarah-Sarah yang lain. Ditambah waktu itu mungkin aku sedang bosan dengan rutinitas di Unpad. Dan … waktu itu aku lagi sial saja bisa temenan sama kamu.”

Dia tergelak, menyetujuinya. “Iya, kamu waktu itu memang lagi sial.”

Akhirnya aku memberikannya sebuah kesimpulan: Aku adalah manis, sekaligus pahitmu. Mimpi, sekaligus realitasmu. Bayangan, sekaligus mataharimu. Aku menuliskannya di buku catatan miliknya. Anggap saja cindera mata.

“Mungkin kamu mencari saya karena saya bisa membuatmu tenang. Bukan sekedar karena wajah saya yang manis, tapi karena saya sudah jadi bagian dari hidup kamu. Tapi bertemu dengan saya pun, akan membuatmu pahit, kan? Karena katamu saya tak tergapai. Kamu bebas menceritakan mimpi-mimpimu tanpa khawatir dianggap tak waras. Tapi bercerita denganku berarti dituntun untuk berpikir realistis. Aku juga menjadi bayangan dalam pertemanan ini, entah apa dan entah siapa. Katamu saya menghantui padahal saya belum mati, jadi bagaimana bisa gentayangan. Tapi bagaimana bisa juga ternyata saya jadi mataharimu, yang menaungimu, mengayomi, dan memberimu sinar. Terdengar gagah dan maskulin, ya. Padahal saya perempuan.”

Dia terdiam mendengar penjelasan dari tulisan pendekku. Tidak mengiyakan, ataupun menyangkal. Hanya tersenyum pahit. Tanda ingin mengiyakan sekaligus ingin menyangkal.

Kenapa pula aku harus bertemu dengan manusia satu ini, saat event akhir tahun 2010 dulu, di warnet DU, papasan di Garut. Kenapa pula aku harus sempat menghadiri undangan ini. Pernah kawanku ini mengajak pergi kepantai, naik gunung, tidak ada yang aku penuhi. Tidak sempat. Kenapa pula dengan keadaan dia yang semi artis lokal, kenal banyak orang, hanya aku yang bisa dia jadikan ‘tempat sampah’ yang mengeluarkan sisa-sisa terburuk dari kehidupan. Kenapa pula dari banyaknya temannya yang bernama Sarah, harus Sarah yang ini yang mengenalnya dengan baik. Everything happen for the reason, kan? So, for what? What the reason?

Saya membuka-buka buku catatannya hanya karena iseng. Kebanyakan catatan mengenai event-event yang dia organisir atau konsep project mengenai fotografi atau sebuah video. Tiba-tiba di coretan belakangan aku menemukan namaku berderet dengan coretan nama yang tadinya dia akan buat untuk manajamen fotografinya. Hanya ada dua kata. Sarah. Zohrahs. Itu jelas-jelas aku.

“Kok ada nama saya disini?”

“Iya gitu?”

Aku menutup buku itu dan menyerahkannya. “Jelas-jelas itu tulisan kamu. Di halaman belakang.”

Dia sibuk membuka-buka bukunya, menemukan namaku disana, lalu nyengir. “Orang password ponsel lamaku yang rusak saja masih nama kamu.”

Konyol. Aku hanya diam tak merespon. Tak memberikan ekspresi apa-apa.

“Saya kan sudah bilang, kamu itu menghantui saya terus. Kayak bayangan.”

“Jadi saya harus bagaimana? Saya juga sudah susah payah kabur dari kamu. Biasanya kalau ke yang lain efektif, disinisin sekali juga langsung mundur, diabaikan berkali-kali juga nyerah, didiamkan langsung menghilang.”

“Saya juga nggak tahu. Memangnya saya ngejar kamu? Kan nggak.” Tambahnya setengah bergurau. Obrolan yang sama-sama membuat kita jengah. Dia akhirnya membicarakan topic lain.“Kayaknya sosial saya juga sekarang nggak begitu baik. Ada yang bilang saya orang yang paling bisa diandalkan buat ngumpulin orang, tapi sekarang ketika mereka saya undang buat ke nikahan adik saya saja nggak ada yang datang satupun.”

“Saya datang.”

“Yaa maksudnya teman-teman saya.”

“Kan saya juga teman kamu.”

“Yaa, maksudnya tadi. Kan kamu datangnya telat.”

