07 July 2012

| Ingatan | Cermin | Sahabat | Cinta |

Ada sesuatu yang menarikku kembali. Ingatan.
Ada kepingan yang menunjukannya. Cermin.
Ada yang membuatku berani meraihnya. Sahabat.
Ada yang tengah aku pahami. Cinta.


Saya dan Persatuan Islam
Saya terlahir di keturunan NU, katanya. Hanya saja setelah ayah saya meninggal saya dibesarkan oleh keluarga Persis. Itulah jalan saya mengenal ormas Persatuan Islam.

Saya dan PPI 99 Rancabango
Berawal dari beberapa minggu yang lalu di pertengahan Juni. Saya pergi ke PHI (Pekan Haflah Imtihan) PPI 99 Rancabango. Disana ada sepupu saya, namanya Fikri, kelas 3 Muallimin. Faiq dan Alfida di tajhiziyyah. Lalu Dina yang sudah saya anggap adik saya sendiri.

Saya pernah sekolah di PPI 99 rancabango selama 3 minggu. Hanya 3 minggu, mungkin kurang sedikit. Meski sebentar tapi berkesan. Orang-orangnya, kegiatannya, dan suasananya. Saya masuk angkatan 16 di PPI 99, karena hanya sekolah disana selama 3 minggu, saya hanya kenal dengan santri UG (Ummahatul Ghad) alias perempuan, dan tidak mengenal satu pun santri RG (Rijaalul Ghad) alias laki-laki.

Tiga tahun kemudian saya bertemu dengan teman-teman angkatan 17 ketika mereka mengikuti P2RSR (Program Pengabdian Ramadhan Santri Rancabango) atau lebih dikenal dengan pra PLKJ (Program Lapangan Kerja Jam'iyyah). Dan ada sistem yang sulit (atau lebih tepatnya saya malas) untuk dijelaskan, tentang sekolah saya. Intinya sekolah saya molor satu tahun karena mengikuti kelas tajhiziyyah. Jadi saya lulus SMA bareng dengan angkatan 17 di PPI 99. Dan di angkatan 17 itu saya hanya dekat dengan santri RG. Entah kenapa bisa seperti itu.

Saya dan Brankas (Barudak Angkatan Tujuh Belas)
Ketika saya datang di PHI 99 Rancabango yang saya tulis dengan judul Rancabango Kambek, orang yang paling saya kenal adalah Fajar dan Hilman. Bukan siapa-siapa, mereka berdua hanya teman dekat saya. Teman berbagi kegilaan. Tapi sekarang saya sudah waras jadi saya sudah lama tidak berkomunikasi dengan mereka.

Akhirnya di PHI PPI 99 saya benar-benar bertemu dengan Hilman. Agak dramatis memang saat itu. Terjadi kabur-kaburan, umpet-umpetan, tapi tetep aja ketemu. Ketika itu tiba-tiba ingatan saya kembali pada tahun 2009. Dimana saya yang tidak pernah berhubungan dengan santri-santri di PPI 99 tiba-tiba dipertemukan dengan santri PPI 99 angkatan 17. Bagaimana itu semua menjadi bagian dari cerita hidup saya di tengah kejenuhan saya bertemu dengan orang-orang di sekolah yang bukan saya banget. Orang-orang di angkatan 17 menjadi bagian dari apa yang terjadi dalam hidup saya. Alasannya simple, karena mereka dari Persis. So something.

Saya bukan hanya bertemu dengan Hilman. Tapi juga Kahfi, Anjar, Fahmi, Restu, Nisa, dan beberapa orang lain yang menempati ingatan saya. Dan bukan hanya penghuni PPI 99 Rancabango, tapi saya juga bertemu dengan Nabil, adik laki-laki sahabat saya, Salma. Lalu ibu dari Siti Halimah, teman sekelas saya di Cibegol. Dan Bu Yeyet, ibunya Yassir. Sesuatu menyeruak. Sebuah ingatan.

