17 June 2012

Muntahan

Bebaskanlah jiwamu untuk hidup dengan sepenuhnya. Mario Teguh ~

Huaaaaah. Kaki pegal, tangan pegal. Otak juga pegal karena menulis tulisan butterflies in my stomach. Akhirnya saya bagi-bagikan tulisan itu hanya agar pengunjung blog ini bertambah. Haha *ketawa bos*. Semalam pengunjung blog masih 10271, pagi-pagi sudah berubah menjadi 10306. Oke, seharusnya semalam saya lebih mempercantik tulisan itu. Bukan mempersadis. Terbukti, ada yang terganggu. Pasti.

Saya memang jahat. Kalau lagi marah mulutnya ga bisa dijaga. Bukan berarti saya ga ingin berubah. Anggap saja luapan amarah itu hanya muntahan ketika saya mual-mual. Saya termasuk orang yang gampang mual. Ga tahan dingin, terutama. Biasanya saya mual setelah mandi pagi atau saat pulang malam dari kampus.

Biasanya mual itu hilang kalau saya minum air hangat, lalu makan. Tapi pernah suatu hari saya mual, susah sendawa, karena makan terlalu banyak. Ketika itu saya tengah mengerjakan suatu proyek. Sampai lupa makan, lalu lapar, dan makan dengan rakus. Akhirnya perut saya mual dan beberapa saat kemudian, hwek, saya muntah.

Ketika itu saya langsung menulis tweet, 'Ternyata obat mual adalah muntah'.
Dan ternyata teman-teman di twitter saya memang agak miring, semua langsung menganggap bahwa obat yang saya maksud untuk dimakan. Jadi mereka menyimpulkan, kamu mual, lalu muntah, dan muntahan itu kamu makan sebagai obat mual. Cerdas.

Dalam asuhan keperawatan, saya sering menyinggung masalah anoreksia. Bukan kekurangan gizi karena ga ada makanan. Tapi kekurangan gizi karena makanan selalu dimuntahkan. Itu bisa terjadi karena ada organ tubuh seperti jantung, hepar, atau paru-paru membengkak. Misalkan hepatomegali (hepar yang membesar), maka hepar akan menekan abdomen (daerah perut). Tekanan itu akan merangsang mual. Dan ... lalu ... kemudian ... Oh, good, saya benar-benar tidak bisa menjelaskan patofisiologinya.

Oke, lupakan.

Nah, sejak itu saya menganalogikannya kepada perasaan marah saya. Sudah beratus orang yang merasa dirugikan kalau saya marah. Merasa tertekan, pastinya. Mungkin ini semacam penyakit. Jika saya tidak mengeluarkan emosi saya, itu sama saja seperti muntahan yang tidak dikeluarkan. Dan saya akan mual-mual hebat.

Ada yang bilang saya tak dewasa. Ah, yang benar saja. Saya mengenal marah ketika saya beranjak dewasa. Ketika masih kanak-kanak, saya ini bocah yang manis. Pendiam.

Tapi sudah sekitar 4 tahun yang lalu, saya mulai membiasakan diri, ketika saya marah maka saya akan diam. Tapi adakalanya saya tersiksa dan memuntahkannya.

Jadi, lebih dari apapun, saya minta maaf. Sungguh jika saya bisa mengatasi emosi ini lebih baik dari yang teman-teman protesi, akan saya lakoni. Tapi, lupakan, mungkin saya akan sulit berubah.

-----> ketika menunggu dosen, Bu Linlin, di ruang tutor. dan memikirkan apa yang akan saya muntahkan besok sore.

0 Comments:

Post a Comment

Jika tidak memiliki akun di google, wordpress, dan yang lainnya, bisa menggunakan anonymous.