“Oke.” Perdebatan nggak penting, pikirku. “Aku juga mengalaminya, kok. Aku yang biasanya paling semangat buat ngumpulin orang. Mau itu bikin agenda sendiri, agenda resmi, nengok yang sakit, ke nikahan. Tapi ketika aku berharap mereka datang ke acaraku tanpa aku koordinir, aku sadar … nggak akan ada yang datang. Aku saja kaget saat akhirnya ada temanku yang mau nengok ibu. Kamu tahu kenapa? Karena dari kecil manusia sudah belajar berhitung, segala sesuatu yang terjadi di depannya akan jadi objek hitung-hitungan. Ketika aku mengumpulkan orang pun, aku berhitung, sepenting apa ini bagi mereka, semenarik apa, berapa kemungkinan agenda prioritas lain yang mereka miliki. Dan mereka pun akan berhitung, kalau datang apa untungnya, kalau nggak datang apa ruginya, akan ketinggalan apa, akan kehilangan apa. Seberapa berharganya kehadirannya. Di pikiran manusia masa kini, dunia berjalan secara matematis.”

“Jadi, menurutmu mereka tidak datang karena merasa tidak ada untungnya untuk datang?”

“Dan tidak ada ruginya jika tak hadir. Untung rugi disini bukan hanya materi. Sesuatu yang ‘berharga’ tapi tak berwujud. Diantaranya … datang karena merasa beruntung ingin bertemu orang yang disuka, kangen, atau segan kalau menolak hadir. Mungkin kamu belum sampai di tahap itu, jadi orang yang disukai, ngangenin, ataupun disegani.”

“Ya, ya, saya ngerti. Kalau begitu kamu kenapa datang?”

“Karena aku orang baik.” Jawabku spontan, mengangkat alis meyakinkan. “Dan aku sedang menabung kebaikan. Melihat kamu senang karena aku datang buatku jadi tabungan kebaikan. Seperti saat musim mudik kemarin, aku sangat butuh bantuan kamu, aku jadi enak buat minta tolong karena aku sudah menabung kebaikan di kamu. Agak jahat sih, kebaikan juga menjadi sesuatu yang matematis. Tapi … memangnya diantara saya dan kamu, siapa yang paling jahat.”

“Saya, sih.” Jawabnya yakin. “Tapi saya juga ingin jadi orang baik, kemarin temanku menggadaikan kameranya. Kalau besok tidak ditebus bakalan hangus. Tapi aku nggak punya uang. Akhirnya aku pinjam uang untuk dia pakai dulu, atas namaku karena dia malu kalau orang lain tahu.”
Aku tersenyum, cerita yang paling baik yang kudengar sepanjang ceritanya. “Kamu beruntung. Setidaknya kamu nggak miskin nurani. Berusaha menjadi orang baik kadang sama sulitnya dengan berusaha menjadi orang hebat.”

Hening yang cukup untuk menciptakan ruang pikir sendiri. Karena hidup ini kadang disamakan dengan ilmu pasti. Jika kamu pemeran utama, kalau bukan protagonis, berarti antagonis. Kalau bukan superhero, berarti penjahat. Kalau bukan orang hebat, berarti pecundang. Siapa yang ingin menjadi pecundang dalam sebuah kehidupan dimana dia menjadi pemeran utamanya? Tapi jika tidak bisa menjadi orang hebat, jangan tersinggung jika berstatus pecundang. Angin berhembus terlalu kencang seakan ingin menyibak tenda resepsi yang sudah ditata rapi. Bulan purnama ditambah gerhana selalu menghadirkan angin kencang yang cukup untuk mematahkan sebuah pohon. Namun, seharusnya tidak bisa mematahkan sebuah harapan.

“Sar.”

“Hm ...” Aku merespon dengan bergumam, nada suaranya melembut.

“Saya minta maaf. Saya belum bisa menjadi hebat.”

Permintaan maaf itu berarti banyak bagi dua orang yang sudah dewasa.

Aku menghela nafas sebelum menjawab tegas. “Tidak masalah. Itu urusan kamu. Saya sudah cukup dengan pertemanan kita yang sekarang. Tidak akan berharap apa-apa.”

Apa lagi yang bisa menjadi jawabanku untuknya. Dia paham betul kondisi masing-masing dari kami. Dia tahu betul mengenai ‘jaring laba-laba kehidupan’ di sekelilingku. Karena di dunia yang lain, mungkin kita saudara kembar.

“Apa aku harus mengajakmu menghitung bintang saja daripada menghitung uang?” Aku mencairkan suasana. Mengenalkannya dengan lagu Counting Stars milik One Republic (Said no more counting dollars. We’ll be counting stars. Yeah, we’ll be counting stars).

Kita tertawa. Menertawakan hidup. Hidup begini adanya, Kawan. Benar kata Dee, tidak ada pemeran pengganti yang akan menanggung sakitmu. Tidak juga aku.

“ … Sing in the river
The lesson I learned …”

(Counting Starts – One Republic)

1 comment:

  1. :)

    Numpang lewat, Teh Sarah..

    #seseorang yg sdg galau krn kurang fokus

    ReplyDelete

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.