Saya dan Cibegol
Tiba-tiba ingatan itu bukan hanya kembali ke waktu tahun 2009, tapi tahun-tahun sebelumnya ketika saya masih di PPI 34 Cibegol. Itu adalah saat dimana saya mulai dililit oleh cangkang menjadi sebuah kepompong. Kesakitan, terkena terik matahari, diguyur hujan. Terkekang. Tapi begitulah adanya. Saya bertumbuh. Dan setidak suka apapun saya dengan sekolah itu, tetap saja, disanalah saya bertumbuh. Disanalah saya menjadi... Menjadi apapun itu.

Akhirnya saya memutuskan akan menghadiri haflah imtihan di Cibegol. Saya harus kesana. Bukan hanya untuk main-main. Saya hanya ingin mengembalikan ingatan saya, tentang perjuangan, kesakitan, bertumbuh, dan arah tujuan hidup saya. Semuanya berawal sejak saya disimpan di Cibegol. Saya ingin merunut segalanya menjadi sebuah kesatuan.

Akhirnya hari tadi, 7 Juli 2012, saya bertekad untuk datang ke Cibegol.

Di tengah perjalanan, saya bertemu dengan 3 orang santri Cibegol. Dan sungguh, saya minta maaf karena tidak mengenal mereka tapi mereka mengenal saya karena salah seorang dari mereka menyapa saya, "Teh Sarah? Ini Teh Sarah yang angkatan 11 kan? Teh Sarah A Yassir?"

Saya mengangguk untuk dua pertanyaan di awal, sementara untuk pertanyaan ketiga, saya mengerang. Seingat itukah mereka dengan sesuatu tentang "Sarah-Yassir".

Saya dan Yassir
Dia adalah teman sekelas saya. Agak lucu memang selama 5 tahun saya tinggal di pesantren (saya disana sejak tahiziyyah dan kelas 2 muallimin saya keluar), maka selama 5 tahun juga sesuatu tentang "Sarah-Yassir" terus melekat di lingkungan Cibegol. Mungkin jika salah satu dari kami, misalnya saya, menikah dan mengadakan resepsi, maka kehadiran Yassir akan menjadi perhatian orang-orang di Cibegol. Begitu juga sebaliknya.

Masih terasa lucu juga, karena sejak usia 13 tahun sampai sekarang saya berumur 20 tahun, jika berbicara tentang jodoh, maka ingatan saya selalu ingin memunculkan nama Yassir. Oke, lupakan, saya sedang tidak ingin membicarakan hal yang menyerempet kesana. Kabar yang saya dapat, Yassir sudah punya istri dan anak. Kabarnya sih begitu.

Selain sosok Yassir yang mengikuti keberadaan saya di Cibegol, ada satu hal lagi yang sarah banget, jika ada orang Cibegol yang bertemu saya mereka akan spontan bertanya, "Mana Salma?" atau "Tadi saya lihat Salma disana." Dan basa-basi seperti "Udah ketemu Salma?"

Saya dan Salma

Awet. Seperti virus mengenai Sarah-Yassir, Sarah-Salma juga menjadi suatu ikon yang terekam dalam ingatan orang Cibegol. Persahabatan yang tidak disengaja. Simple, hanya karena kami satu bangku. Kenapa bisa satu bangku? Karena kami sama-sama tidak memiliki teman yang bisa diajak sebangku. Tapi persahabatan ini awet. Ini takdir, perjalanan dari Tuhan, sejak saya berumur 13 tahun, sampai sekarang berumur 20. Tak tergantikan.

Banyak santri yang bersahabat di asrama, tapi biasanya persahabatan mereka semusim atau bisa dibilang ganti-ganti pasangan. Atau tidak bersahabat dari awal. Atau bersahabat dari awal tapi tidak sampai akhir. Mungkin saya dan Salma sama-sama tidak merasa nyaman jika harus meninggalkan satu sama lain. Mungkin itu juga yang terjadi antara saya dan Yassir. Entahlah, saya tidak ingin menerkanya.

