19 September 2014

Kembali Normal

Setidaknya untuk beberapa saat, segala sesuatunya terasa normal. Ibu kembali sehat meski masih sedikit lemas. Aku kembali beraktivitas dengan jadwal yang random. Beberapa hari ini tak sengaja pulang larut malam, pun malam ini, saat tadi siang harus ke kampus untuk mengambil ijazah dan transkip nilai, bertemu teman-teman kampus yang sedang menjalani profesi dan berbagi cerita ... "Kuliah keperawatan empat tahun itu nggak ada apa-apanya tanpa profesi. Nggak lengkap. Ibarat bikin makanan, kuliah profesi itu toping-nya." Ujar Ami bersemangat. Aku tentu saja terpengaruh.

Sorenya aku ke Bandung, berencana membeli buku dan mengambil foto wisuda. Namun perhitunganku salah, hari ini hari Jumat dan Bandung saat weekend seperti tertumpah mobil di jalanan. Well, aku hanya sempat membeli buku di Rumah Buku Bandung karena jalanan macet.

Rasanya semua hampir kembali normal ketika dalam perjalanan pulang kembali merenungi banyak hal. Kuliah profesi, ya. Apa ruginya kembali belajar. Bukankah belajar itu menyenangkan. Namun tetap saja pikiranku terbebani dengan pikiran mengenai 'satu tahun yang menyesakkan'. Empat tahun saja rasanya aku megap-megap. Bukan karena kehidupan di keperawatan tidak menyenangkan, tapi lebih karena aku tidak menikmatinya. Tentu saja aku sudah berusaha memberi kesempatan, sekaligus memaksakan. Selepas sarjana aku sendiri baru merutukinya, tentang betapa seharusnya aku menikmati kuliah disana dan menjalani semua dengan optimal. Melirik ijazah Sarjana Keperawatan-ku rasanya asing dan masih mengerutkan kening ... kenapa bisa aku jadi Sarjana Keperawatan.

Mimpiku sederhana ... menjadi penulis, memiliki toko buku dan perpustakaan.

Mungkin terlihat sederhana ... memiliki pondok pesantren/boarding school dimana aku menjadi Ibu Asrama.

Sangat sederhana ... memiliki banyak waktu untuk keluarga namun mampu beradaptasi dengan dunia luar.

Apa keinginan itu terlalu tinggi?

Karena ternyata ada proposal mimpi lain yang dihadapkan, menjadi praktisi kesehatan, tentu saja di bidang keperawatan. Aku sendiri linglung darimana ini semua berawal, seakan secara tiba-tiba dunia keperawatan menyusupi setiap gardu perencanaan masa depan. "Teteh mah serius mau buka Klinik Keperawatan di Cicalengka. Kamu nanti jadi Kepala Perawat-nya. Makanya harus Ners, ya."

Pada saatnya aku kembali berserah. Seperti ketika tiba-tiba aku disekolahkan di Cicalengka, padahal aku sudah masuk sekolah di Garut. Seperti ketika tiba-tiba aku dipesantrenkan tanpa mendalami mata pelajaran MIPA. Seperti ketika tiba-tiba aku keluar dari pesantren dan kembali mengejar ilmu eksak. Seperti ketika tiba-tiba aku menjadi mahasiswa Keperawatan namun menunda kuliah Profesi Ners. Allah tidak menyuruhmu khawatir, Allah menyuruhmu ikhtiar. Ikhtiar lalu tawakal, berserah. Apa yang harus dikhawatirkan ketika hidup dan matimu ada di tangan-Nya?

Lebih seringnya aku merasa dituntun, diarahkan, dan diberi arus. Meski bagiku arus ini terkadang terlalu deras hingga membuatku limbung, terlalu dangkal sehingga bergesekan dengan lumut di bawah kakiku, terlalu sempit sehingga terbentur bebatuan di kiri dan kananku. Namun aku selalu aman dan selamat. Is that you, Dad? Yang menjagaku untuk tidak muntah, tak lecet, dan tak memar karena arus ini. Or, is that You, God? Of course, that You.

Dalam situasi statis seperti ini, aku kembali berencana. Mencari pekerjaan yang akan memperkerjakanku selama tiga bulan, Oktober-Desember. Lalu bulan Januari daftar kuliah profesi. Bekerja, berkarir, menjadi buruh, salah satu hal yang aku hindari. Toh akhirnya aku harus terjun bebas, mengikuti arus. Meski, jika dipikirkan secara zuhud, aku memiliki Madrasah yang harus diurus setelah Ibu menginstruksikanku jadi 'Kepala Sekolah'. Kepala Sekolah seorang Sarjana Keperawatan bukan hal yang aneh, kan. Juga, jika dipikirkan secara ... ambisius atau keinginan pribadi, aku memiliki proyek novel yang tidak pernah selesai. Lalu kenapa aku mencari pekerjaan? Karena Ibu. Aku punya ambisi baru, menjadi pencari nafkah untuk Ibu. Minimal aku kuliah profesi tanpa biaya dari Ibu.

Keinginan itu tidak ketinggian, kan?

Aku adalah kumpulan asuhan ... seorang anak yatim yang adaptif, berpindah tempat bertemu orang baru, seorang penurut dalam keluarga yang mengenal masalah sosial ketika hidup di asrama. Kumpulan didikan ... beberapa Ustad yang zuhud, wara, dan esktrimis, juga akademisi yang menggambarkan masa depan sebagai persaingan ilmu pengetahuan, teknologi, dan semua yang materialis. Kumpulan kekerabatan ... aktivis idealis, militan, dan terkadang birokratis, juga sahabat-sahabat yang sudah menjadi Ustad muda, penggiat Ormas Islam, dan sangat agamis. Kumpulan pemahaman dari buku-buku, artikel, ceramah, opini, dan semua informasi yang bebas berkeliaran. Tertangkap laksana binatang buruan.

Pertanyaan semacam, 'Mau jadi apa?' justru tidak mengusikku, karena sejauh ini aku selalu menjadi sesuatu yang tidak aku bayangkan sebelumnya. Maka lebih seringnya aku bertanya kepada-Nya, 'Aku akan dijadikan apa?'

Jangan khawatir. Ikhtiar yang optimal. Ingatkan diri untuk tawakal.

Bagi beberapa orang menjadi normal cukup membosankan. Justru dunia ini tengah disetir oleh mereka yang gila dan tidak berpikir secara normal. Aku rasa aku tak akan betah menjalani hidup normal. Aku menunggu ledakan dalam diriku sendiri, untuk kemudian memecah berkeping, berserakan dalam setiap kehidupan, lalu terlahir kembali.

Apalah ini, tulisan ini, entah ...

Jumat, 19 Sept 2014
Ditulis tengah malam, di ruang tamu yang penuh makanan, dan aku yang menghabiskan sepuluh tusuk sate ayam selama menulis ini. Lapar sekali.

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.