Jika boleh dikatakan, saya dan Salma bukan hanya seorang sahabat. Bisa dibayangkan, umur 13 tahun tinggal di asrama dengan segala problematikanya. Kita masih polos, oon, dan emosinya belum stabil. Segala hal sudah dilalui, hal yang tidak bisa diulangi lagi, karena kami tidak mungkin kembali ke umur 13 tahun. Umur itu sudah kita lalui bersama-sama. Jadi, tidak berlebihan jika saya mengatakan posisinya lebih tinggi dari keluarga saya sendiri.

Hari ini saya dapat kabar dia hamil, umur kandungannya sudah 6 minggu. Oia, ini ada tulisan saat Salma hendak menikah, tulisan berjudul Tiga Hari Menuju The Wedding.

Saya dan Angkatan 11
Saya termasuk angkatan 11 di PPI 34, saya kasih nama angkatan ini Selasar (Sebelas Army). Agak memaksa emang, biarin lah ya. Saya pernah jadi Ketua 2 di angkatan ini, ketika itu Ketua Umumnya adalah Hanafi, Ketua 1 adalah Ganjar. Agak mengagetkan karena ketika itu yang menjadi saingan saya dalam pemilihan Ketua 2 adalah Esa. Mengagetkan karena kita juga bersaing dalam satu hal, dalam ... ya, lupakan.

Di angkatan ini juga saya pernah disebut 'gegedug UG angkatan 11' oleh santri RG. Pikir aja sendiri kenapa tiba-tiba saya dipanggil seperti itu.

Dan yang lainnya, yang tidak kalah terkenal, adalah panggilan 'Nyonya Besar'. Ada dua kemungkinan saya dipanggil 'Nyonya Besar' oleh khususnya, RG angkatan 11, yaitu karena Yassir yang kadang disebut 'Bos Besar' atau karena memang sikap saya yang mencirikan 'Nyonya Besar'.

Di haflah imtihan tadi saya bertemu beberapa teman angkatan 11, ada Ardi (udah jadi pak ustadz), Andri 'Kumis', Dede Yusuf, Neng Wilda, Furkon (saya hutang ke dia tapi dia malah nraktir saya), Fajar UPI, Dio (udah kaya Yesus dandanannya), Gini, Novi (bawa anak), Asmi (bawa anak), Lina (jualan di bazaar), dan entah siapa lagi, lupa.

Lebih dari apapun saya selalu merindukan angkatan ini. Karena saya sudah melewati semuanya dengan mereka. Maaf, maaf, dan maaf, untuk kalian yang pernah terzholimi oleh saya, hiks. Saya tahu seharusnya saya mengatakan hal ini kepada Hanafi sejak dulu. Dan juga seorang Ustadz yang pernah melempar botol mineral ke saya. Masa-masa suram itu. Prang!

Saya dan Asatid Cibegol
Dibandingkan dengan asatid di Rancabango, saya memang lebih dekat dengan asatidz di Cibegol. Deket banget. Bahkan ada beberapa ustadz yang punya cerita tersendiri dengan saya. Uhuy. Cerita ga bagus sebenernya :p.

Tadi saya bertemu dengan Ustadz Hamdan. Seorang ustadz yang awalnya sangat saya segani, tapi suatu hari dia pernah memanggil saya dan menanyakan sesuatu yang aneh. "Ada sesuatu yang salah? Sarah terlihat tidak suka kalau melihat Ustadz."

Dari situlah awalnya saya menjadi salah satu santri yang "anak pak hamdan" kalau kata orang-orang, berawal dari kesalahpahaman dari cara saya menatap seseorang. Tatapan saya memang menyebalkan, kadang seperti merendahkan, kadang seperti membenci, ya menyebalkan lah pokoknya. Dan ternyata begitu juga saya menatap asatidz. Well, dari kesalahpahaman itu kita jadi dekat sampai teman-teman saya khawatir saya akan dijadikan istri keduanya. Hah, yang benar saja.

Ketika bertemu dengan Ustadz Hamdan di Cibegol, saya tahu dia menilai cara berpakaian saya, untungnya hari itu pakaian saya nyantri banget. Yang kedua dia akan mengomentari kenapa saya tidak bertambah gendut dan omelan lama betapa seorang wanita harus punya kesehatan yang prima. Lalu obrolan menyindir tentang 'ayo nikah kapan' lewat obrolan ke Salma agar saya tergiur untuk mengikuti jejaknya menikah. Hoh. Tapi hari itu saya sedang enggan mengobrol panjang dengan Ustadz Hamdan, yang ada saya malah mengobrol dengan Ustadz Opik, saya memanggilnya A Opik.

Saya juga termasuk adik kesayangan A Opik. Awalnya dia menyayangi Fajri, banget, karena dia sepupu saya, jadilah saya juga dijadikan adik kesayangannya. Ketika saya sampai di Cibegol, dia terlihat bolak-balik di sekitar saya, kadang berdiri lama. Nanaonanan pisan kitu lah, caper. Akhirnya saya ingat, Caper adalah kebiasaan penghuni Cibegol. Begitulah cara kita berkomunikasi. Akhirnya, saya yang sudah teracuni kebiasaan sekuler di Unpad, memanggil A Opik keras-keras dan dia datang juga dengan so' kaget. "Eeeeh, Sarah. Sombong ya sekarang." Zzzz, saya yang nyapa duluan tapi saya yang disebut sombong.

Kami pun mengobrol, lebih banyak mengenai aktivitas saya, organisasi apa yang saya ikuti, dan helo apa kabar dengan Pemudi Persis dan Himi Persis yang saya ikuti. Agak menenangkan karena tidak ada sedikit pun obrolan mengenai, 'kok belum bawa calon'.

Selain kedua ustadz yang paling dekat dengan saya itu, saya juga bertemu dengan Ustadz Utsman (pasti), Ustadz Lukman, Ustadz Asep, Abah (yang saya lupa namanya, maaf), Ustadz Iyan, Ustadz Yanis (istrinya adalah teman sekelas saya), Ustadzah Hani, Ustadzah Ai (akhirnya saya ingat namanya setelah lupa ketika menulis The Kingdom of Pesantren), Ustadzah Khotmi, Ustadzah Farah, Ustadzah Ela, dan yang lain yang mungkin tidak saya sebutkan. Maaf, yaw.

Saya dan Angkatan 14
Selama di Cibegol, saya bukan orang yang ramah, kepada kakak angkatan ataupun adik angkatan. Itulah yang membuat saya tidak punya kakak angkat. Watir. Tapi ajaibnya, separuh dari angkatan 14 sangat baik sama saya. Kemungkinan besar karena di angkatan 14 ada Adi Fadli, dia adalah adiknya Yassir. Ga ada hubungannya sama saya emang, tapi saya emang kenal sama Adi. Saya akui saya yang so' kenal.

Yang paling dekat dengan saya adalah Imel, karena dia masih sepupu dari sahabat saya, Dhya. Yang mengagetkan juga, setelah saya keluar, Imel menjadikan Esa sebagai pengganti saya. Huah, betapa saya dan Esa selalu berada di posisi yang saling menyingkirkan -.-, lupakan. Selain Imel, saya juga dekat dengan Khalida, fansnya Adi, Siti Nurhasanah yang saya panggil Siti Solider, dan masih banyak yang lainnya tapi tiga ini yang paling dekat dengan saya.

Saya baru benar-benar menyadari bahwa saya berarti bagi mereka adalah ketika saya hendak keluar dari pesantren dan saya berbicara di depan seluruh penghuni asrama UG. Ketika itu ba'da maghrib di mushola, saya mengatakan niat saya keluar, meminta maaf, dan mengatakan hal-hal seperti betapa saya bersyukur pernah mengenal kalian, dan tiba-tiba mereka menangis. Terutama angkatan 14 dan angkatan 11. Saya baru sadar bahwa adik-adik di angkatan 14 sudah menganggap saya kakak favorit mereka. Maaf, ya, adik-adikku sayang.

Tahun ini adalah tahun terakhir angkatan 14 di Cibegol. Suasananya agak mengharukan, ada instrumen pianonya River Flow In You, saya yakin itu suara pianonya Sungha Jung. So' tahu haha. Tifan Taesyukan-nya juga keren, lebih dramatis dan teatrikal dari tifan taesyukan Rancabango. Peace...

Ini River Flow In You yang dimainin Sungha Jung pake piano. Keren kan.


Di bagian kabaret, mereka lebih sering memutar lagu Sorry Sorry milik Super Junior, apa coba, itu kan lagu tahun 2006. Ada juga lagu Mr. Simple tapi tetep jadul buat saya karena sudah ada album terbaru Super Junior berjudul Sexy, Free & Single. Yang lebih ga aptudet tentu saja adanya lagu Michael Jackson dan themesong Mission Impossible. Tapi tetep keren lah sama kabaretnya.

Dan ketika lagu persembahan dari angkatan 14 itu saya mulai terbawa suasana. Masa mereka nyanyiin lagunya Peterpan yang 'semua tentang kita'. Itu kan lagu zaman kita abege. Sumpah, itu bikin saya merinding abis. Selain lagu Peterpan yang zaman kita itu, mereka juga menyanyikan lagu edcoustic yang berjudul Sebiru Hari Ini. Ketika lagu ini dinyanyikan oleh angkatan 14, saya baru menyadari ada seseorang yang membuat pandangan saya terfokus. Gelagatnya, cara dia tertawa dan meledek. Mengingatkan saya pada seseorang yang gelagatnya sering saya perhatikan bertahun-tahun. Itu orang kelakuannya mirip si Yassir, dan ternyata dia Adi Fadli.

Beruntung sebelum saya pulang saya sempat mengobrol sebentar dengan Adi. Dia masih ingat saya, bahkan dia sendiri excited dengan mengatakan, "Teteh ternyata masih ingat ya sama saya."
"Iya lah, waktu di Rancabango juga saya sempet ngobrol sama Ibu."
"Ibu siapa?"
"Ibu kamu lah."
"Teteh masih ingat sama ibu saya?"

Dasar Adi. Bagaimana mungkin saya melupakan kalian. Bagaimana bisa saya melupakan bagian-bagian kisah saya, tentang Persatuan Islam, Rancabango, Brankas, Yassir, Salma, Angkatan 11, Angkatan 14, Asatidz Cibegol, dan semua-muanyaaaa.

Terakhir, saya pergi ke kamar mandi sebelum pulang. Ruang teramat kecil yang sering saya jadikan tempat sembunyi. Karena asrama kami yang benar-benar ploooong satu ruangan untuk beberapa angkatan. Tidak ada sekat, tidak ada privasi. Satu-satunya tempat yang bisa dijadikan tempat privasi adalah kamar mandi. Disanalah saya sering bersembunyi, salah satunya ketika saya menangis karena ada masalah dengan Salma. Bayangkan, saya mengurung diri di kamar mandi karena tidak ingin ada orang lain yang tahu saya nangis. Sementara di depan kamar mandi tempat saya menangis, ada Salma, yang tahu kalau saya sedang bersembunyi di kamar mandi untuk menangis. So sweet nya hahaha. Itu benar-benar pernah terjadi.

Sebelum pulang, saya menghampiri setiap kamar mandi. Mengeceknya satu-satu. Seperti memutar lagi kenangan, saat kita berteriak-teriak, lalu tiba-tiba ada suara RG yang balas berteriak. Saat kita kehabisan ember untuk mengambil air dan satu-satunya cara adalah meminjam ember ke RG. Saat dijaili Dini di kamar mandi. Malam-malam mencuci baju karena tidak ada lagi waktu. Piket membersihkan kamar mandi setiap Jumat pagi. Hanya dari kamar mandi saja semua ingatan sudah tercermin.

Ingatan yang mencerminkan perjalanan penuh cerita ini. Cermin yang mengingatkan saya pada setiap langkah yang membuat saya bertumbuh. Banyak kata. Banyak rasa. Kata-kata yang menjadi perasaan. Berbagai rasa yang menjadi kata-kata indah. Saya senang bertemu kalian, mengenal kalian. Dan semua kata, semua rasa. Janganlah berganti...

Foto jadul saya ketika umur 15, kalau ga salah.

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.